Panggilan Pak Haji dan Bu Hajah, Benarkah Dilarang? Begini Pendapat Ulama

Di zaman Rasulullah tak ada panggilan gelar haji. Bolehkah memanggil orang yang sudah naik haji dengan sebutan 'Pak Haji'?

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Mei 2024, 07:30 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2024, 07:30 WIB
Ilustrasi ka'bah, ibadah haji
Ilustrasi ka'bah, ibadah haji. (Photo by Izuddin Helmi Adnan on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Di Indonesia, panggilan dengan gelar haji merupakan suatu bentuk penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah.

Gelar ini menjadi simbol dari kesungguhan dan keikhlasan seseorang dalam menjalankan kewajiban agama Islam yang satu ini.

Apakah Islam melarang atau membolehkan seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji ini dipanggil haji, sedangkan yang menjalankan ibadah laiannya tidak dipanggil dengan ibadah tersebut.

Penggunaan panggilan Pak Haji, Bu Hajah sering kali dijadikan sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan atas perjalanan spiritual yang telah dilalui oleh seseorang dalam menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Selain itu, panggilan ini juga mencerminkan status sosial dan kehormatan di masyarakat, di mana pemilik gelar ini seringkali dianggap memiliki kedudukan istimewa dan dihormati.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Zaman Rasulullah SAW Tidak Dikenal Panggilan Tersebut

Ilustrasi ibadah haji di tanah suci Mekkah (Istimewa)
Ilustrasi ibadah haji di tanah suci Mekkah (Istimewa)

Menukil Dalamislam.com, banyak sekali yang terjadi selama ini, bagi yang sudah menunaikan Haji mempunyai pangilan tambahan di depan namanya, yaitu “pak Haji” atau “Bu Hajjah”.

Sebenarnya panggilan gelar tersebut belum dikenal saat zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat beliau. Bahkan menurut seorang Syaikh yang bernama Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an. Namun bagaimana hukum dari panggilan tersebut dalam teropong Islam? Berikut penjelasannya.

Secara arti bahasa, Haji berarti menyengaja atau mengunjungi, sedangkan dalam terminologi islam, Haji itu berarti berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan beberapa amalan-amalan seperti wukuf, tawaf, sa’i serta amalan lainnya pada masa tertentu untuk mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT.

Keseluruhan rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan di Arab Saudi, sehingga siapapun yang berangkat kesana tentulah orang yang mampu dan memiliki bekal materi yang cukup.

Orang yang sedang melakukan haji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. at-Taubah: 19).

Dr Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (qurun mufadhalah).

Larangan Panggilan Haji

Ilustrasi ibadah haji, umrah, muslim, Ka'bah
Ilustrasi ibadah haji, umrah, muslim, Ka'bah. (Photo by ekrem osmanoglu on Unsplash)

Selanjutnya beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai gelar ini,

Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.

Karena ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).

Keterangan yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani – rahimahullah –, beliau melarangnya karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkah, terlepas dari kondisi batin jamaah haji dengan beberapa alasan

Alasan keikhlasan itu alasan pribadi, dan berlaku bagi semua ibadah. Dalam arti, kita diperintahkan untuk mengikhlaskan ibadah apapun kondisinya, meskipun ibadah itu diketahui orang banyak.

Gelar tertentu untuk ibadah tertentu lebih bersifat urf (bagian tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi di masyarakat.Beliau mengatakan,

وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى بيت الله الحرام : حاجِّي

Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299)

Terkadang masyarakat memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir tahunan, gelar itu tetap melekat.

Tidak ada dalil yang melarangnya.An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari a-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus. (al-Majmu’, 8/281).

Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan,

وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى بيت الله الحرام : حاجِّي

Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji.. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299).

Karena di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya