Liputan6.com, Jakarta Hentakan musik yang bingar, angin malam yang menggelayuti raga, bising knalpot sepeda motor dan obrolan gosip murahan menjadi penutup akhir pekanku bersama teman-teman di kafe ini. Seruput cappuchino yang selalu jadi andalan saat dingin menyergap tak serta merta menggerakkan hati ini untuk segera pulang. Hiruk pikuk ini menjadi nyanyian indah saat tak ada lagi kenyamanan tercipta di bawah atap rumah.
Obrolan kami tentang perjalanan, tentang kisah asmara, tentang tren fashion, tentang apapun menjadi alur cerita menarik saat aku dan keempat temanku memilih menghamburkan pundi-pundi uang di tempat ini. Alunan rintikan hujan sayup-sayup terdengar mengalun di telingaku, saat teriakan musik mulai memelan. Kafe ini jadi pelampiasan kepenatan saat kerja rodi menjadi makanan hampir 12 jam penuh setiap hari.
Saat itu pukul 22.00 WIB, aku dan teman-temanku masih terpaku duduk di teras kafe. Udara yang sejuk ini membawa kami ke ruang dimensi yang berbeda, tempat ini serasa milik kami. Suara tawa yang lepas, entah mengusik pengunjung lainnya pun tak kami hiraukan. Hanya nyaman dan ceria yang kami rasakan.
Advertisement
Saat tawa kami masih belum genap memecah karena cerita konyol temanku, tiba-tiba ada seorang pria mendekat dan memanggil namaku.
"Rin.. kamu karin kan?," tanyanya seraya menunjuk tangannya ke hadapanku.
Sontak kami terdiam dan terpaku dengan sosok asing yang membuyarkan kesenangan kami. Pria dengan kemeja hitam rapi dan rambut sedikit acak-acakan ini yang berani mengganggu kesenanganku. Siapa pria yang berani membuyarkan lingkaran kesenangan kami. Kesal bercampur heran. Siapa yang kenal denganku saat sudah keluar dari kantor. Aku menjadi pribadi asing jika sudah lepas dari blazer kantor terkutuk itu.
Namun, keherananku terhadap sosok itu bukan jadi yang utama. Jiwaku langsung terdiam, saat kupandang dengan seksama wajah pria berkemeja hitam itu. Seperti aliran listrik langsung menyergap denyut hidupku.
"Hah.. itu dia..," ucapku membatin.
Dan hening sejenak. Kuberanikan diri untuk membalas sapaannya.
"Stevi," jawabku sambil menerka-nerka.
Pria itu pun mengangguk pelan. Namun detak jantungku tak sepelan responnya.
“Sudah lama disini?,” tanyanya kepadaku.
“Lumayan. Kamu sering kesini?,” tanyaku balik.
“Sesekali,”jawabnya singkat.
Entah disengaja atau tidak, saling sapa yang singkat ini bertepatan dengan haluan musik yang melara, sendu dan romantis. Lagu Untitled milik Maliq and The Essensials seakan sengaja melantun saat Stevi berada tepat beberapa inchi dari hadapanku. Obrolan pendek itu hanya diisi dengan aktivitas sehari-hari kami. Hanya lima menit saja dan perjumpaan ini pun berakhir.
Reuni dadakan ini diakhiri dengan bersalaman yang sangat khas. Otot sedikit kekar yang menonjol dari tangannya terlihat jelas saat bersentuhan dengan tanganku. Stevi pun segera berlalu dan menghilang dibalik dinding Kafe ini.
Namun, genggaman tangannya bukan hal biasa bagiku, ini sentuhan yang kembali menggoyahkan imanku. Rasanya tak ingin kubasuh jejak telapak tangan ini dengan air atau dengan apapun untuk menghilangkan sedikit aromanya dari jengkal tubuhku. Ini momen spesial sejak tiga tahun yang lalu aku bertemu dengannya.
---
Di kamar, memoriku langsung melayang ke tujuh tahun lalu. Saat aku dan dia masih menjadi mahasiswa satu kampus beda jurusan. Betapa kesenangan yang kubangun membuat aku terlena dengan sosoknya. Mengaguminya selama lima tahun, selama berjibaku meraih gelar sarjana, selama isi dompet masih lembaran ribuan, selama bau keringat masih menjadi ciri khasku di kampus. Lima tahun jadi perputaran triliunan detik untuk menguntit setiap kegiatannya.
Dari jarak terdekat, aku melihat setiap lekuk senyumnya, menggambar wajahnya di kertas polos, melihatnya bergumam tentang keteguhan, komitmen, perjalanan, dan apapun itu. Jarak terdekat itu, hanyalah mataku dengan layar komputer yang menampilkan sosoknya di media sosial.
Lima tahun bukan putaran hari yang singkat untuk bisa bangkit jadi manusia normal. Bersama Stevi, walau dalam imajiku saja, membuat ada sesuatu yang bergetar di dalam dada. Lima tahun menjadi durasi yang terlalu singkat untuk kegembiraan menjadi-jadi saat bertemu dengannya. Walaupun hanya tiga kali dalam lima tahun itu. Dengan harapan yang luar biasa, kendati dia hanya menganggap itu semua biasa, bahagia ini sungguh melimpah dan lima tahun itu sungguh menjadi momen menyiksa yang indah.
Tahun keenam dan ketujuh, kesadaranku sebagai manusia normal pun bangkit. Tanpa harus berkhayal tentang sosok pria kurus, berkulit sawo mateng, dengan rambut terurai panjang menutupi punggungnya dan senyum yang,,ah..menawan hatiku. Itu lima tahun lalu dan dunia fantasiku sudah dipendam jauh di dalam kesibukan meniti karir.
Namun, kehadirannya kini, membuat imanku kembali runtuh. Aku ingin minggu kedua,ketiga,keempat bahkan setiap pekan bisa berjumpa dengannya di Kafe itu, meskipun hanya sekejap. Dua tahun bangkit jadi manusia normal seakan sia-sia saat dia dihadapanku dan menyapaku. Walau punggungnya sudah bebas bernafas tanpa ada lentiknya rambut gondrongnya, wajahnya masih mengguratkan kharisma yang membuatku tampak terlihat bodoh karena mengaguminya secara diam-diam.
---
Ponselku menyala, menandakan update status terbaru dari teman di aplikasi BBM. Dan, status curhatan Rika, kekasih Stevi, membuatku seakan melayang tinggi diawan.
"Saya siap untuk mengenakan pakaian pengantin ini, tahun ini bersamamu, Randi."
Status ini seakan mengibarkan bendera kemenanganku. Yeaaahhh.. mereka putus, dan Rika akan menikah dengan pria lain.Wanitanya, memilih dipinang dengan pria lain yang punya keinginan untuk serius menjajaki masa depan.
"Stevi tak berani melamarku mbak," ujar wanitamu mengeluhkan kepadaku, saat aku menanyakan tentang status hubungan mereka.
"Mungkin hubungan yang terlanjur berjalan tak membuat rasa sayang itu menjadi berarti bagi dia. Mungkin kamu butuh hidup yang pasti, bukan jadi bidadari dalam dongeng belaka,” ucapku menguatkannya. Walau kalimat itu menandakan kegembiraanku untuk putusnya hubungan mereka.
Euforia berlebihan pun sontak membuyarkan khayalanku. Pada akhirnya, usai sudah hubungan mereka yang sudah dijalin selama tiga tahun. Kerianganku pun seakan menjadi kebahagiaan paling indah selama hidupku. Batinku berteriak keras, memberikan sinyal aneh ke dirinya yang tak kan pernah akan sampai.
"Dasar bodoh kamu Stevi, kenapa dulu kamu tak bersamaku saja. Tak akan kutinggalkan kamu seperti ini, kamu yang baru meniti karir dari bawah, harus ditinggal pujaan hatimu. Kenapa harus memilih dia yang sekarang meninggalkanmu, dibanding aku yang selalu menunggumu," ucapku membatin.
Ceracau itu menggelayut di balik bibirku yang tak bertutur. Namun aku langsung tersadar, seperti ada tamparan keras saat melihat wajah wanitanya yang begitu sempurna. Kesempatan untuk mengisi kekosongan hatinya pun seakan seperti menggenggam oksigen di tangan. Tak mungkin!
Bagiku, tak mungkin dia bisa berpaling ke sosokku, yang tak punya wajah dan kulit seputih model di iklan, tak punya keberanian berdandan kekinian yang membuatnya nyaman, tak punya foto selfie di kursi depan penumpang mobil pribadi yang bisa kupamerkan di media sosial, tak punya cerita seru tentang perjalanan keluar negeri yang sangat menggambarkan strata perekonomianku.
Setiap alur kisah asmaranya pun dilengkapi dengan wajah-wajah primadona kampus yang aduhai. Yang selalu menenteng tas bermerk, yang naik turun kendaraan pribadi, yang menggenggam handphone keluaran terbaru, yang menikmati liburan setidaknya di villa mewah.
“Ah.. tak mungkin. Dia cuma pangeran dalam dunia maya saja. Dia cuma penghias mimpi saja. Dia tak mungkin rela mengganti posisi bidadarinya dengan sosok gadis biasa,” hatiku meyakinkan dengan tegas akan keraguanku.
Kasihan Stevi, yang tertatih tercampakkan ditinggal wanita yang ia cintai. Berjalan di lorong gelap tanpa ada yang menerangi, menyeracau tegas tentang jalan hidup tanpa ada yang mau mendengar dan meniti hidup baru tanpa ada yang menunggu.
---
Cappuchino ini kembali kuhirup. Teringat satu tahun lalu kamu menggugah rasaku, disini, di kafe ini. Namun aku tak ingin kehadiranmu kembali mengusik nyamanku bersamanya.
Kekaguman di luar nalar itu, ingin kuterlantarkan saja di sudut hati terdalam. Wajahmu kini terlihat samar-samar di memoriku, sudah, sudah terjadi. Kini, usiaku sudah matang, tak mungkin mengulangi kebodohan itu lagi.
Kutatap wajahnya, pria yang setia di sampingku, yang melingkarkan cincin di jariku dan mengikatku dalam hubungan pertunangan. Ah...walau dia tak setampan dirimu, tapi dia nyata duduk di sampingku, mendengarkan rengekan manjaku, menemani hobiku menyeruput cappuchino dan memberi cinta yang nyata untukku.
Nefri Ryu, penulis dan traveler. Penyuka karyanya RL Stein dan Risa Saraswati.