Liputan6.com, Jakarta - Bila orangtua butuh bekerja, anak-anak membutuhkan bermain untuk mengoptimalkan tumbuh kembang. Tapi, banyak orangtua yang lupa meluangkan waktu untuk bermain bersama anak. Padahal, melewatkan waktu bermain dengan anak berarti risiko kehilangan kesempatan berkembang juga meningkat.
"Setiap momen (bermain) yang mereka miss, miss juga untuk perkembangan otaknya. Padahal, perkembangan otak paling cepat pada anak terjadi sampai usia 2 tahun. Kalau orangtua sibuk sendiri, berapa banyak loss yang didapatkan?" ujar dr. Mesty Ariotedjo, Sp.A, dalam peluncuran kampanye ELC Main Sama Anak, Kamis, 9 September 2021.
Advertisement
Baca Juga
Mesty mengingatkan ada empat aspek perkembangan yang diasah lewat bermain, yakni persona sosial, motorik halus, motorik kasar, dan kemampuan bahasa. Seiring waktu, permainan yang dilakukan juga bisa mengasah fungsi eksekutif anak, seperti membuat jadwal, menata, dan bekerja.
"Dengan bermain, yang diasah adalah multiple intelligence, seperti kemampuan musikal, spasial, intrapersonal, interpersonal, dan kemampuan matematika," ia menambahkan.
Durasi permainan pun tidak harus lama, yang penting berkualitas. Merujuk rekomendasi WHO, setiap orangtua sebaiknya menyempatkan bermain 30 menit per hari dengan setiap anak. Itu berlaku tidak hanya untuk ibu, tetapi juga ayah.
"Mereka butuh waktu berkualitas, sesi one on one. Ini penting banget untuk membangun hubungan berkualitas (antara anak dan orangtua), meningkatkan kemampuan sosial anak, fungsi eksekutif jauh lebih baik. Regulasi emosi juga jauh lebih baik," kata Mesty.Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Takarannya yang Pas
Selain durasi, Mesty juga meminta agar orangtua memilih jenis permainan yang tepat. Levelnya tidak terlalu mudah agar anak tidak cepat bosan, tetapi juga terlalu sulit sampai anak frustasi dan tidak mau bermain. Begitu pula dengan stimulasi. Orangtua tidak harus terus menemani anak bermain, tetapi juga bisa membiarkan mereka bermain sendiri agar imajinasi dan kreativitasnya semakin terasah.
"Maka, penting banget buat orangtua dan pendidik memahami fase perkembangan anak. Kalau enggak paham fase perkembangan anak, pendidikan jadi tidak sesuai," ujarnya.
Bentuk permainan bisa disesuaikan. Misalnya dengan bermain peran, anak bisa belajar bersosialisasi, memahami konsep, dan mengasah kemampuan bahasanya. "Perkembangan anak itu sesuai urutan. Yang penting pemahaman anak tentang konsep itu harus baik," ujarnya.
Jenis permainan juga agar disesuaikan dengan minat anak, bukan anak yang mengikuti keinginan orangtua. Karena itu, Mesty meminta agar para orangtua mengobservasi kesukaan anak dan mengintegrasikannya dengan nilai atau pelajaran yang ingin disampaikan orangtua.
"Misalnya anak lagi suka mobil-mobilan, dia bisa diajak belajar angka dengan meminta mereka membuat putaran mobil seperti angka tertentu," ia menjelaskan.
Advertisement
Bukan Gawai
Mesty tidak menyarankan anak diberi gawai saat bermain. Hal itu, kata dia, bisa meningkatkan risiko gangguan sensori pada anak, dalam dimensi lebih besar, suatu negara bisa kehilangan generasi mudanya.
"Sebuah studi pada 2016 menyatakan, 43 persen balita usia 0--5 tahun potensi perkembangannya tidak sampai seharusnya karena kurangnya bermain dan terlalu terpapar gadget," ujar dia.
Balita yang terpapar gadget intens juga berisiko mengalami keterlambatan bicara tiga kali lipat lebih tinggi. Begitu pula dengan penurunan kemampuan kognitif.Â
"Sekarang ini mulai ngetren gangguan sensori, padahal zaman dulu apa itu, tidak dikenal. Sensori itu indra anak, sentuhan, mencium bau tanah, hujan, tumbuhan, kemampuan keseimbangannya juga kurang terlatih," ucap Mesty.
Tapi, mainan yang dimiliki tidak harus mahal. Manda Putri, Marketing Communications Manager ELC, mengatakan yang terpenting dari permainan anak adalah aman saat dimainkan dan sesuai dengan fase pertumbuhannya.
"Mahal tidak menjamin, tapi bagaimana bahan dasarnya, apa aman untuk anak? Di ELC tidak ada mainan yang memiliki potongan-potongan kecil, sehingga tidak bisa tertelan. Kalau pun pecah, pecahannya enggak sampai kecil-kecil sehingga bisa tertelan oleh anak," kata dia.
Cara Generasi 90an Jalani Liburan Sekolah
Advertisement