Pesan Toleransi terhadap Kaum Minoritas di Indonesia dalam Wayang Kulit LGBTQ

Samidjan membuat wayang LGBTQ untuk mendorong orang peduli satu sama lain dan tidak menghakimi mereka yang berbeda.

oleh Henry diperbarui 29 Nov 2021, 22:03 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2021, 22:03 WIB
Ilustrasi Wayang
Ilustrasi Wayang (Photo created by pikisuperstar on Freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kaum transgender masih menjadi minoritas di banyak negara, termasuk Indonesia. Tidak jarang mereka menerima perlakuan maupun perkataan kurang menyenangkan. Hal itu juga dialami Bambang Priawan, yang kerap dirundung karena "tidak cukup maskulin."

Bambang, yang seorang transgender, menyesali nasibnya sebagai bagian dari minoritas seksual di Indonesia. Ia ditakdirkan untuk dihujat masyarakat maupun pemerintah. Di saat kesusahan, Betari Jaluwati, seorang dewi transgender, turun dari surga untuk menghiburnya.

Gemerlap pelangi di rambutnya, ia menyuruh Priawan untuk berhenti putus asa. Yang Maha Kuasa, katanya, bukanlah laki-laki atau perempuan. Cerita itu merupakan petikan pementasan wayang kulit Jawa kontemporer yang dibuat dan dibawakan seorang dalang bernama Ki Samidjan. Pria 68 tahun itu merupakan warga Gunungkidul, Yogyakarta, dan putranya Kus Sri Antoro, yang bertindak sebagai asistennya.

Tema lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) memang masih kontroversial di Indonesia. Samidjan mengatakan, intoleransi yang berkembang di negara ini jadi latar belakang dirinya bertindak.

"Betari Jaluwati dan Warya Bissunanda (karakter transgender lain) kami ciptakan sebagai tokoh wayang baru untuk mengungkap keprihatinan terhadap diskriminasi pada warga negara LGBTQ di negara kami, yang sering kali hak-haknya diinjak-injak negara," ucapnya, dilansir dari SCMP, Senin (29/11/2021).

Samidjan mengatakan, karakter LGBTQ-nya adalah bagian dari barisan "wayang marjinal," satu set wayang yang dirancang untuk mewakili kelompok-kelompok terpinggirkan dalam masyarakat Indonesia, termasuk petani kecil, buruh, dan penyandang disabilitas. Ide membuat 'wayang marjinal" muncul di benaknya setelah mendengarkan tetangganya yang tunanetra mengeluh tentang prasangka yang dia hadapi sebagai orang tanpa penglihatan.

Samidjan ingin membuat drama yang mendorong orang untuk peduli satu sama lain dan tidak menghakimi mereka yang berbeda. "Tak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan berbeda; menjadi buta, menjadi gay atau trans. Saya tidak tahu apakah wayang saya akan mengubah sikap orang, tetapi saya hanya ingin menyampaikan pesan di sana," harapnya. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tidak Menggurui

Ilustrasi LGBT
Ilustrasi LGBT(SatyaPrem/Pixabay).

Mengingat pudarnya popularitas wayang di kalangan anak muda, Samidjan mencoba membalikkan keadaan dengan menjadikan wayang lebih relevan pada zaman modern, menggunakan isu-isu terkini dalam lakon-lakonnya. Dia menegaskan bahwa sejauh ini belum menyaksikan kemarahan penonton atas karakter wayang transgendernya setiap kali ditampilkan.

"Mungkin karena dialog yang saya tulis untuk karakter-karakternya penuh dengan humor, yang membuat penonton tertawa. Pesannya soal toleransi, tapi tidak disampaikan dengan nada menggurui, karena pada hakikatnya wayang dimaksudkan untuk menghibur," terang Samidjan.

Samidjan mengaku, ketika membuat dua karakter trans wayang, dia dan putranya berkonsultasi dengan komunitas LGBTQ setempat sekaligus meminta izin. Dia ingin mendapatkan rincian yang benar. Prototipe pertama dari kedua Betari Jaluwati dan Warya Bissunanda sekarang dengan bangga ditampilkan di pesantren Al-Fatah, sebuah pesantren untuk transgender.

Di sana, Samidjan dan putranya pertama kali memainkan pertunjukan bertema LGBTQ mereka, yaitu pada Desember 2020. Kedua tokoh tersebut juga muncul pada 16 November lalu sebagai bagian dari festival pluralisme wayang.

Membebaskan Seni

Wayang Kulit
Wayang Kulit. (dok.Instagram @freeland_channel/https://www.instagram.com/p/BGKWjD2BpeU/Henry)

Seorang waria bernama Shinta Ratri, yang juga ketua umum Al-Fatah, sangat terkesan saat menyaksikan Samidjan tampil di pesantrennya. "Sungguh menghangatkan hati melihat jenis kami diwakili. Kami berhutang budi kepada Ki Samidjan karena tidak melupakan kami," ujarnya.

Sebagian kalangan pecinta wayang mungkin tidak senang dengan pendekatan baru Samidjan yang membebaskan seni, terutama menambahkan karakter LGBTQ ke dalam repertoarnya. Namun, Samidjan dan putranya, Kuntoro, percaya bahwa wayang harus bergerak seiring waktu untuk tetap jadi bagian yang erat dari budaya Indonesia.

Sebagai seorag dalang otodidak, Samidjan mulai membuat wayang kulit sejak duduk di bangku SMP.  Pada 2001, ia memulai lokakarya produksi "wayang limbah" dari bahan daur ulang seperti plastik dan potongan logam.

"Saya ingin menjauh dari bahan tradisional kulit sapi karena lebih praktis dan hemat biaya. Saya akhirnya memilih plastik dan logam bekas karena lebih masuk akal untuk mendaur ulang sampah, sehingga wayang kita juga ramah lingkungan," jelasnya.

Untuk karya wayang limbahnya, Samidjan dianugerahi Penghargaan Kalpataru, penghargaan dari pemerintah Indonesia untuk warga yang dianggap telah berkontribusi pada pelestarian lingkungan, oleh kota Yogyakarta pada 2018.

 

Infografis Wayang Potehi

Infografis Wayang Potehi
Wayang Potehi menjadi salah satu warusan seni budaya Tionghoa - Jawa
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya