Liputan6.com, Jakarta Sakitmu apa nak? Semalaman penuh tak henti tangismu. Kau tampak gelisah, tak tenang. Masih kuingat tadi siang kau pulang ke rumah dengan bahagia. Senyummu mengembang persis seperti namamu. Nama yang dipilihkan nenekmu, ibuku. Kenanga. Aku tak tahu persis kenapa ia memilihkan nama bunga yang berwarna kuning terang itu pada cucu pertamanya. Itu bukanlah bunga yang seindah mawar atau melati, tidak juga sepopuler anggrek yang harganya mencapai jutaan itu.
Ah Kenanga, kini kau terbuai sakit. Merintih pelan di tempat tidur rumah sakit pemerintah. Tak berdaya melawan sesuatu yang sama-sama kita tidak ketahui.
Ibumu kini tampak parah. Sejak semalam ia tidak tidur. Tak henti ia membelai rambutmu yang lengket karena keringat. Segala macam doa tolak sakit dan bala sudah coba dirapalkannya. Kekuatannya yang sudah kulihat selama tujuh tahun pernikahan seakan bobol, amblas.
Advertisement
Aku tak tahu persis apa yang terjadi. Setelah melihatmu pulang bermain siang kemarin, aku segera kembali ke tempat kerjaku. Bekerja sebagai buruh upahan hanya memberimu waktu makan siang satu jam sebelum kembali ke tempat proyek. Hanya sebentar aku melihat senyuman gembiramu sebelum aku memutuskan kembali ke proyek.
Namun, tengah malam itu, beberapa jam yang lalu kau berteriak di tengah lelapmu. Kami pikir kau bermimpi buruk. Ah, kau biasa demikian. Bermimpi buruk lalu memanggil ayah ibumu. Kau tahu orangtuamu akan datang—apa pun yang terjadi—dan beberapa detik kemudian sudah hadir di sampingmu, membelai rambutmu. Diam-diam kau menyadari bahwa sudah orangtuamu ada di sisimu. Ketika kami berdua ada, takkan kau takut akan apa pun juga. Tidak ada.
Tapi malam itu berbeda.
Kau berteriak, memanggil kami. Kami segera terbangun. Aku sendiri setengah melompat dari ranjang usangku, meninggalkan Lasri di sampingku. Aku tiba lebih dulu di kamarmu yang hanya dibatasi sekat tripleks.
Lampu 5 watt yang kedap-kedip karena sekarat nyaris putus menerangi wajahmu yang pucat. Bulir-bulir keringat menetesi bantal tempat tidur.
"Ayaah, ibuuu....," teriakmu lagi. Badanmu meringkuk, membungkuk, persis seperti posisi bayi di rahim ibunya. Tangan mungilmu sibuk memeluk perut. “Sakit, ayah.”
Kali ini tak sekencang sebelum-sebelumnya. Saat itulah aku tahu, ini bukan karena mimpi buruk. Sebab, matamu yang mungil itu sudah melihatku, tapi teriakmu tak kunjung reda. Kau sadar, sesadar aku yang harus segera membayar tunggakan motor yang sudah dua minggu jatuh tempo.
Kau tak lantas tenang melihatku. Melihat ibumu. "Sakit perutku, ayah," katamu lemah. Tanganmu meremas erat lambungmu, seakan menekannya kuat-kuat akan mengusir sakitnya. Namun, yang ada justru memperburuk semuanya. Titik-titik keringat seketika muncul di atas bibirmu, di pucuk hidungmu.
Aku pernah merasakan sakit seperti ini. Ketika kau tidak bisa menguasai dirimu untuk menahan sakit. Saat itu bahkan aku tidak bisa menangis. Aku lupa bagaimana caranya menangis ketika berhadapan dengan sakit tak tertahankan seperti itu. Aku hanya bisa berteriak, dan berharap cara itu bisa mengurangi sakitnya.
“Kenanga, kenapa kamu, nak?” tanya ibumu.
“Ada nenek tadi, ada nenek...” ucapnya tak berdaya. Kami—orangtuamu—sampai harus saling melirik untuk memastikan telinga kami tidak salah dengar. Kau tak pernah bertemu nenek. Kami mengenalkan nenek padamu melalui pas foto yang sengaja kami perbesar sepeninggal nenekmu.
Ingatanku langsung melintas menembus waktu. Tidak terlalu lama, sekitar lima tahun lalu. Saat itu kami berdua sedang duduk di sebuah warung pecel ibuku, nenek Kenanga. Hari sudah menjelang sore, warung pecel sederhana yang ramai menjelang makan siang tadi sekarang sudah sepi. Tapi ibuku masih setia menunggui warungnya. Katanya, sayur mayur dan saus kacangnya masih cukup untuk setidaknya tiga porsi. Siapa tahu masih ada yang mau beli, jadi kami putuskan untuk menunggu rejeki di warung yang sudah reyot ini.
“Paiman,” panggil si Mbokku, nenek Kenanga.
Aku datang mendekat.
“Umur Mbokmu sudah enggak muda lagi, Paiman,” tutur ibuku hari itu. Kebetulan hari itu pekerjaanku sebagai kuli bangunan lepas sudah selesai. Upah setengah hari dibayarkan hari ini oleh mandor proyek. Selesai bekerja, aku putuskan untuk menemani ibuku yang sudah janda alih-alih menengok istriku yang sedang hamil muda. “Bisa melihat anakmu nanti lahir saja sudah untung.”
“Ngomong apa sih si Mbok. Memangnya mau ke mana? Anakmu semua baik Mbok, nggak ada yang nyusahin. Biar nggak bisa hidup mewah, kami bisa dibilang sudah mandiri.”
Ibuku nyengir. Barisan gigi menghitam yang bersela terlihat. Tawanya lepas kala itu. Aku menduga ia senang betul mendengar ketiga anaknya sudah bisa mandiri, tak perlu bergantung lagi padanya dan warung pecelnya. Aku ingat betul bagaimana ia banting tulang melakoni tiga pekerjaan sekaligus untuk membiayai hidup kami: ojek anak sekolah di pagi hari, buruh cuci setrika di siang hari, dan pengumpul plastik bekas air mineral di malam hari. Dalam masa-masa perjuangannya sebagai seorang janda anak tiga, kami tidak pernah tidak makan sehari tiga kali. Tidak pernah pula kami tidak pergi ke sekolah karena tidak punya ongkos. Kami berkecukupan, tentunya dalam versi kami sendiri.
“Si Mbok mau bilang sesuatu. Mumpung si Lasri lagi mengandung anakmu. Sudah lama juga kalian menunggu bayi toh ya?” ujarnya, terkekeh. Ia mengipas-ngipas selembar karton bekas kardus air mineral, mencoba mengusir lalat yang mencoba-coba mendekati sayuran pecelya. Para lalat tampak bak kamikaze Jepang, pasukan siap mati yang pantang menyerah meski beberapa kali berhasil terpental karton ibuku.
“Bilang apa, Mbok?”
“Dulu nak, dulu sekali, si Mbokmu ini pernah berutang nyawa,” ibuku membuka kisahnya. “Waktu itu, si Mbokmu masih perawan, kelas 2 SMA, pulang sekolah. Waktu itu si Mbok baru datang ke Jakarta, tinggal di rumah budemu di kawasan Pasar Minggu. Si Mbok mau nyeberang waktu itu, tapi tiba-tiba ada motor ngebut. Bapak-bapak paruh baya kalau tak salah.” Si Mbok berhenti bercerita. Matanya memandang jauh, seakan mencoba memanggil kepingan-kepingan ingatan yang terserak beberapa puluh tahun lalu. “Lalu kemudian ada anjing.”
“Anjing Mbok?” aku mendekatkan kepala sedikit ke arah ibuku; mencoba menebak ke arah mana ceritanya berlanjut.
Ibuku hari itu memang agak lain, mendadak bercerita tentang kisah masa lalunya juga bukan kebiasaannya. Biasanya ia bercerita yang ringan-ringan saja, mengenai harga cabai yang naik, sayur yang tak lagi segar menggemaskan ketika sampai ke tangannya, hingga pelanggan yang sengaja (atau tidak) lupa membayar pecelnya.
“Iya anjing,” si Mbok mengulang. “Anjing itu tiba-tiba saja melintas, menghalangi jarak antara si Mbok dan motor ngebut yang sudah sangat dekat. Lalu, si Mbok hanya melihat si anjing terkapar di jalan, dan si bapak-bapak bermotor melajukan motornya pergi.”
Ibuku terdiam, ingatannya melayang. “Anjing itu berdarah nak. Perutnya hancur, isi ususnya aur-auran di jalan...” Aku bisa melihat kengerian tak terperi di wajah ibuku kala itu. Pupil matanya mengecil, nyalinya yang super itu menciut. Ia merinding terhadap ingatannya sendiri. Aku mencoba membayangkan kejadian itu. Yang aku tahu ibu selalu menghindari anjing. Ia—dan kami sekeluarga—tahu betul larangan untuk memakan, memegang, atau berkontak langsung dengan anjing. Anjing dalam tradisi keluarga kami belum pernah jadi sedemikian penting. “Si Mbok pegang si anjing, mencoba menyatukan usus yang tercecer, memasukkannya lagi ke dalam perut si anjing. Si Mbok berusaha nak, sungguh berusaha menyelamatkan si anjing. Tak si Mbok pikirkan omongan Pak Ustaz untuk menghindari anjing, najis, haram. Si Mbok lupa itu semua.”
Aku tersenyum, memandang ibuku, bangga dengan pilihan yang dibuat ibuku. Menyelamatkan sesama makhluk hidup lebih penting dibanding perkataan Pak Ustaz.
“Tapi sia-sia saja. Anjing itu mati beberapa menit kemudian. Kaingan terakhir menutup usia si anjing. Si Mbok menangis waktu itu,” katanya. Entah kenapa, aku sungguh merasa berduka, menyesal, sedih, berdosa, bahkan berutang nyawa pada sesuatu yang tak pernah kulihat.
Ibuku melanjutkan, “Si Mbokmu ini, Man, berutang nyawa pada anjing ini nak. Bukan hanya si Mbok yang berutang nyawa, tapi kamu, kita semua sekeluarga. Bayangkan kalau si Mbok mati, kamu atau adik-adikmu tidak akan pernah lahir, bahkan jabang bayi di rahim si Lasri.”
“Makanya Paiman, si Mbok punya satu permintaan sama kamu. Kamu harus ingat ini baik-baik,” kata ibuku.
“Apa itu Mbok?”
“Namai anakmu Anjing Kenanga. Demi si Mbok, demi anjing yang sudah mati untuk menyelamatkan nyawa si Mbok, demi jabang bayimu.”
Aku tersentak. Anjing Kenanga? Kenanga adalah nama yang indah, pohon dengan bunga berwarna kuning mencolok. Tapi anjing. Anjing bukanlah nama yang umum. Anjing bukan binatang yang dijunjung tinggi dalam agama kami. Tetapi setelah mendengar cerita si Mbok, kini anjing bukan lagi binatang biasa. Ia pahlawan. “Baik Mbok,” jawabku kala itu.
Beberapa hari setelah obrolan itu, ibuku berpulang. Ia meninggal dalam tenang ketika tidur. Wajahnya bersih, tenang. Tiada ketakutan, dendam. Ia meninggal dalam senyum, serupa dengan tawanya ketika aku berujar tempo hari kalau semua anaknya sudah mandiri. Sudah tidak ada yang perlu ia cemaskan.
***
“Anjing...,” bisik Lasri. Aku tak menyadari ia sudah duduk di sampingku, di bangku koridor rumah sakit. Wajahnya sepucat kertas. Ia perlahan menyandarkan kepala di bahuku. Tampak sekali ia syok dan lelah. Rasanya kami sama-sama tak bisa berpikir sekarang.
Dokter yang memeriksamu menyatakan tidak ada yang aneh dengan perutmu atau lambungmu. Meski masih harus menunggu hasil lap, dokter tidak menemukan hal yang berbeda dari anak lainnya. Keanehan lain lagi di hari ini.
“Kenapa dengan anjing?” tanyaku penasaran.
“Tadi siang, Kenanga bercerita, ia dan teman-temannya baru saja memukuli seekor anjing kampung yang melintas dari kampung sebelah. Anjingnya tidak mati, kata Kenanga mereka hanya berhasil mematahkan salah satu kakinya. Si anjing berhasil lari ketika mereka ingin melucutkan tongkat ke arah kaki lainnya.”
Aku tersentak. Informasi ini begitu cepat untuk kucerna. Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing...
“Memukuli anjing? Kenanga bersama teman-temannya?” tanyaku tak percaya dengan yang kudengar. Senyum gembira dan bahagia yang tadi siang kulihat ternyata bukan senyuman seorang anak manis. Bukan tawa anak baik dan kaya akhlak seperti yang selama ini aku selipkan dalam setiap dongeng sebelum tidur. Memukuli orang lain, apalagi makhluk tak berdaya bukanlah nilai yang ingin aku tanamkan padanya.
Kini aku marah.
Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing...
“Maaf bapak,” sela seorang perawat perempuan. Ia membuyarkan bayanganku. “Mohon ke bagian administrasi. Ada beberapa dokumen...”
Tanpa menunggu si perawat menyelesaikan ucapan, aku segera bangkit, meninggalkan Lasri yang penuh tanda tanya.
“Malam, Pak,” sapa pegawai administrasi kurang ramah. Entah karena mengantuk atau karena aku tampak buruk memakai pakaian tidur yang lusuh dan bersendal warung. Aku mengangguk sekadarnya. “Nama anak Bapak?”
“Kenanga,” jawabku.
“Kenanga? Kenanga saja? Tidak ada yang lain?” tanya dia. Kami bertatapan. Aneh. “Pak, Kenanga saja?”
“Pak? Bapak?”
Kepalaku seperti terantuk, tersadar. Aku memandang si pegawai administrasi. Senyap. Namun alih-alih melihat wajahnya, aku malah membayangkan mata si Mbokku. Mata abu-abu. Aku tetiba mengingat pesan ibuku tentang nama anakku. Teringat juga betapa mati-matian Lasri menolak nama Anjing Kenanga yang diminta ibuku, dan bersikeras kalau hanya akan menggunakan nama belakangnya saja dan menanggalkan kata “anjing” di depan.
Malam itu rasanya aku terjepit. ‘Si Mbokmu sudah meninggal, dia tidak akan tahu,’ tutur Lasri kala itu. Teringat pula betapa kemudian Lasri sepenuh hati merayuku, membujukku untuk menanggalkan nama “anjing”. Aku teringat pula betapa cantiknya ia saat merayuku, betapa lembut dan harum tubuhnya. Aku terlena...
Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing... Nenek, sakit perut, anjing...
Kini muncul lagi deretan kata-kata lain di kepalaku. Anjing, usus terburai, utang nyawa...
Peristiwa yang terjadi berikutnya tak dapat kukendalikan. Aku menangis. Menjerit sejadi-jadinya. Berteriak memanggil nama Gusti Allah. Memanggil si Mbokku. Meminta maaf atas nama anakku.
“Anjing Kenanga. Nama anakku Anjing Kenanga.”
Penulis: Hotnida Novita Sary, editor bahasa dan cerpenis muda.