Liputan6.com, Jakarta Isu perang nikotin global tengah menjadi perbincangan hangat aktivis tembakau hingga akademisi.
Mereka sempat bertemu dalam sebuah acara bedah buku Nicotine War yang digelar di kawasan Fisip Unpad Bandung. Buku diketahui karya Wanda Hamilton.
Dalam pertemuan tersebut Koordinator Nasional Komunitas Kretek Indonesia Abhisam Demosa mengatakan, Nicotine War merupakan hasil riset dan kajian Wanda Hamilton.
Advertisement
Baca Juga
Buku tersebut menguliti kepentingan bisnis obat-obatan dan dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengendalian tembakau.
"Isu personal dan legal (tentang merokok) telah diubah menjadi kesehatan publik. Tembakau telah dinyatakan oleh mereka (kelompok antirokok) sebagai musuh bersama dan harus segera diperangi," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis (3/11/2022).
Dia mengatakan, perang nikotin nyaris dimenangkan oleh korporasi farmasi internasional. Kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.
Bagi Abhisam, isu antirokok selaras dengan kepentingan mereka untuk menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya.
"Kenaikan cukai rokok sejatinya sebagai mata tombak untuk menghancurkan industri kretek nasional. Selain itu, tujuan besarnya untuk membentangkan karpet merah bagi kepentingan bisnis nikotin, MNC farmasi, dan MNC tembakau di Indonesia," terang Abhisam.
Pengajar Departemen Antropologi Universitas Padjajaran, Dede Mulyanto menggunakan pendekatan neokolonialisme dalam memahami Nicotine War. Menurutnya, neokolonialisme itu salah satu cara untuk menguasai kapitalisme global.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Arena Pertarungan
Dede menambahkan bahwa kapitalisme itu lahir dari eksploitasi tumbuhan yang memiliki pasar.
"Mereka, para asing, menyuruh kita untuk menanam tanaman dari Amerika, karena padinya mau diambil. Artinya mereka ingin melakukan penguasaan ekonomi melalui pasar. Pada intinya, mereka hendak melakukan monopoli pasar," ungkap Dede.
Menurut Dede, Indonesia acap kali hampa dalam menemukan solusi atas berbagai permasalahan. Masyarakat Indonesia menjadi minder dan rendah diri bahkan, lebih berbahayanya lagi, menelan mentah-mentah kebenaran yang dibuat korporasi farmasi.
"Obat berhenti merokok merupakan bentuk dari disorder mental yang baru. Merokok atau tidak merokok bukan permasalahan utama. Sebab, yang lebih utama, kretek adalah produk Indonesia dengan bahan baku yang kita miliki hingga saat ini. Itu yang mestinya dijaga," katanya.
Pengajar Departemen Sosiologi UGM, AB Widyanta menegaskan bahwa pentingnya Nicotine War untuk dikaji kembali. Buku tersebut, kata dia, merupakan hasil riset ekonomi politik kritis dari Wanda Hamilton.
"Riset ekonomi politik terhadap dominasi penuh muslihat yang gencar dilakukan oleh korporasi medis dan farmasi dalam pertarungan politik bisnis internasional," ujar AB.
AB juga menyoroti bahwa nikotin telah menjadi arena pertarungan kuasa yang akan senantiasa memberikan kontestasi berbagai strategi yang kompleks melalui perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.
"Tarik ulur kepentingan selalu terjadi pada setiap relasi kuasa yang berlangsung di antara pro dan kontra terhadap rezim kesehatan, korporasi farmasi global, negara, petani tembakau, petani cengkeh, dan perokok. Dengan kerangka analisis itu, kita bisa menerapkannya untuk membaca data yang terhampar dalam buku Nicotine War," kata dia.
Advertisement