Festival Lembah Baliem Jadi Situs Budaya Papua

Festival Lembah Baliem situs budaya Papua.

oleh Cahyu diperbarui 09 Agu 2018, 16:03 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2018, 16:03 WIB
Festival Lembah Baliem
Festival Lembah Baliem situs budaya Papua. (Foto: Tim liputan Generasi Pesona Indonesia)

Liputan6.com, Wamena Festival Lembah Baliem 2018 resmi dimulai di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada Selasa (7/8/2018) pukul 10.00 WIT. Event yang menjadi situs besar budaya Papua ini menampilkan beragam kekayaan budaya Suku Hubula secara megah. 

Opening ceremony-nya pun unik dan spesial. Menjadi acara pembuka adalah ritual memanah babi dan melempar sege atau tombak khas Suku Hubula. Sege ini dilempar pada obyek berupa batang pisang oleh tokoh pemerintahan dan instansi terkait di Papua.

Festival Lembah Baliem pun berhasil menarik minat para wisatawan mancanegara (wisman).

“Saya sering datang ke banyak tempat, tapi tidak ada yang seperti di Lembah Baliem ini. Di sini sangat luar biasa. Saya bahkan sudah sembilan kali ke Afrika, tapi masih lebih mengesankan di Lembah Baliem. Di sini semuanya sangat otentik. Saya baru pertama ke sini dan sangat takjub dengan semuanya. Kami suka dengan baju adat mereka yang unik dan lengkap dengan aneka asesorisnya. Cara mereka hidup juga luar biasa, terutama cara bertaninya,” ujar wisatawan Malaysia, Mah To, Selasa (7/8/2018).

Usai opening ceremony, para pengunjung menonton pertunjukan Atraksi Nikah Adat dari Aslot Group. Agenda ini memberi menarik perhatian semua pengunjung karena pernikahan adat di Suku Hubula sudah sangat jarang dilaksanakan.

“Kami datang bersama 13 orang lainnya ke Lembah Baliem hanya untuk melihat pertunjukan-pertunjukan di ini. Semuanya ada filosofinya dan ini yang kami suka,” ucap To.

Atraksi Nikah Adat disajikan secara detail. Dimulai dari ilustrasi masa pingit calon mempelai wanita maksimal 2 minggu. Selama menjalani fase ini, kaum wanita diajarkan manajemen berumah tangga oleh ibunya. Usai dipingit, pesta pernikahan dimulai dengan membayar mas kawin berupa noken, kapak batu, kulit biayerak, dan babi.

Setelah itu, beragam Tarian Perang khas Suku Hugula ditampilkan. Menjadi pembuka, Tarian Perang khas Distrik Wama. Tarian ini menceritakan terjadinya perang karena pencurian babi oleh suku lain. Simulasi perang dilakukan natural dengan lesatan anak panah tapi diarahkan ke atas. Kedua suku akhirnya berdamai setelah babi dikembalikan kepada pemiliknya.

“Saya enjoy menikmati sajian budaya di sini. Saya memang sengaja datang untuk festival ini. Secara basic, saya suka dengan culture seperti ini. Di sini ada banyak culture yang disajikan. Saya benar-benar terkesan. Ini adalah kedatangan saya yang pertama di Lembah Baliem,” kata wisatawan asal Swiss, Freddy Goetsch.

Simulasi Tarian Perang dilengkapi dengan aksi perwakilan Distrik Welesi. Menjadi tuan rumah, mereka menyajikan tiga sisi kehidupan dari masyarakat adat di sana. Cerita diawali kisah seorang gadis Welesi yang menanti jodohnya di Honai atau rumah adat Hubula hingga momen yang ditunggu datang. 

Cerita pun berlanjut dengan seorang kepala adat yang memiliki dua orang istri. Namun, ketua adat ini lebih sayang terhadap istri mudanya hingga menimbulkan kecemburuan. Kisah konflik peperangan dimulai saat ada anak gadis yang berangkat ke ladang diganggu oleh pria suku lain.

Menyempurnakan sajian, Distrik Welesi menutup pertunjukan dengan Tarian Etae atau Ebetay. Ini adalah tarian yang dibawakan dengan berlari secara melingkar. Lalu, kelompok lain berdiri di tengah sambil berteriak.

Sensasi peperangan lalu dilanjutkan oleh Distrik Asso Tipo. Mereka menyajikan Tarian Perang dengan pemicu sengketa wilayah dua suku berbeda. Namun, semua diselesaikan damai.

“Saya juga baru pertama datang Lembah Baliem dan langsung jatuh hati dengan semua yang ada di sini. Tapi, saya memang tidak bisa lama. Setelah festival ini selesai, saya langsung pulang. Pengalaman di sini sudah lengkap. Sebab, kemarin saya ke Suroba dan Napua. Hanya untuk foto-foto, apalagi di sana saya juga bertemu dengan warga dengan baju adat,” ujar wisatawan Italia, Vinico Seoncerle.

Selain menyajikan Tarian Perang dengan beragam latar cerita, Festival Lembah Baliem juga menggelar Karapan Babi.  Ada juga permainan tradisional Puradan, yaitu keterampilan membidik objek bergerak dengan melemparkan sege atau tombah khas Suku Hubula.

Melengkapi sejarah, opera sejarah Wamena ditampilkan. Tarian ini berkisah kedatangan pemerintah Belanda ke wilayah Lembah Baliem. Mereka bertemu dengan salah satu ketua adat yang sedang membawa anak babi. Lalu, komunikasi pun terjadi. Belanda menanyakan apa yang sedang dibawa, lalu dijawab ‘wam-ena’ oleh ketua adat. Wam-ena berarti anak babi dalam bahasa Suku Hubula.

Menteri Pariwisata, Arief Yahya, ikut memuji pelaksanaan Festival Lembah Baliem 2018.

“Festival Lembah Baliem ini kelasnya sudah dunia. Ada banyak wisman yang menunggu momentum ini. Kami tentu gembira dengan respons wisatawan di sana. Kemasan dari festival ini memang luar biasa dengan beragam budaya yang ditampilkan. Enjoy Lembah Baliem,” ucapnya.

 

 

(*)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya