Liputan6.com, Jakarta - Tiap 28 Oktober sejak 1928, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda tiap tahunnya. Sumpah Pemuda, termasuk salah satu titik balik perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Puluhan tahun sebelum merdeka, pemuda Indonesia masih terpecah belah dan belum bersatu melawan musuh. Namun 93 tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda II yang memicu lahirnya Sumpah Pemuda. Momentum ini melibatkan para pemuda dari berbagai etnis di Indonesia, termasuk Tionghoa.
Advertisement
Baca Juga
“Mungkin belum banyak yang tahu kalau pemuda Tiomghoa punya peran cukup penting dalam momen pencetusan Sumpah Pemuda,” ungkap sejarawan Ravando Lie dalam webinar program INSPIRATO Sharing Session Liputan6.com bertema ‘Muda, Gaya dan Juara’, Rabu (27/10/2021).
Menurut Ravando yang merupakan kandidat Doktor di University of Melbourne, Australia ini, para pemuda dari berbagai suku bangsa berkumpul di Jalan Kramat 106, Batavia yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda di kawasan Jakarta Pusat. Rumah itu dulunya milik pemuda berdarah Tionghoa, Sie Kong Lian.
Selain itu, ada beberapa pemuda Tionghoa lainnya yang mengikuti kongres bersejarah tersebut. Di rumah Sie Kong Lian tersebut, mereka mengikrarkan satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Sejak rumah tersebut dibeli kali pertama oleh Sie Kong Lian pada 1908, sejumlah pelajar STOVIA dan aktivis pergerakan Indonesia tercatat pernah indekos di sana. Nama-nama seperti Mohammad Yamin, A.K. Gani, Abu Hanifah, dan Amir Sjarifuddin, pernah indekos di sana.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Museum Sumpah Pemuda
Sie Kong Lian memang bermimpi agar atmosfer rumahnya tersebut bisa menginspirasi anak-anaknya untuk menjadi dokter sekaligus aktivis. Hal itu berhasil diwujudkan anak-anaknya kelak.
Rumah itu kemudian dipugar dan namanya menjadi Gedung Kramat 106 sebelum dijadikan sebagai Gedung Sumpah Pemuda karena sudah secara resmi mendapat pengakuan dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, tepatnya pada 20 Mei 1973. Setahun kemudian, Gedung Sumpah Pemuda diresmikan oleh Presiden RI, Soeharto.
Setelah melalui berbagai usulan ataupun pengajuan pada 1983 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) No.029/O/1983 oleh Mendikbud Prof.Dr. Nugroho Notosusanto dimana Gedung Sumpah Pemuda diganti dengan nama Museum Sumpah Pemuda.
Saat ini pengelolaan Gedung Sumpah Pemuda ataupun Museum Sumpah Pemuda kembali dikelola secara langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Advertisement
Merekam dan Mengedarkan
Sementara itu, etnis Tionghoa juga berperan dalam rekaman lagu Indonesia Raya yang dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman. W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. W.R. Supratman yang juga seorang wartawan Surat Kabar Sin Po, kata Ravando, punya ide menerbitkan lirik lagu Indonesia Raya.
Satu-satunya surat kabar yang mau menerbitkan lagu Indoensia Raya hanya Sin Po. Kemudian W.R Supratman ingin merekam lagunya. "Waktu itu studio rekaman yang bersedia melakukannya adalah studio milik Tionghoa, Yo Kim Tjan. W.R Supratman menawarkan merekam lagu ke tiga studio rekaman," terang Ravando.
"Dua studio menolak dan hanya rumah studio milik Yo Kim Tjan yang menerima dirinya melakukan rekaman. Karena saat itu memang takut dengan situasinya, Yo Kim Tian membantu rekaman lagu tersebut dan mendistribusikannya dengan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahaun pemerintah Belanda," sambung dosen Sejarah di UGM itu.
Rekaman lagu Indonesia Raya dilakukan pada 1927, setahun sebelum ikrar Sumpah Pemuda dibacakan. Lagu itu kemudian dibawakan W.R. Supratman saat momen Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, dan kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia.