Liputan6.com, Jakarta - Manhaj Salaf sebagai metode beragama kelompok Salafi berhasil memengaruhi sebagian akar rumput Muhammadiyah. Masuknya pemahaman Salafi di lingkungan Muhammadiyah menjadi keluhan para aktivis maupun pimpinan organisasi.
Pemahaman Salafi kerap dianggap sama dengan Muhammadiyah. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Daerah Istimewa Yogyakarta, M. Husnaini mengakui memang ada kemiripan dalam beberapa hal, terutama dalam pemurnian akidah dan ibadah.
Baca Juga
Kendati demikian, Salafi dan Muhammadiyah tidak bisa disamakan. Husnaini mengungkapkan, terdapat persoalan fikih atau manhaj Salaf yang bertentangan, bahkan cenderung melemahkan dan menyalahkan Muhammadiyah.
Advertisement
“Muhammadiyah memahami bahwa perbedaan fikih adalah lumrah. Menjadi masalah ketika fikih yang berseberangan dengan Muhammadiyah diajarkan dan diterapkan ke lingkungan jamaah Muhammadiyah. Organisasi selain Muhammadiyah, rasanya, juga menolak infiltrasi paham lain ke jamaahnya,” tuturnya, dinukil dari laman suaraaisyiyah.id, Kamis (30/5/2024).
Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni mengatakan, masuknya pemahaman Salafi ke tubuh Muhammadiyah memunculkan varian baru di organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu, yakni Muhammadiyah rasa Salafi alias Musa.
“Musa itu wujudnya lama tapi diberi nama baru. Mereka adalah warga Muhammadiyah yang berpaham salafi, sebagaimana yang dikenal di Indonesia. Musa itu tampaknya digunakan untuk menamai mereka yang hanya punya loyalitas separuh terhadap Muhammadiyah,” katanya dikutip dari laman pwmu.co.
Menurutnya, varian Musa menjadi persoalan ketika menyentuh sendi-sendi organisasi, dan itu sudah terjadi. Fisiknya di Muhammadiyah tapi jiwanya di tempat lain. Bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), tapi tidak berupaya membesarkan organisasi. Bahkan, mereka memengaruhi teman-temannya agar tidak loyal terhadap keputusan organisasi.
“Ada juga yang lebih serius. Mereka mendiskreditkan Muhammadiyah sebagai penganut bid’ah, karena pada masa Nabi, kata mereka, tidak ada organisasi. Mereka mencoba menguasai masjid, musala, lembaga pendidikan, dan forum pengajian. Mereka tidak memajukan Muhammadiyah tapi membuatnya tidak berdaya,” ungkap Prof. Syafiq.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Karakter Muhammadiyah Rasa Salafi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya sekaligus Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim, Sholihul Huda membeberkan karakter Muhammadiyah rasa Salafi. Ia mengatakan, karakter tersebut berdampak pada pola baru ber-Muhammadiyah.
Berdasarkan pengamatannya, berikut beberapa pola sikap sosial keagamaan alias karakter yang ditampilkan oleh Muhammadiyah rasa Salafi alias Musa di lapangan, dikutip dari laman pwmu.co.
1. Cenderung Ingin Menampilkan Perilaku Para Salafus Salih
Menurut Solihul Huda, Musa cenderung ingin menampilkan perilaku sosial keagamaan kehidupan keseharian seperti yang dipraktikkan oleh generasi salafus salih. Mereka berpaham bahwa semua perilaku keseharian para salafus salih dianggap bagian dari sunnah Nabi Muhammad SAW.
“Seperti memelihara jenggot, berjubah, bagi wanita menggunakan cadar, mempakai celana isbal (celana di atas mata kaki), makan dengan tiga jari, mentradisikan makan kurma, olahraga renang, berkuda dan panahan. Juga mengharamkan musik dan hiburan. Pengharaman tersebut dianggap bid’ah dan sia-sia karena tidak pernah dilakukan oleh para salafus salih,” katanya.
Ia menyebut pola sikap sosial keagamaan tersebut sebelumnya tidak tampak dalam perilaku sosial keagamaan Muhammadiyah. Bahkan ada beberapa hal yang tidak sepaham dengan Himpunan Tarjih Muhammadiyah (HPT).
2. Gencar Sosialisasikan Jargon Ihyaussunnah
Musa gencar mensosialisasikan jargon Ihyaussunnah, menghidupkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad. Contohnya, gerakan salat Subuh berjemaah dan sebagainya.
“Di mana hal ini sebenarnya sudah menjadi tradisi warga Muhammadiyah, tetapi tidak diformalkan dalam bentuk spanduk atau pamflet di publik. Sementara oleh Musa cenderung diformalkan. Hal ini yang tidak ada sebelumnya di tradisi Muhammadiyah,” tulisnya.
Advertisement
Karakter Muhammadiyah Rasa Salafi (Lanjutan)
3. Cenderung Mengungkit Masalah Khilafiah Fiqih dan Sosial Keagamaan
Musa cenderung suka mengungkit kembali masalah khilafiah fiqih alias perbedaan fikih dan ibadah, seperti tata cara gerakan salat, tata cara makan, tata cara puasa, niat salat dan sebagainya.
Selain itu, juga mengungkit kembali persoalan khilafiyah sosial-keagamaan, seperti ziarah kubur, tawasul, cara berpakain, tata cara shalawat, maulid nabi, dan sebagainya. Mereka menganggap hal itu merupakan bagian perilaku bid’ah dan harus dimurnikan kembali.
Direktur Institut Studi Islam Indonesia ini menuturkan, persoalan-persoalan tersebut memang pernah marak dalam kajian dan dakwah Muhammadiyah pada masa pertengahan sejarah Muhammadiyah. Hal itu sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
“Dari situ kemudian kajian dan dakwah Muhammadiyah lebih mengedepankan mencari titik temu dari pada titik seteru dan lebih berorientasi pada kemajuan peradaban. Namun saat ini cenderung dibuka kembali oleh Musa sehingga berdampak terjadi gesekan kembali di arus bawah,” ungkapnya
4. Menggunakan Idiom Bahasa Arab
Musa dalam berinteraksi atau berkomunikasi antarsesama warga sering menggunakan idiom-idiom bahasa Arab. Fenomena ini disebut Arabisme sosial, di mana pola interaksi semacam ini sebelumnya jarang ada di Muhammadiyah.
“Pola interaksi komunikasi antarwarga Muhammadiyah biasanya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa setempat,” katanya.
Solihul menegaskan, membeberkan karakter Muhammadiyah rasa Salafi tidak dalam rangka menjustifikasi atau menilai baik dan buruk. Ia hanya ingin memotret fenomena yang ada di masyarakat, dengan harapan agar bisa dijadikan gambaran bagi rekonstruksi dakwah Muhammadiyah.
Ia menyarankan agar Majelis Tabligh merumuskan pola-pola dakwah agar jemaah Muhammadiyah tidak mudah terpengaruh oleh pola dakwah yang lain.