Memasak dengan Tenaga Surya, Benarkah Bisa Selamatkan Hutan?

Di samping menghasilkan nol emisi karbon, memasak dengan tenaga surya juga gratis.

oleh Asnida Riani diperbarui 22 Okt 2021, 22:02 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2021, 22:02 WIB
Ilustrasi memasak | Martin Lopez dari Pexels
Ilustrasi memasak | Martin Lopez dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta - Alih-alih memanfaatkan sumber bahan bakar, memasak dengan tenaga surya berarti menggunakan permukaan cermin untuk menyalurkan dan memusatkan sinar matahari ke dalam ruang kecil. Langkah ini bertujuan "memasak makanan sambil menghasilkan nol emisi karbon."

Melansir CNN, Jumat (22/10/2021), menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2,6 miliar orang di seluruh dunia memasak makanan sehari-hari mereka di atas api terbuka. Dipicu kayu, kotoran hewan, minyak tanah, dan arang proses ini menghasilkan "asap yang sangat berpolusi dan berkontribusi terhadap penggundulan hutan dan erosi tanah."

Dari sinilah muncul kompor tenaga surya sebagai alternatif. Solar Cookers International (SCI) adalah organisasi nirlaba yang mengadvokasi adopsi teknologi memasak menggunakan panas matahari. SCI menyebut ada lebih dari 4 juta pengguna kompor surya di seluruh dunia.

Salah satunya adalah Janak Palta McGilligan. Perempuan 73 tahun ini adalah anggota Dewan Penasihat Global SCI dan direktur Jimmy McGilligan Center for Sustainable Development di Madhya Pradesh, India.

Di negara yang 81 persen masyarakat pedesaannya bergantung pada bahan bakar berpolusi untuk memasak, McGilligan melihat orang-orang dirugikan dengan memasak dengan kayu bakar. Kesehatan mereka terpengaruh dan lingkungan alam di sekitar terkikis.

"Anak perempuan tidak bisa pergi ke sekolah karena mereka menghabiskan sepanjang hari mengumpulkan kayu," tambah McGilligan.

Dengan perkiraan 300 hari cerah dalam setahun, India berpeluang besar menggunakan energi panas matahari. Ia pun memperkenalkan kompor tenaga surya ke komunitas ini, dengan Jimmy McGilligan Center menanggung semua biaya pelatihan dan 90 persen dari harga kompor.

Hingga saat ini, pihaknya telah melatih lebih dari 126 ribu orang dalam praktik berkelanjutan. Ini termasuk memasak dengan tenaga surya, teknik pengawetan makanan, serta menggunakan energi panas matahari untuk memanaskan setrika. "Ini tidak hanya tentang lingkungan, tapi juga kesetaraan," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pelatihan Sederhana

Ilustrasi
Ilustrasi kuliner India. (dok. unsplash @july29)

Ada banyak jenis kompor surya yang diperkenalkan, dari kotak cermin hingga sistem atap dan kompor tabung yang dievakuasi untuk wilayah lebih dingin. McGilligan pun mengadvokasi manfaat ekonomi dari memasak dengan tenaga surya. "Semua bahan bakar yang menimbulkan polusi sangat mahal, tapi memasak dengan tenaga surya gratis," katanya.

"Siapa pun dapat menggunakan kompor surya dan pelatihannya sederhana. Anda harus belajar memposisikan kompor surya, bagaimana menyelaraskannya dengan matahari. Itu saja," jelas McGilligan.

Oven tenaga surya, ia menjelaskan, dapat dibuat dengan kotak kardus dan cermin atau foil. Namun demikian, ada satu kelemahan yang jelas: Anda tidak bisa memasak setelah gelap, dan meski makanan akan cepat matang pada hari yang cerah, dalam cuaca buruk, kompor surya bisa memakan waktu lebih lama daripada versi konvensional.

Pada hari yang dingin atau berangin, makanan berat, seperti roti, mungkin tidak bisa dimasak sama sekali. Tapi, kompor surya dapat digunakan untuk mengeringkan dan mengawetkan makanan di hari-hari berawan. 

Pangkas Emisi Karbon Hitam Global

Ilustrasi Memasak
Ilustrasi memasak (dok. Unsplash.com/Kevin McCutcheon @kevinmccutcheon)

Menurut LSM internasional SolarAid, di iklim cerah dan gersang, satu kompor surya dapat menghemat hingga satu ton kayu setiap tahun. Juga, berpotensi menghilangkan penggunaan bahan bakar memasak berpolusi yang menyumbang lebih dari setengah emisi karbon hitam global.

Karbon hitam adalah salah satu kontributor terbesar perubahan iklim setelah karbon dioksida, tapi hanya bertahan di atmosfer selama berhari-hari hingga berminggu-minggu. Faktanya, pembakaran biomassa kayu menghasilkan emisi karbon dioksida lebih besar per unit energi daripada pembakaran bahan bakar fosil.

Di luar emisi karbon, penggunaan bahan bakar biomassa dapat berkontribusi pada deforestasi di daerah pedesaan. "Planet ini dalam bahaya," kata McGilligan. "Di pedesaan India, kita tidak bisa menanam pohon cukup cepat untuk menggantikan kayu yang dibakar untuk memasak."

Di samping pelatihan tentang metode memasak dengan tenaga surya, ia juga mendorong penanaman, serta pemeliharaan vegetasi dan pohon asli untuk mulai melawan dampak lingkungan dari masa pakai kayu bakar di pedesaan India. "Orang-orang di desa terhubung dengan hutan," kata McGilligan.

"Mereka merasa menyesal hutan hilang, mereka sedih karena tidak akan ada pohon. Energi panas matahari sangat melegakan bagi mereka," imbuhnya. McGilligan mengamati bahwa pemulihan ekosistem jadi akibat langsung dari kompor tenaga surya yang diperkenalkan ke sebuah desa. "Seluruh hutan akan diselamatkan karena orang-orang menggunakan kompor surya," tandasnya.

Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner

Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Diplomasi Lewat Jalur Kuliner (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya