Dengan Jeep Menuju Merapi, Lewat Memori Menuju Refleksi

Pada awal Mei 2015, Liputan6.com berkesempatan mengikuti tur off-road ke Merapi. Simak ulasan perjalanannya berikut ini.

oleh Bio In God Bless diperbarui 02 Jun 2015, 18:05 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2015, 18:05 WIB
Gunung Merapi - Yogyakarta 0515 6

Liputan6.com, Jakarta `The House of Memory`. Tulisan itu menyambut Liputan6.com dengan rangka tulang sapi menggantung di papannya. Ini adalah pos pertama dari tur kawasan Gunung Merapi yang diikuti awal Mei 2015 lalu.

Debu letusan gunung yang menduduki 2 wilayah administratif itu, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa tengah, menempel pada macam-macam rongsokan yang dipamerkan di sana. Bertempat di sebuah bangunan yang rusak karena letusan, memorabilia korban gempa dipajang, menjadi referensi tentang bagaimana dahsyatnya erupsi yang berpuncak pada 5 November 2010.

Sebelum sampai di tempat tersebut, jeep yang ditumpangi telah melewati sebuah makam 21 warga setempat yang menjadi korban. Menurut berbagai pemberitaan media, saat bencana berlangsung, gemuruhnya terdengar hingga ke Kota Yogyakarta yang berjarak 27 Kilometer dari puncak gunung.

Sulit untuk memproses imaji yang muncul di otak tentang situasi mencekam waktu itu. Pasalnya, saat tim bertandang, Merapi dan sekitarnya begitu tenang meski tampak kegagahannya yang cukup menghadirkan getaran di jiwa.

Tur off-road ini dimulai dari Kali Kuning, Cangkringan. Sunglasses hitam pekat sudah padu dengan kaos hitam yang dipadanankan dengan hot pants. Laju mobil di area kali berbatu itu menjadi pemanasan singkat yang membawa excitement di sepanjang jalan mulus menuju kawasan Merapi.

Menghadang angin, rambut berkibar. Posisi duduk di bangku depan di sebelah supir memberi jangkauan pandang yang optimal. Matahari cerah menyinari perjalanan.

Saat itu akhir pekan. Banyak rombongan lain yang juga mengambil tur merapi dengan jeep. Kala mobil berpapasan, tampak ekspresi penumpang yang rata-rata riang bersemangat.

Dalam perjalanan, beberapa kali Pak Heri sang pengemudi sekaligus pemandu wisata memberi penjelasan terkait bencana erupsi. Saat melewati satu area, ia berucap “Ini tadinya Desa Kaliadem. Sekarang sudah tidak ada karena tertimbun lava. Tidak boleh lagi ada pemukiman. Tadinya ada banyak losmen di sini”.

Sebelum letusan terjadi, kawasan yang hanya berjarak 4 kilometer dari gunung Merapi itu ditumbuhi oleh pinus. Kini vegetasi lain telah menggantikannya. Rasa simpati jelas muncul kala diperdengarkan kisah bencana yang memakan korban jiwa. Tapi gambaran utuh yang bisa dibuat dari semua yang terjadi tak akan lengkap bila sekadar diisi oleh simpati. Pelajaran yang bisa diambil ialah tentang bagaimana berelasi dengan alam.

Kepastian memang bukan properti milik manusia. Bencana ataupun berkah punya cakrawala yang terlalu luas untuk dijangkau oleh mata. Akan tetapi bagaimana mengenal alam ini secara lebih jeli tentu bisa menjadi panduan untuk dapat berinteraksi dengannya secara lebih arif.

Bila memang butuh mengambil jarak darinya, ambilah jarak itu dan hormati ia bersama teritorinya. Saat ia memang sedang ramah untuk dihampiri, hampirilah dengan kemawasan diri dan Anda bisa tersenyum oleh karena pengalaman bersamanya.

Saat menjalani tur, pesona hijau gunung itu selalu berhasil memukau mata. Sampai di pos terakhir, diri berhadap-hadapan langsung dengan sang Merapi. Lekuk-lekuknya membawa imajinasi pada suasana masa jurasik.

Di lahan berbatu besar kecil yang menyebar di antara rumput dan ilalang, para turis asik berkeliling maupun berfoto, dan tak luput ber-selfie. Satu jam menjalani tur, tim pun kembali ke peraduan di Hyatt Regency Yogyakarta.

(bio/igw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya