Liputan6.com, Jakarta - Banyak anggapan bahwa kiai di Indonesia cenderung memiliki sikap yang "politikus," di mana mereka tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga terlibat dalam ranah politik dan sosial.
Pandangan ini muncul karena kiai sering kali berupaya untuk memberikan arah dan bimbingan dalam konteks kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, terutama dalam menghadapi isu-isu sosial dan politik yang berkaitan dengan kepentingan umat.
Beberapa orang berpendapat bahwa keterlibatan kiai dalam politik diperlukan untuk memastikan bahwa nilai-nilai agama dan moralitas dapat terjaga dalam pengambilan keputusan publik.
Advertisement
KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang lebih dikenal dengan Gus Baha, dalam sebuah ceramahnya memberikan pandangan unik terkait peran kiai di Indonesia yang menurutnya sering kali dianggap "agak politikus."
Hal ini ia sampaikan dalam sebuah video ceramah yang diunggah di kanal YouTube @NasehatGusBaha83. Gus Baha menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan dengan upaya kiai menjaga masyarakat dari pengaruh buruk penguasa yang tidak bermoral.
Menurut Gus Baha, kiai-kiai di Indonesia yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i sering terlibat dalam politik atau setidaknya bersikap politikus.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Alasan Utamanya
“Rata-rata kiai-kiai Indonesia itu ya agak-agak politikus, ya agak-agak kedonyan (tertarik pada dunia),” ujar Gus Baha sembari tertawa.
Namun, ia menekankan bahwa hal ini dilakukan bukan semata-mata karena mencari kekuasaan atau harta, melainkan untuk menjaga moral masyarakat dari pengaruh buruk para pemimpin yang tidak beriman.
Dalam ceramahnya, Gus Baha menjelaskan bahwa keterlibatan kiai dalam politik sering kali didorong oleh ketidakrelaan mereka melihat kekuasaan dipegang oleh orang-orang fasik.
Ia mencontohkan bagaimana seorang pemimpin yang tidak bermoral bisa merusak masyarakat dengan kebijakan yang mendukung kemaksiatan, seperti mengizinkan hiburan malam yang tidak senonoh atau perjudian.
“Coba kalau Bupati itu orang yang fasik, kemudian programnya supaya rakyat senang, semalaman dangdutan yang porno misalnya. Supaya rakyat senang, dibolehkan dugem, dibolehkan judi,” kata Gus Baha.
Situasi seperti ini, menurutnya, yang membuat kiai-kiai merasa perlu turun tangan atau setidaknya memberikan pengaruh dalam politik, agar kekuasaan tidak disalahgunakan untuk mendukung kemaksiatan.
Gus Baha menambahkan bahwa jika seorang pemimpin yang soleh atau bermoral memegang kekuasaan, maka kebijakan yang diambil akan lebih berpihak pada nilai-nilai agama.
“Tapi kalau yang jabat orang soleh, kan ada beberapa perda yang menolak penyakit masyarakat,” jelasnya. Ia menganggap bahwa kepemimpinan yang baik dapat mencegah kebijakan-kebijakan yang merusak akhlak masyarakat.
Sikap kiai yang "agak politikus" ini, menurut Gus Baha, sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak zaman dulu, para ulama tidak hanya berdakwah di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga berusaha memastikan bahwa masyarakat berada di bawah kepemimpinan yang adil dan beriman.
Gus Baha mencontohkan bagaimana para kiai tradisional berperan penting dalam menjaga moral bangsa Indonesia, terutama ketika dihadapkan dengan pemimpin yang memiliki gaya hidup atau kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Advertisement
Jika Tidak Seperti Itu, Khawatirnya Bisa Seperti Ini
Dia juga menjelaskan bahwa keterlibatan kiai dalam politik tidak selalu dalam bentuk menduduki jabatan formal. Banyak kiai yang hanya memberikan pengaruh melalui nasehat atau dukungan moral kepada pemimpin yang dianggap layak.
Namun, pada beberapa kasus, kiai juga terjun langsung ke dalam politik praktis demi memastikan bahwa masyarakat tidak terjerumus dalam pengaruh buruk dari pemimpin yang tidak beriman.
Keterlibatan kiai dalam politik juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral. Gus Baha menekankan bahwa banyak kiai yang merasa memiliki kewajiban untuk menjaga moral masyarakat, dan salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah orang yang beriman dan bermoral baik.
Menurut Gus Baha, tanpa peran kiai dalam politik, dikhawatirkan kekuasaan akan sepenuhnya dipegang oleh orang-orang yang tidak peduli pada nilai-nilai agama, dan hal ini bisa berakibat buruk pada akhlak masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, keterlibatan kiai dalam politik sering kali dilihat sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Meski begitu, Gus Baha juga mengingatkan bahwa tidak semua kiai terlibat dalam politik dengan niat yang mulia. Ia menyadari bahwa ada sebagian kiai yang terjebak dalam keduniawian dan menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri atau mencari kekuasaan. Namun, ia menegaskan bahwa mayoritas kiai di Indonesia masih memiliki niat baik untuk menjaga moral masyarakat.
Gus Baha juga mengakui bahwa posisi kiai dalam politik sering kali menjadi dilema. Di satu sisi, mereka merasa perlu untuk terlibat demi menjaga kepentingan umat, tetapi di sisi lain, keterlibatan dalam politik sering kali membawa risiko dicurigai memiliki ambisi duniawi.
Meskipun begitu, Gus Baha menekankan pentingnya peran kiai dalam menjaga moral bangsa melalui pengaruh politik.
Keterlibatan kiai dalam politik juga tidak selalu berjalan mulus. Gus Baha menekankan bahwa tantangan terbesar bagi kiai yang terjun ke dunia politik adalah menjaga keikhlasan dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama.
Ia mengingatkan bahwa godaan keduniawian dalam politik sangat besar, sehingga kiai yang terlibat harus memiliki komitmen yang kuat untuk tetap berjuang demi kepentingan umat.
Gus Baha menegaskan bahwa peran kiai dalam politik harus dipandang sebagai upaya untuk menjaga moral bangsa. Ia berharap bahwa masyarakat memahami niat baik kiai dalam keterlibatan politik dan tidak selalu mencurigai mereka sebagai orang yang mencari keuntungan pribadi.
Dengan demikian, pandangan Gus Baha ini memberikan perspektif yang berbeda tentang peran kiai dalam politik. Keterlibatan kiai dalam politik bukan semata-mata karena keduniawian, tetapi sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari pengaruh buruk para pemimpin yang tidak bermoral.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul