Liputan6.com, Yogyakarta Jogja ditetapkan sebagai kota Batik Dunia. Penetapan ini membuat kota dengan sejarah batik yang kuat ini mulai berkembang dan hidup. Hal ini yang terlihat di Jogja Internasional Batik Biennale (JIBB) 2016 di Jogja Expo Center (JEC). Acara ini memamerkan karya batik di belahan nusantara dan empat anjungan keraton, mulai dari Kasunanan Solo, Mangkunegaran, Pakualaman, dan Keraton Ngayogyokarto.
Dalam pameran ini anjungan Pakualaman menampilkan batik dengan ciri khas sendiri walaupun dengan pewarnaan alam khas Yogya. Namun motif yang dituangkan dalam kain tersebut terlihat berbeda. Sebab batik khas Pakualaman ini bersumber dari serat atau naskah kuno yang dimiliki Puro Pakualaman. Lalu dari naskah kuno tersebut dituangkan dalam sebuah motif batik. Inisiatif ini berasal dari Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu (GKBRAy) Adipati Paku Alam X Atika (Istri Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam X). Naskah-naskah kuno itu awalnya diterjemahkan dan ternyata mengandung nilai dan dan filosofi jawa yang bermanfaat.
Nyimas Lurah Renggo Murti pembatik Puro Pakualaman mengatakan dirinya sudah banyak membatik yang diambil dari naskah-naskah kuno Puro Pakualaman. Menurutnya salah satu tujuan dari motif batik ini adalah untuk mensosialisasikan serat-serat kuno Pura Pakualaman. Ia sendiri sudah mulai membatik sejak dari tahun 2011 hingga 2016.
Advertisement
"Iya ini diambil dari naskah kuno Puro. Dilihat ciri secara visual hampir sama dengan batik Jogja karena sogan yang sama tapi motifnya lain karena ambil dari ilustrasi naskah-naskah itu. Ilustrasi naskah ini mengacu pada lukisan jadi motifnya berbeda," ujarnya kepada Liputan6.com di JEC, Rabu (12/10/2016).
Ia tidak menghitung berapa jenis batik yang sudah digarapnya. Namun yang jelas batik dari serat kuno ini lebih dari 20-an jenis batik. Namun ia teringat pertama kali membatik dengan motif diambil dari naskah ada tiga jenis batik yaitu Sestra Lukito, Sari amataram, Wiloyo Kusumajono dari naskah Sestradisuhul. Lalu setelah masuk ke Astra Brata tentang delapan tokoh dewa dan ada pelengkapnya astra brata jangkep sebagai daya rangkuman.
Nyimas Lurag Renggo Murti mengatakan, dari beberapa batik koleksi Pura Pakualaman yang sudah jadi yakni Motif Batik Sawat Wukir yang mengambil dari Serat Rama, Arjunawijaya Saha Kempalan Dongeng, Motif Batik Tyas Muncar dari Naskah Sestra Ageng Adidarma dan Sestradisuhul, Motif Batik Sari Makara Uneng dari naskah Langen Wibawa, Batik Motif Wilayah Kusumajana dari naskah Sestradisuhul dan Babar Palupyan.
Sementara motif batik ajaran Astha Brata berisi delapan dewa, yang meliputi dewa Batara Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Wisnu, Brama, dan Baruna. Motif batik seri Asthabrata ini diambil dari naskah Serta Ageng Adidarma dan Sestradisuhul. Batik ini pun bisa dibeli oleh umum.
"Penciptaanya bisa lama kalo proses pengkaryaan batik sampai jadi itu 6 bulan. kalo satu muka tiga bulan. Umum bisa rata rata yang beli kolektor. Diatas 20 juta," ujarnya.
Bermula dari Naskah Kuno
Sementara itu di kesempatan yang berbeda, GKBRAy menjelaskan awal mula tertarik dengan mengambil dari naskah kuno puro Pakualaman. Berawal dari diakuinya batik oleh UNESCO tahun 2009 ia lalu dibantu penerjemah naskah pengelola perpustakaan, serta perupa alumni ISI, mulailah batik dari naskah-naskah kuno menjadi motif batik baru. Sehingga saat ini proses tersebut masih terjaga di dalam Puro Pakualaman.
"Saya pertama kali batik itu mutrani (meniru) batik-batik puro. Saya inovasi ga hanya batik kuno saja tapi dengan membatik dari gambar gambar atau iluminasi naskah naskah kuno di puro. Saya mengembangkan sendiri kenapa tidak. Gambar gambar di naskah kuno itu bagus sekali filosofinya juga bagus. Jadi saya sosialisasikan naskah kuno dengan batik," ujarnya.
Senada dengan pembatiknya jika dihitung memang lebih banyak batik yang sudah tercipta. Batik ini diambil dari naskah naskah di tahun 1830 sampai sekarang. Bahkan saat ini mulai banyak yang mencari batik pakualaman dan ia mempersilahkan saja.
"Bisa dibeli tapi tidak buka toko. Prosesnya lama dari tiga sampai 6 bulan ini biasanya kolektor. Tulis dan bolak balik. Yang mau bisa datang saja,"ujarnya.
Menurut GKBRAy batik pakualaman ini juga dijual karena akan menaikkan batik sekaligus pelestarian sejarah, pengenalan naskah naskah kuno pakualaman yang sarat filosofi kepada masyarakat luas. Sebab filosofi ini jika dimaknai dengan baik maka nilai dalam motif itu jauh lebih baik.
"Wilaya kusumojono itu di bangsal ternyata ada di naskah filosofinya bagus sekali bahwa seseorang itu tidak marah kalo dihina tidak sombong kalo dipuji itu akan jadi manusia utama jadi pemimpin yang bagus. Kenapa tidak disosialisasikan di batik," kata pembatik yang memperoleh pembatik muda berbakat pada Juli 2013 lalu.
Terkait delapan sifat kepemimpinan dalam Astra Brata yang ada dalam naskah kuno tersebut, GKBRAy menyebutkan ini merupakan ajaran khas kepemimpinan pakualaman. Ia mengatakan ada delapan motif batik dari naskah astha brata ini, yaitu, Indra Widagda, Yama Linapsuh, Surya Mulyarja, Candra Kinasih, bayu krastala, Wisnu Mamuja, Brama sembada, dan Baruna wicakswa. Motif Surya Mulyarja dengan gambar bunga matahari ini bermakna penebar kemuliaan dan kesejahteraan. Lalu Candra Kinasih dengan gambar bunga Soma dan rangkaian dedaunan yang bermakna pemimpin penebar kasih.
"Bayu Krastala gambar stilisasi gada, sumping dan kain bintala aji yang bermakna seorang pemimpin harus teguh pendirian dan tidak mudah terhasut," ujarnya.
Selain itu ada Wisnu Mamuju gambar dewa wisnu berwajah lanyap, hidung lancip, rambutnya terurai berjumlah yang berarti pemimpin itu harus mampu menjaga jarak terhadap gemerlap duniawi, karena yang dilakukannya adalah ibadah kepada Tuhan. Motif Brama Sembada itu bergambar pedang, tombak bendera, umbul-umbul dalam satu wadah dan lidah api, serta dedaunan dan awan, menggambarkan pemimpin harus memiliki keberanian dan wawasan teritorial yang tajam. Lalu Motif Baruna Wicakswa, berupa untaian daun dan sulur serta sisik ikan, yang menggambarkan pemimpin itu harus memiliki kepandaian kesahajaan dan mengayomi.
"Kalo Motif batik Indra Widagdo dengan gambar bulu angsa tertancap pada bola dunia dan renggan mahkota diatasnya, gambar kitab serta sepasang naga berhadapan, yang dimaknai pemimpin harus memperhatikan pendidikan dan kesempatan orang orang yang dipimpinnya untuk berkembang," ujarnya.
Motif Yama linapsuh bergambar tungku menyalakan lidah api, rantai bergembok, sawat menyangga kuntum bunga, yang bermakna pemimpin harus adil dalam menegakkan hukum, termasuk jika harus dilakukan pada keluarganya sendiri. Pura Pakualaman juga membuat motif batik yang diberinama Asthabrata Jangkep. Kain batik motif ini terdapat gambar wajah delapan dewa serta ciri khasnya.
"Astra broto delapan sifat kepemimpinan. Kanjeng gusti itu kan bikin buku asta brata. Saya yang sosialisasikan dengan batik dewa indra hingga dewa baruna. Sifat dewa yang kita tiru. Dewa baruna air itu nyengkuyung," ujarnya.Â
Advertisement