Sejarah Bubur Asyura yang Ternyata sudah Ada sejak Zaman Nabi Nuh AS

Tradisi bubur Asyura, kuliner khas tahun baru Islam yang sarat makna.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Jul 2024, 11:30 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2024, 11:30 WIB
Sejarah dan Filosofi Bubur Asyura
Ilustrasi Memasak Bubur Asyura Credit: pexels.com/Maarten

Liputan6.com, Jakarta - Bubur Asyura adalah hidangan khas yang populer saat Tahun Baru Islam. Kuliner ini biasanya disajikan bersamaan dengan pelaksanaan puasa sunah di bulan Muharam, bulan pertama dalam kalender Hijriah.

Pada hari ke-10 Muharam, yang dikenal sebagai Hari Asyura, umat Islam melaksanakan puasa sunah, dan Bubur Asyura menjadi makanan istimewa untuk berbuka puasa.

Tradisi memasak bubur Asyura biasanya dilakukan secara bergotong-royong, dan hasilnya kemudian dibagikan ke masjid atau warga sekitar. Bahan-bahan untuk membuat bubur ini dikumpulkan dari kontribusi masing-masing warga.

Pada saat memasak, para ibu sering berkumpul, berbagi cerita tentang keluarga, serta membahas berbagai isu sosial dan politik yang sedang hangat.

Bubur Asyura biasanya dibuat dari santan kelapa, pisang, nangka, gula merah, sagu, kacang hijau, labu kuning, dan ubi.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Sejarah sejak Zaman Nabi Nuh AS

Resep bubur asyura. (dok. Cookpad @Lselusia4078013)
Resep bubur asyura. (dok. Cookpad @Lselusia4078013)

Tradisi memasak Bubur Asyura merupakan bentuk ungkapan rasa syukur atas keselamatan yang diberikan Allah SWT. Menurut sejarah, bubur ini sudah ada sejak zaman Nabi Nuh.

Setelah Nabi Nuh dan pengikutnya selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu, mereka memulai tradisi memasak makanan dari berbagai jenis biji-bijian yang ada.

Diceritakan bahwa setelah perahu Nabi Nuh berlabuh pada hari Asyura, beliau meminta kaumnya untuk mengumpulkan semua perbekalan yang mereka miliki.

Kemudian, Nabi Nuh menginstruksikan mereka untuk memasak biji-bijian seperti kacang fuul, 'adas, beras, gandum, dan jelai. Beliau berkata, "Masaklah semua itu, dan kalian akan merasa bahagia dan selamat."

Peristiwa ini menjadi inspirasi bagi umat Muslim untuk memasak biji-bijian setiap Hari Asyura sebagai bentuk syukur dan peringatan akan keselamatan yang diberikan Allah.

Setiap bahan yang digunakan dalam pembuatan Bubur Asyura memiliki makna simbolis. Misalnya, kacang-kacangan melambangkan kesuburan dan keberuntungan, sedangkan rempah-rempah mencerminkan kekayaan rasa dan budaya.

Pembuatan Bubur Asyura

Resep bubur asyura khas Kalimantan Selatan. (dok. Cookpad @Cook_33716795)
Resep bubur asyura khas Kalimantan Selatan. (dok. Cookpad @Cook_33716795)

Biasanya dimulai sejak pagi hari dan berlangsung hingga sore. Proses yang panjang ini menunjukkan dedikasi dan kebersamaan dalam melestarikan tradisi.

Setelah selesai dimasak, Bubur Asyura dibagikan kepada seluruh warga desa, termasuk mereka yang kurang mampu. Hal ini mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian sosial dalam masyarakat.

Tradisi memasak Bubur Asyura juga melibatkan generasi muda, yang diajarkan oleh para orang tua tentang pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Ini menjadi cara efektif untuk melestarikan tradisi agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi berikutnya.

Di berbagai daerah di Indonesia, Bubur Asyura memiliki variasi yang unik sesuai dengan budaya dan ketersediaan bahan setempat. Misalnya, di Aceh, Bubur Asyura dikenal dengan cita rasa yang lebih pedas, sementara di Jawa, bubur ini lebih manis dengan tambahan gula merah dan kelapa parut.

Selain sebagai hidangan untuk berbuka puasa, Bubur Asyura juga sering disajikan dalam berbagai acara keagamaan, seperti pengajian dan doa bersama, menambah nilai spiritual dalam tradisi ini.

Bubur Asyura di beberapa daerah juga menunjukkan pengaruh dari budaya lain. Misalnya, di Sumatra Barat, pengaruh budaya Minangkabau terlihat dalam penggunaan rempah-rempah dan cara memasaknya.

Secara keseluruhan, Bubur Asyura bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga tradisi yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Indonesia tidak hanya melestarikan warisan kuliner, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual di antara mereka.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya