Liputan6.com, Jakarta Terhadap Paris, New York, Milan, dan London, insan-insan fesyen di seluruh dunia didefinisikan posisinya. Art Director Marc Ascoli di satu koordinat dan Natasha Fraser-Cavassoni serta penerbit buku Rizzoli di koordinat lain yang saling terhubung akan menghasilkan sebuah bidang segitiga istimewa di antara absis dan ordinat fesyen. Segitiga tersebut nyata pada Kamis, 8 Januari 2015, di Jakarta. Adalah desainer Indonesia, Biyan, yang menjadi energi di mana keterhubungan pihak-pihak tersebut kemudian dihasilkan. Saat itu di Hotel Dharmawangsa adalah peluncuran buku Biyan.
Mengenal 3 Nama Penting dari Buku Biyan
Advertisement
Wajar bila seorang desainer begitu senang bila penerbit bukunya adalah Rizzoli. Penerbit ini memang terkenal dengan buku-buku fesyen yang diterbitkannya. Bahkan desainer sekelas Jeremy Scott yang merupakan Creative Director dari label Moschino begitu bersemangat bahwa ia bisa bekerja sama dengan Rizzoli dalam pembuatan buku yang dirilis pada bulan November 2014. Spirit kegembiraan juga terpancar dari diri Biyan yang bukunya diterbitkan oleh Rizzoli.
“It is everyone’s dream to have book published by Rizzoli,” ucap Biyan di konferensi pers peluncuran buku yang akan dicetak sebanyak 5.000 eksemplar itu. Jika merupakan satu hal absurd untuk membandingkan tingkat kesenangan yang dirasakan Jeremy Scott sebagai desainer internasional dan Biyan sebagai desainer besar Indonesia, bukan merupakan hal keliru bila pecinta fesyen bertanya tentang apa yang memungkinkan Biyan untuk merilis buku di bawah bendera penerbit besar berskala internasional itu.
Terlebih ini bukan hanya tentang Rizzoli tapi juga tentang keterlibatan Marc Ascoli dan Natasha Fraser-Cavassoni. Jejak Fraser-Cavassoni (anak dari penulis sejarah dan fiksi asal Inggris Antonia Fraser) di dunia fesyen diisi dengan pekerjaan untuk desainer senior Karl Lagerfeld hingga menjadi European Editor majalah Harper’s Bazaar. Pada tahun 2014, ada 2 buku yang dibuat olehnya, yakni `Monsieur Dior: Once Upon a Time` dan `Loulou de la Falaise` (mengenai muse dari desainer Yves Saint Laurent) yang dibuatnya bersama Ariel de Ravenel. Buku `Loulou de la Falaise` itu diterbitkan oleh Rizzoli.
`Loulou de la Falaise`, `Dior: The Legendary Images – Great Photographers and Dior`, dan `Louis Vuitton Fashion Photography` adalah sedikit contoh dari buku-buku fesyen terbitan Rizzoli. Untuk buku yang terakhir disebut, salah satu fotografer yang terlibat adalah Mert Alas and Marcus Piggot. Pada tahun 2001, Mert & Marcus yang merupakan new talent dipakai oleh Marc Ascoli dalam mengerjakan iklan koleksi fall-winter 2001 label Hugo Boss (iklan ini merupakan iklan internasional pertama yang digarap oleh duo fotografer itu).
Nama Marc Ascoli di dunia fesyen internasional sudah berkibar sejak lama. Menggarap proyek fesyen Chloe, Versace, Cerruti, Jil Sander, Louis Vuitton, dan berbagai label lain bersama fotografer-fotografer ternama sekelas Peter Lindbergh dan Patrick Demarchelier (ia juga menemukan bakat-bakat fotografi seperti Nick Knight, Craig McDean, dan David Sims), Ascoli menetaskan karirnya dari pekerjaannya untuk desainer dunia asal Jepang, Yohji Yamamoto, pada tahun 1984.
Melihat Cerminan Biyan dalam Bukunya
Melihat Cerminan Biyan dalam Bukunya
Sore di ruang terbuka Hotel Dharmawangsa, Kamis (8/1/2015), angin sesekali berhembus cukup kencang. Biyan, Natasha Fraser-Cavassoni, Marc Ascoli, pihak Rizzoli duduk berjejer dalam konferensi pers peluncuran buku dengan isi setebal 238 halaman dan tekstur sampul yang unik itu.
Dari konferensi pers tersebut diketahui bahwa Biyan gemar membaca buku dan sudah lama ingin membuat buku dan keinginan itu semakin jelas saat dirinya akan menginjakkan usia karir ke-30 tahun. Tapi dirinya tak mau sembarang membuat buku. Ia mau buku buatannya punya makna besar. “But it has to be a great meaning,” ucap Biyan.
Seperti tertera di bagian akhir buku tersebut, untuk membuat buku ini Biyan mencari rekan yang punya titik pandang jauh dari kehidupannya demi mendapat sebuah surprise pada hasil akhirnya. Atas saran Yasuo Umetada, teman Biyan yang bekerja sebagai associate Ascoli, Biyan menemui Ascoli untuk membahas impiannya membuat buku.
Obrolan Biyan dan Ascoli berlanjut selama sekitar 2 tahun di mana Fraser-Cavassoni dan Rizolli juga dilibatkan. Percakapan itu disebut Biyan diisi dengan berbagai silang pendapat antara dirinya dan Ascoli. “Biyan is not pushy. It’s almost like a telepath,” kelakar Ascoli tentang bagaimana Biyan menyampaikan pendapatnya dalam berdiskusi.
Bagaimana hasil diskusi Biyan dan Ascoli yang saling menilai bahwa rekannya punya keseriusan yang besar terhadap kualitas sebuah karya? Halaman 195 buku Biyan: Midi dress berwarna copper metallic berukuran di bawah lutut dengan bagian lengan berukuran sesikut (koleksi Spring-Summer 2014) semakin memancarkan kesan contemporary parisian fashion bermateri classic european kala difoto berlatar sisi kota Paris malam hari yang sepi dan tampak kabur hasil jepretan fotografer Stefan Khoo. Itu cerminan identitas fesyen Biyan: Kontemporer.
Materi-materi kontemporaritas desain Biyan ada bermacam-macam. Pada halaman 58-59 ditemukan white top berikat pinggang pita dengan detil embroidery (koleksi Spring-Summer 2014) berpadu sequin skirt (koleksi Spring-Summer 2010) nampak bermaterikan napas ke-Indonesiaan. Karya ini terbaca sebagai interpretasi kontemporer atas kebaya Bali. Suasana sendu – yang kali ini bernuansa alam tropis di Bali – kembali menjadi latar dari foto buatan Davy Linggar dan Stefan Khoo.
Dari bagian awal foto bertajuk `Enchanted Tales` hingga bagian ke tujuh `My Home` memang bukan hanya kesenduan yang dapat ditemukan pada buku fesyen ini. Ada raut suram, determinasi, perenungan, keingintahuan, keceriaan, imajinasi, saat lelah, pride, random feeling, dan berbagai guratan lain dalam halaman-halaman buku yang bukan hanya menampilkan pose-pose fesyen para model tapi juga close-up expression dan objek-objek lain seperti alam, bangunan, pajangan, kalung, dan sebagainya. Melalui fotografi fesyen dari rancangan-rancangan busananya dan hal-hal lain, buku ini bicara tentang Biyan itu sendiri.
Dalam konferensi pers, Biyan merujuk hal tersebut dengan sebutan perjalanan hidup. Katanya, “It is a journey of my life”. Satu hal yang dapat dilihat dari foto-foto di buku itu ialah bahwa foto-foto tersebut tampak selalu terbungkus dalam derajat keheningan. Bahwa Biyan serupa orang yang utuh tercerap dalam dirinya sendiri dalam menjalani kehidupannya, yang terwujud dalam ketenangan dalam merespons lingkungan. Mungkin ini yang dimaksud oleh Fraser-Cavassoni dengan mengatakan bahwa ia melihat spiritualitas dalam Biyan. “I think there is something very spiritual about Biyan,” ucap Fraser-Cavassoni kepada Liputan6.com saat berbincang di acara seremoni peluncuran buku Biyan yang dipandu oleh MC Rebbeca Tumewu.
Advertisement
Kenapa Biyan?
Kenapa Biyan?
Satu persatu model yang mengenakan rancangan putih Biyan menyusuri jalur yang terbentuk secara `alami` oleh karena sebaran tamu di ruang berdinding putih berhias jejeran foto fesyen Biyan terpecah hasil model terawal menerobos mereka yang sudah berkumpul di venue acara sejak pukul 7 malam (sebuah petunjuk lain tentang kontemporaritas rancangan-rancangan Biyan). Cukup banyak tamu wanita yang mengenakan koleksi Biyan saat itu. Salah satunya adalah, Natasha Fraser-Cavassoni yang dalam buku Biyan menulis hasil wawancaranya dengan desainer lulusan London College of Fashion itu.
Ada banyak pertanyaan yang diajukan Fraser-Cavassoni kepada Biyan, yang dalam buku itu dimuat di bagian awal. Mulai dari perihal rancangan, perjalanan hidup, hewan peliharaan, hingga rumah. “I want to show how pure he is,” jawab Fraser-Cavassoni kala ditanya Liputan6.com pada sebuah percapakan singkat di tengah-tengah acara (sebelum akhirnya ia bergegas pergi untuk seremoni pemberian karangan bunga dari Biyan) tentang apa yang ingin disajikannya dalam tulisannya tentang Biyan.
Topik obrol kecil selama sekitar 12 menit itu berpusat pada satu hal menarik tentang Biyan. Baik Fraser-Cavassoni maupun Marc Ascoli menilai bahwa rancangan-rancangan Biyan punya kualitas yang sangat baik (Frasser-Cavassoni bahkan menunjukkan betapa ia menyukai rancangan Biyan yang dikenakannya saat itu). Keduanya memandang desainer dengan karakter calm & shy yang menyelenggarakan fesyen show 31 tahun bertema `Seruni` di tahun 2014 itu sebagai insan fesyen yang sangat bertalenta.
Bahwa Biyan dengan segala yang ia miliki (baik talenta besar dan pencapaiannya selama ini sebagai desainer Indonesia yang rancangan-rancangannya sudah masuk ke berbagai negara) tak mengambil jalur yang diperebutkan banyak orang – yakni menjadi besar di dunia internasional – adalah apa yang membuat Fraser Cavassoni “tersentuh” di mana hal itu merupakan salah satu alasannya terlibat dalam proyek pembuatan buku yang latar fotografinya sebagian besar di Indonesia dan beberapa di Prancis.
Pilihan Biyan itu ditempatkan Frasser-Cassavoni dalam maknanya terhadap situasi di mana banyak orang-orang yang terobsesi “menguasai” dunia . Dalam pandangannya yang terdengar praktikal, fashion menurutnya memang pada satu sisi harus bisa menjual. “Fashion has to sell. No clientele, no fashion,” ucapnya. Namun Fraser-Casavoni juga mengatakan bahwa purity adalah sesuatu yang bisa membuat fesyen Paris terus berlanjut hingga kini.
Bicara soal kesannya atas rancangan-rancangan Biyan, Fraser-Cavassoni memuji bagaimana Biyan memiliki sense of Europe dengan Indonesian touch yang dihadirkan pada karya-karyanya. Perihal Biyan yang setia memberi ke-Indonesiaan pada rancangan-rancangannya ini mendapat apresiasi dari Ascoli lantaran saat ini dilihatnya terlalu banyak desainer dari berbagai penjuru dunia yang bertujuan untuk semakin menunjukkan nuansa internasional dari rancangan-rancangannya. Ini menjadi salah satu alasannya untuk terlibat dalam proyek pembuatan buku Biyan. Di samping itu, Ascoli juga merasa bahwa proyek ini membuka matanya tentang bagaimana orang-orang dari belahan dunia lain melihat fesyen.
Biyan dan kontemporaritas rancangannya merupakan produk dari sebuah evolusi budaya dan evolusi ini lah yang ditekankannya pada rancangan-rancangannya. “All my designs evolve with the wearer,” kata-kata Biyan di halaman 206 bukunya (sebuah pandangan yang kontemporer).
Bagaimana Biyan itu sendiri akan berevolusi? Apakah ke arah di mana banyak orang mengharapkannya untuk dikenal sebagai figur internasional? Waktu yang akan menjawabnya dan mari hargai ruang Biyan untuk mengambil keputusannya sebagai individu otonom. Satu hal yang bisa dipelajari dari seorang Biyan adalah ungkapan syukur yang dilontarkannya saat itu: `I am being grateful that until now I can do what I love the most`.