Batik Djawa Hokokai, Simpan Cerita Pahit di Balik Motif yang Rumit

Batik Djawa Hokokai biasanya memiliki motif pagi sore yang merupakan siasat para pembatik untuk menghadapi penjajah Jepang saat itu.

oleh Asnida Riani diperbarui 27 Des 2018, 18:31 WIB
Diterbitkan 27 Des 2018, 18:31 WIB
Batik Djawa Hokokai
Batik Djawa Hokokai dengan detail yang lebih rumit. (dok. Instagram @theresia_aulia_catherine/https://www.instagram.com/p/BmatmnSnjnx/Esther Novita Inochi)

Liputan6.com, Jakarta - Kita mengenal batik pada umumnya sebagai produk budaya murni dari Jawa. Ternyata, ada juga batik hasil akulturasi budaya Jawa dengan budaya lain, bahkan dari luar Indonesia. Batik Djawa Hokokai salah satunya yang berakulturasi dengan budaya Jepang.

Mengapa bisa berakulturasi? Ceritanya bermula sejak zaman penjajahan Jepang pada 1942-1945. Kain batik saat itu merupakan barang yang sangat berharga karena para pembatik sulit memproduksinya. Dalam buku Cerita Batik karya Iwet Ramadhan, kesulitan produksi itu karena para pembatik sangat susah memperoleh kain mori sebagai bahan baku kain batik.

Kondisi ini membuat mereka sadar bahwa mereka tidak boleh menghambur-hamburkan kain mori. Mereka pun bersiasat agar kain batik tetap bisa diproduksi. Muncullah kain pagi sore, kain yang menampilkan dua sisi motif dalam satu lembarnya.

Motif kain pagi sore itulah yang sering dijumpai pada batik Djawa Hokokai. Sampai saat ini, produksi Batik Djawa Hokokai banyak dijumpai di Pekalongan, terutama di Kedungwuni. Batik ini lahir karena siasat para pembatik lokal pula pada zaman penjajahan Jepang.

Kala itu, para tentara Jepang sering mendatangi dan mengambil paksa kain-kain batik yang sudah jadi. Para pembatik tetap ingin mempertahankan kain batik buatan mereka. 

Maka itu, mereka membuat motif batik yang lebih rumit, diisi dengan ratusan detail yang sulit dan warna yang tidak sedikit. Waktu pengerjaannya pun lama, sekitar satu hingga dua tahun. Waktu yang cukup lama untuk membuat para tentara Jepang lupa akan kain-kain batik tersebut.

Batik Djawa Hokokai umumnya berwarna cerah, berlatarkan tanahan yang rumit. Ciri Jepang terlihat dengan adanya motif bunga sakura, digambar pula dengan bunga peony, kupu-kupu bersayap warna-warni. 

Situs batik.or.id juga mencatat bahwa lima sampai enam warna tercampur dalam batik ini. Zaman sekarang, warna-warna yang dikombinasikan pun terkesan berani, seperti merah muda dan hijau atau ungu dengan kuning.

Motif-motif dalam batik diatur di dua pinggir kain. Motif-motif di Djawa Hokokai lebih kecil, seperti tanahan semarang, kawung atau parang. Ragam hiasnya dibatik sehingga tidak ada bidang yang kosong.

Motif Sam Pek Eng Tay dan Cerita Tragis di Baliknya

Batik akulturasi ini pun memiliki beberapa motif. Salah satunya adalah motif Sam Pek Eng Tay, yang diambil dari kisah cinta dua sejoli pada zaman Dinasti Tang (618-907).

Zhu Ying Tai adalah putri seorang hartawan dan bersahabat dengan Liang Shanbo, pemuda dari kalangan biasa. Ia jatuh cinta pada Shanbo, begitupun sebaliknya. Sayang orang tua Ying Tai tidak merestuinya dan malah menjodohkannya dengan seorang hartawan muda. Shanbo meninggal karena sakit hati.

Di hari pernikahannya, perahu yang ditumpangi Ying Tai dan pengiringnya melewati sebuah makam di tepi sungai. Tiba-tiba, perahu tersebut tidak bergerak. Ternyata, makam tersebut adalah makam Shanbo.

Ying Tai mendatangi makam tersebut dan menangis, air matanya membelah makam itu menjadi dua. Ia langsung melompat ke makam Shanbo. Kemudian, muncullah wujud mereka dalam sepasang kupu-kupu.

Motif Sam Pek Eng Tay mewakili kisah tersebut. Motif gundukan tanah adalah ilustrasi dari makam Shanbo, sedangkan Ying Tai adalah seekor burung merak. Kupu-kupu merupakan lambang sepasang kekasih ini dan dianggap simbol keabadian cinta sejati. (Esther Novita Inochi)

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya