Liputan6.com, Jakarta Tenun juga menjadi salah satu kain populer selain batik yang menjadi kebanggaan orang Indonesia. Tenun juga tak kalah digalakkannya untuk diperkenalkan pada dunia sebagai keanekaragaman seni budaya .
Namun, masalah utama yang dihadapi saat memasarkan tenun adalah daerah penghasil yang berbeda-beda, jauh, dan terpelosok, seperti Tenun Tanimbar.
Advertisement
Baca Juga
Tanimbar adalah sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tanimbar juga memiliki kain tradisional tenun ikat yang motif dan warnanya cukup beragam.
Mayoritas Tenun Tanimbar memiliki ciri khas garis yang diselingi dengan corak, umumnya diadopsi dari alam dan aktivitas masyarakat sehari-hari. Tenun Tanimbar dihasilkan oleh para pengrajin tenun wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, dengan jumlah yang juga semakin sedikit. Mengapa?
Aktivitas menenun dianggap sudah tidak memberikan peluang ekonomi yang menjanjikan, sehingga Tenun Tanimbar kurang dikenal luas ketimbang tenun ikat dari daerah lain. Sebab itu, pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat ingin kembali membangkitkan tradisi dengan menggandeng desainer Wignyo Rahadi untuk revitalisasi Tenun Tanimbar.
Sejak tahun 2015, Wignyo Rahadi telah melakukan pendampingan kepada para wanita pengrajin tenun di Tanimbar. Membuat tenun yang tadinya tampak kaku, berat, dan warna yang mudah luntur, menjadi lebih ringan, lembut, dan tidak luntur.
Tidak hanya itu, Tenun Tanimbar yang awalnya hanya dibuat dan dipasarkan dalam bentuk kain sarung, sekarang telah siap digunakan sebagai fashion item. Tidak heran jika beberapa waktu lalu, Anda juga melihat Presiden Jokowi mengenakan Tenun Tanimbar saat berkunjung ke Maluku.
Tenun Tanimbar dianggap sebagai barang adat yang diberikan kepada pihak lain dalam hubungan sosial, sehingga ketika Anda mendapatkannya, tidak boleh menjual atau memberikannya kepada orang lain. Masyarakat Tanimbar pun akan memakainya hingga rusak dan tidak lagi bisa dipakai.
Salah satu motif Tenun Tanimbar yang diakui paling kuat adalah Ulerati. Motif ini biasanya dibuat dan akan diberikan oleh nenek seorang penenun kepada anak atau cucu perempuannya, sebagai bentuk restu.
"Banyak orang bilang masyarakat pelosok tidak berpendidikan, faktanya, ini salah. Masyarakat Tanimbar tidak memiliki laboratorium, namun mereka bisa tahu bahan-bahan alam apa saja yang harus digunakan untuk menghasilkan warna yang dibutuhkan. Selain itu, membuat sebuah kain tenun bukannya tidak menggunakan perhitungan, kegiatan ini membutuhkan perhitungan yang sangat sistematis. Wanita penenun tidak menggunakan kalkulator atau apapun, semuanya ada di kepala mereka," papar Wignyo ketika ditemui oleh Liputan6.com.
Sama halnya dengan kain Tenun Tanimbar yang diberikan oleh seorang nenek, mereka tidak memiliki perhitungan khusus atau motif khusus yang digambar, semuanya ada di kepala mereka.
Dalam koleksi rancangan bertema "Metamorphoseast", Wignyo Rahadi terinspirasi oleh pakaian tradisional Jepang, di mana semua pakaiannya mengadaptasi model kimono, hakama, dan obi. Koleksi yang menggunakan material Tenun Tanimbar ini juga akan ditampilkan dalam fashion show yang diselenggarakan oleh KBRI di Tokyo, Jepang pada 6 April 2017.