Liputan6.com, Jakarta oleh: Nilam Suri
Semalam aku bermimpi, tentang kita berdua. Aku sudah tak ingat kapan terakhir kali aku melihatmu. Bahkan wajahmu sudah tak pernah lagi menari-nari di pelupuk mataku. Saat aku memejamkannya, aku hanya akan melihat warna-warni silih berganti, seperti slide dalam kalaideoskop yang kamu belikan dulu.
Tapi, bukan berarti aku lupa.
Advertisement
Aku masih ingat warna kulitmu. Coklat gelap. Hampir tiga tingkat lebih gelap dibanding warna kulitku. Seperti kopi, hanya dengan sedikit susu. Lalu rambutmu. Hitam pekat. Lurus dan tak pernah mau diatur, hampir mirip denganmu. Rambutmu sering jatuh, menutupi dahimu yang tinggi. Matamu yang sama gelapnya, yang selalu membuatku tak tahu harus berlaku apa setiap kamu menatapku lama. Ah, dan tentu saja, senyummu. Senyum miringmu yang terlihat sinis. Betapa aku dulu sering berusaha mati-matian untuk segurat senyum itu. Tidak, aku tidak lupa sedikit pun tentangmu.
Tapi belakangan ini bayanganmu tak lagi sering muncul, aku pikir aku akhirnya berhasil melupakanmu. Bukan hal yang mudah memang, tapi aku pikir aku telah berhasil. Sampai tadi malam, ketika akhirnya kamu muncul lagi, dalam mimpiku.
Disitu, kita berdua mengendarai sepeda. Sepeda abu-abumu yang tinggi itu. Yang dulu aku harus berusaha menaikinya dengan sekuat tenaga, ingin membuktikan kalau aku mampu. Ingin berbagi sedikit lebih banyak denganmu, menunjukkan kalau kita setara. Tapi tentu saja hal itu tak pernah benar. Kini atau dulu, aku dan kamu tidak pernah setara, bukankah begitu?
Balik lagi ke mimpiku. Kita ada di Ubud. Aku ingat hamparan sawah yang membujur di samping kita, di atas jalan berbatuan itu. Aku duduk di belakangmu, berpegangan erat pada baju kausmu, tak berani melingkarkan tanganku dengan erat untuk memelukmu seperti yang aku inginkan. Lihat, bahkan di dalam mimpipun aku masih tahu diri. Dan tentu saja, bahkan di dalam mimpi pun aku masih menginginkanmu sebesar dulu.
Angin meniup rambutku, mengibarkannya kebelakang, seperti bendera coklat muda, yang dipancangkan kekepalaku. Angin juga membawa serta aromamu. Campuran kayu manis dan tembakau. Kenapa kamu selalu tercium seperti kayu manis? Kita berkendara cukup lama, memberiku cukup waktu untuk merasa bahagia karena bisa berada bersamamu.
Lalu kamu tiba-tiba menarik tanganku, melepaskan cengkaramanku dari baju kausmu. Kamu memindahkannya agar aku bisa memegang pinggangmu, menyatukan kedua tanganku di depan perutmu, sehingga aku bisa memelukmu seperti yang selalu aku inginkan. Ah, rasanya seperti mendapat hadiah natal di musim panas.
Aku masih ingat telapak tanganmu yang lebar, yang sekilas mengelus tanganku sebelum akhirnya kembali pada stang sepeda, tentu kamu tak ingin kita berdua jatuh di atas jalan berkerikil itu.
Lalu kemudian kamu berhenti di tepi sebuah sungai, saat itu sudah mulai senja. Air sungai itu tidak sejernih yang biasa kita lihat di iklan-iklan televisi, tapi aku masih bisa melihat ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Ikan-ikan itu, semuanya jadi berwarna keemasan, dilibat cahaya senja.
Kita berdua turun, kamu merebahkan sepedamu di atas rumput. Di dalam mimpi itu kita berdua lantas hanya berdiri menatap hamparan lukisan yang ada di depan kita. Lukisan sungai, lukisan sawah, lukisan siluet gunung yang nampak di kejauhan. Aku ingat kamu begitu fokus, sementara aku diam-diam melirik kesamping, berusaha melihatmu.
Pelan-pelan kuraih tanganmu, ingin merasa dekat denganmu di senja itu. Ingin benar-benar merasakan kehadiranmu. Dan lucunya, aku benar-benar bisa. Aku bisa merasakan tekstur telapak tanganmu yang kasar, suhu tubuhmu yang hangat, dan tekanan lembut saat tanganmu balas menggenggam tanganku.
Lalu kemudian, seperti adegan, hal itu berakhir.
Tiba-tiba aku, kita, berada di antara rumah-rumah panggung yang mengapung di tepi pantai. Air pantai itu sama sekali tidak jernih, kita sedang melintasi jembatan yang bunyi kayunya menderik-derik, mulai reyot. Lagi-lagi kita sedang berpegangan tangan. Kamu berjalan sedikit di depan, menarikku serta, menuju ke salah satu rumah panggung itu. Tunggu. Bukan,bukan rumah, lebih seperti saung, ruang terbuka yang tersebar di atas pantai.
Aku rasa seharusnya itu hari yang berbeda, karena matahari bersinar terang. Aku bisa mencium bau asin laut yang sedikit amis. Anginnya juga lebih lengket dibanding saat kita bersepeda. Lalu kamu tiba-tiba berhenti, salah satu tanganmu bertopang pada pagar jembatan kayu itu, dan kamu menarikku mendekat. Lagi-lagi kita hanya berdiri di atas jembatan itu, bedanya kali itu kamu menarik tubuhku lebih dekat dan melingkarkan tanganmu di bahuku. Dan aku bisa menghirup aroma kayu manis itu.
Kemudian, tempat yang lain lagi. Kita sedang ada di atas sebuah perahu, duduk berhadapan. Kamu sedang mendayung, dan aku hanya duduk menatapku. Kita sedang mengapung di atas sebuah danau. Hmm, bisakah aku menggunakan kata sebuah untuk menunjukkan danau?
Saat itu masih pagi, udara masih cukup sejuk. Aku mengenakan gaun putih dengan banyak renda, kamu tetap hanya dengan kaus dan celana pendek hitammu. Yah, aku ingat, celanamu berwarna hitam. Di pangkuanku ada sebuah buku, tanganku terlipat rapi di atasnya, sehingga aku tidak bisa melihat judul buku tersebut.
Kamu tidak berkata apa-apa, begitu pula aku. Kita mengapung dalam sunyi. Suara riuh burung-burung terdengar tanpa henti. Dibelakangmu aku bisa melihat dataran hijau, ada banyak orang di atasnya, tapi tak ada yang sedang berperahu seperti kita.
Aku bisa melihat urat-urat di pergelangan tanganmu mengencang setiap kali kamu menarik dayung, tapi kamu tak terlihat lelah. Setiap beberapa saat kamu akan menatapku dan tersenyum samar. Aku balas tersenyum, gugup. Aku bisa merasakan tarikan bibirku, dan bola mataku yang tak mau berpaling dari sosokmu. Tiba-tiba kamu berhenti mendayung, kita berada di tengah-tengah danau sekarang. Kamu memajukan tubuhmu kedepan, dan menumpukan kedua tanganmu di atas lutut, aku tetap pada posisiku.
Tiba-tiba kamu mengangkat tanganmu dan bergerak, dengan sangat pelan, menuju wajahku. Pertama kamu mengelus pipiku dengan punggung buku jarimu, aku bisa merasakannya di setiap millimeter kulitku. Lalu tanganmu berhenti, dan dengan sangat perlahan, dan halus, hampir- hampir seperti tak benar-benar menyentuh, kamu mengusap bibirku.
Tanganmu bergerak dengan hati-hati, merasakan sudut bibirku, kemudian bergerak menuju ketengah, agak sedikit menarik agar bibirku terbuka, kemudian beralih ke sudut yang lain. Aku ingat bisa merasakan mataku membelalak, tak percaya sekaligus tak ingin kamu berhenti. Tapi tentu saja, kemudian kamu menarik tanganmu dan kembali menarik dayung.
Lalu aku berada di tempat yang lain lagi.
Aku sedang bersandar di sebuah tembok bata yang sudah dihamplas halus. Sebelah kakiku terangkat dan memijak dinding. Saat itu sudah malam. Di depanku, ratusan orang bergerak sibuk, mondar-mandir kesana kemari. Aku memperhatikan barisan taksi di sebelah kananku. Lampu-lampu taksi itu berwarna kuning, berkelap-kelip, dari terang kemudian hilang. Taksi-taksi itu datang dan pergi, silih berganti. Dua orang turun, satu orang naik. Dua orang turun, satu orang naik, seperti itu terus, sementara aku tetap bersandar di tembok bata itu. Aku menunggumu.
Tak lama aku melihat sosokmu. Kamu sedang menutup pintu sebuah taksi berwarna hijau toska. Kamu membawa tas kain berwarna hitam yang terlihat penuh. Membuatku menyadari bahwa di dekat kakiku juga ada sebuah tas bepergian yang terbuat dari kulit berwarna coklat. Melihatmu datang, aku menegakkan badanku, dan berdiri menunggumu. Aku tak melambai, tak memanggil, hanya berdiri menatapmu.
Kamu berjalan ke arahku, langkahmu tegas, mukamu serius, tapi lalu, saat sudah semakin dekat, kamu tersenyum, lebar. Bukan senyum samar seperti yang biasa aku lihat, bukan juga senyum sedih yang terkadang mengulas bibirmu. Tapi sebuah senyuman yang menarik sudut bibirmu jauh kesamping, membuat pipimu berkerut, menciptakan garis-garis halus di sudut matamu. Senyuman yang jauh tinggi, mencapai matamu, membuatnya berbinar.
Aku mendengar diriku tertawa, dan melihat salah tanganku terangkat, menunggumu untuk meraihnya. Kamu mempercepat langkahmu, dan tanganmu pun terentang, siap meraih tanganku.
Lalu tiba-tiba aku seperti keluar dari situ, dan aku bisa melihat kita, aku dan kamu. Di dalam layar sebuah laptop yang cahayanya mulai berkelap-kelip, tanda kehabisan baterai. Adegan itu, aku dan kamu yang bersiap untuk meraih satu sama lain membeku di layar. Dan kemudian hitam, laptop itu mati.
Aku terbangun.
Dan hanya seperti itu, kamu pun berlalu dari hidupku. Lagi.
Â
Nilam Suri, pernah menerbitkan Novel Camar Biru (2012) dan kumpulan cerpen Penggambar Mimpi (2008).Â