Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 telah menjungkirbalikkan hampir setiap sendi kehidupan sosial, dan kebiasaan bepergian pun bukan pengecualian. Berorientasi pada kondisi terkini, wisata alam jadi jenis perjalanan yang kian tenar selama setahun belakangan.
Karena dilakoni makin banyak pelancong, penting untuk berkenalan dengan norma berwisata alam. Menurut guide sekaligus tour operator di Labuan Bajo, Komodo, dan Flores, Aloysius Suhartim Karya, pelancong harus memahami lebih dulu apa sesungguhnya wisata alam.
"Itu merupakan kegiatan wisata yang mana para pesertanya akan berinteraksi langsung dengan alam. Jadi, tujuannya bagaimana mengapresiasi segala entitas, biodiversity dalam satu ekosistem," katanya melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat (5/6/2021).
Advertisement
Baca Juga
Karenanya, konteks pariwisata di sini sudah seharusnya memenuhi unsur pelestarian. "Ekowisata jadi salah satu cara untuk berdialektika dengan alam," sambung Aloy.
Founder Sebumi, Iben Yuzenho Ismarson, mengutarakan narasi serupa, menegaskan bahwa jangan sampai "tajuk" wisata alam punya pendekatan pariwisata massal. "Sudah ada banyak cara (untuk mengelola wisata alam secara lebih baik). (Terdapat) sertifikasi CHSE, mereka (pengelola objek wisata) juga sebenarnya punya kesadaran tentang itu," ungkapnya lewat panggilan suara, Jumat (5/6/2021).
Menurut Iben, pengaturan kuota, alur kunjungan, dan arahan singkat oleh pengelola bisa jadi pijakan awal untuk mengedukasi pelaku wisata alam. "Singkat saja, siapkan script 30 detik untuk mengingatkan jaga protokol kesehatan, jangan buang sampah, perhatikan apa yang harus diperhatikan," katanya.
"Kalau naik gunung, briefing itu wajib, tapi biasanya dilakukan pihak-pihak yang peduli, seperti komunitas. Melihat ini, kayaknya Sebumi juga harus ikut mengelola," imbuhnya. Di samping, pengawasan juga tidak kalah penting dilakukan pengelola objek wisata alam.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
7 Unsur Perjalanan Lebih Ramah Lingkungan
Praktik norma wisata alam sebenarnya dipukul sama berat oleh pengelola dan pengunjung. "Sebumi sendiri selalu menggaungkan namanya Zero Waste Journey. Ada tujuh unsur di sana," tuturnya.
Pertama, rethink. Pelancong harus berpikir ulang untuk mengurangi dampak lingkungan dalam perjalanannya. "Jadi, ada proses sebelum pergi. Pilih mana yang perlu dibawa dan enggak perlu dibawa," urainya.
Kemudian, reduce. Setelah tahu apa yang perlu dibawa, kalau bisa itu juga dikurangi lagi. Misal, makanan, pelaku perjalanan bisa mengurangi penggunaan kemasannya. "Supaya tidak menambah beban pengelola juga," kata Iben.
Ketiga, rearrange. Karena sudah tahu pergi ke alam, bawa barang kebutuhan sendiri, seperti trash bag. Selanjutnya, reuse. Bisa dengan pakai tumbler untuk membawa air minum. "Kalau enggak punya tumbler, pakai minuman kemasan dalam plastik, tapi jangan langsung dibuang. Bisa isi ulang misalnya nanti di warung," ucapnya.
Kelima, recycle. "Ini sudah lebih tinggi lagi," ujar Iben. "Sudah banyak life hack untuk menggunakan kembali barang yang kita bawa pulang. Bisa juga bekerja sama dengan komunitas setempat supaya bisa didaur ulang."
Kemudian, redeem. Tidak dipungkirinya bahwa dengan usaha sekeras apapun, perjalanan pasti punya dampak lingkungan. Karenanya, pelancong disarankan untuk "menebus dosa karbon." Entah dengan menanam pohon, punya kebun sendiri di rumah, atau donasi ke komunitas yang menjaga keberlangsungan lingkungan.
Terakhir, retell. Selain melalui laman resmi www.sebumi.id, pihaknya juga aktif memberi edukasi terkait unsur-unsur perjalanan lebih ramah lingkungan melalui media sosial.
Advertisement
2 Sisi Mendekatkan Makna Wisata Alam
Aloy mengatakan, wisata alam harusnya kembali pada fitrah untuk menikmati alam. "Jangan juga karena kita punya banyak tempat wisata bagus, jadi buka destinasi sebanyak-banyaknya," tutur pengisi Mabar Bicara Podcast tersebut.
Ini juga berlaku untuk destinasi ekowisata, mengingat gagasan tersebut masih sangat baru. "Butuh waktu (untuk masyarakat lokal paham praktik ekowisata)," ujarnya.
Pendekatan makna wisata alam, kata Iben, bisa disokong dari dua sisi. Pertama, pembentukan sistem untuk menciptakan kebiasaan. "Ada jokes yang bilang, 10 sopir taksi di Indonesia dilepas kerja di Singapura, tiba-tiba mereka bisa menyetir dengan sangat baik. Terus 10 sopit taksi Singapura pindah kerja di Indonesia, nyetir mereka jadi berantakan," katanya menegaskan bahwa sistem bisa menciptakan kebiasaan.
"Di samping, harus ada edukasi juga," imbuhnya. Kedua, secara idealistis, wisata alam bisa saja justru menghadirkan kecintaan seseorang untuk secara konsisten mengurangi dampak lingkungan. "Kalau rasa cintanya belum tumbuh, bisa dikunci dengan sistem karena orang kan beda-beda," ucapnya.
"Tapi, umumnya, orang akan punya deep relationship dengan alam bila sudah bersentuhan langsung, lihat langsung, 'berinteraksi' langsung," tutup Aloy.
Infografis 4 Risiko Mobilitas Saat Liburan untuk Cegah COVID-19
Advertisement