Kisah Karomah Kiai Abbas Buntet bikin Pesawat Bomber Belanda Berjatuhan dalam Perang 10 November

Kiai Abbas Buntet tersohor karomahnya yang membuat takut para penjajah. Salah satunya dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Agu 2024, 07:30 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2024, 07:30 WIB
Kiai Abbas
Kiai Abbas Buntet Cirebon (Nuonline)

Liputan6.com, Jakarta - HUT ke-79 RI merupakan momentum untuk mengenang jasa para pahlawan untuk meraih kemerdekaan dari para penjajah negeri ini. Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tak lepas dari peran serta kiai dan santri.

Salah satu nya adalah Kiai Abbas Buntet, ulama kharismatik asal kota Cirebon yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaaan bangsa Indonesia.

Nama belakangnya merujuk pada tempat kelahirannya yakni Buntet Pesantren, Cirebon.

Dalam pertempuran melawan penjajah, beliau menduduki posisi penting sebagai panglima Resolusi Jihad NU atas restu dari KH Hasyim Asy’ari.

Kiai Abbas tersohor memiliki kemampuan olah kanuragan dan ilmu hikmah yang mumpuni yang begitu disegani oleh para penjajah, baik Jepang maupun belanda.

Tak kalah menariknya pula, kemampuan istimewa atau karomah beliau mampu membuat kewalahan tentara angkatan udara penjajah membuat beliau mendapat gelar ‘Angkatan Udara Nahdlatul Ulama.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Hancurkan Pesawat Bomber Penjajah

Peristiwa 10 November 1945 dalam Aksi Teatrikal
Anggota komunitas Roodebrug Soerabaia dan Reenactor Indonesia melakukan reka ulang pertempuran Surabaya 10 November 1945, pada 5 November 2023. (Juni Kriswanto/AFP)

Mengutip NU Online, dikisahkan bahwa setelah mendapat restu dari KH Hasyim Asy’ari, Bung Tomo menggelorakan pekik takbir dan semangat perlawanan melalui pidatonya yang berkobar-kobar di radio.

Mereka yang mendengar pidato dari Bung Tomo langsung bergegas mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. 

Namun, ketika pasukan ini sudah siap untuk melakukan perlawanan, KH Hasyim Asy’ari menginstruksikan untuk menunggu salah seorang kiai yang ia sebut sebagai Macan dari Cirebon. Kiai yang dimaksudnya adalah Kiai Abbas dari Buntet Pesantren. 

Kiai Abbas dikenal memiliki ilmu kanuragan/bela diri tingkat tinggi dan supranatural yang mumpuni. Sesampainya di Surabaya, Kiai Abbas memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudhu dan meminum air yang telah diberi doa. 

Sementara itu, Kiai Abbas dan para kiai yang lainnya berada di posisi yang agak tinggi, sehingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa. 

Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban pun terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dari rumah-rumah warga berhamburan terbang menerjang serdadu Belanda. Suaranya tempak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga belanda kewalahan dan merekapun mundur.

Tidak lama kemudian pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara. 

Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, Tetapi hasilnya nihil, pesawat tersebut lagi-lagi meledak di udara sebelum beraksi. 

Sekilas tentang Kiai Abbas Buntet Cirebon

Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, KH Faris Fuad Hasyim (Istimewa)
Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, KH Faris Fuad Hasyim (Istimewa)

Menukil Republika, Pondok Pesantren Buntet di Cirebon, Jawa Barat, merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia. Kompleks ini didirikan KH Mukoyim pada abad ke-17. Selanjutnya, kiprah pesantren tersebut memunculkan banyak ulama besar. Di antara mereka adalah KH Abbas (1879-1946). Menurut buku Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, KH Abbas Buntet merupakan generasi keempat yang mengasuh pesantren tersebut. 

Dia merupakan putra sulung KH Abdul Jamil dan Nyai Qariah. Semasa anak-anak, dia belajar mengaji pertama-tama dari sang ayah dan KH Kriyan Buntet. Masa remajanya tercurah untuk menimba ilmu dari pesantren ke pesantren. Di antara guru-gurunya saat itu adalah KH Nasuha Sukansari (Plered), KH Hasan Jatisari (Weru), dan KH Ubaidah (Tegal). Dia juga pernah belajar di Pesantren Tebuireng (Jombang) di bawah bimbingan KH Hasyim Asyari. Sembari menjadi santri, dia menikah dengan seorang perempuan.

Sebagaimana generasi ulama-ulama besar Nusantara abad ke-19, dia menggunakan kesempatan beribadah haji sebagai momentum menimba ilmu. Teman-teman seangkatannya dari Indonesia adalah KH Baqir (Yogyakarta), KH Abdillah, dan KH Wahab Hasbullah (Surabaya). 

Di Masjid al-Haram, dia berguru pada antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Mahfudh at-Termasi. Dia termasuk pembelajar yang cemerlang. Hal itu ditunjang pula dengan fakta, ketika masih di Tanah Air, dia telah menjadi santri senior. 

Di Makkah, kala waktu senggangnya dia membimbing beberapa kawan sesama pelajar Jawi. Di antara mereka yang pernah dibimbing KH Abbas adalah KH Kholil (Balerante) dan KH Sulaeman Babakan (Ciwaringin).

Pulang dari Tanah Suci, KH Abbas semakin dihormati masyarakat. Dia pun tidak putus melanjutkan menuntut ilmu, seperti di Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asyarie. Pada saat itu, dia ikut mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri bersama dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Manaf.  

Selanjutnya, KH Abbas mulai memegang tampuk pimpinan Pondok Pesantren Buntet di kampung halamannya. Dia mengajak seluruh anggota keluarga besarnya untuk ikut membangun lembaga ini, terutama sebagai pengajar. Santri-santrinya berasal dari berbagai penjuru daerah.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya