Liputan6.com, Jakarta - Kepergian Jonghyun, "member abadi" SHINee, untuk selama-lamanya empat tahun lalu meninggalkan luka begitu mendalam. Kematian tragisnya tidak hanya mengejutkan dunia K-Pop, tapi juga industri musik yang lebih luas, Metro mencatat, Sabtu (18/12/2021).
Idol berusia 27 tahun itu mengakhiri hidupnya, menulis tentang depresi yang melanda dalam "surat terakhir" yang dibagikan secara publik dengan izin keluarganya. Dalam surat itu, pemilik nama Kim Jonghyun ini menulis depresi "yang perlahan menggerogoti saya" dan "akhirnya melahap saya."
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan bahwa ia ingin melarikan diri, menulis, "Kamu bertanya mengapa saya hidup. Hanya karena. Hanya karena. Semua orang hidup hanya karena. Jika kamu bertanya mengapa orang meninggal, mereka mungkin akan menjawab karena kelelahan. Saya menderita dan menderita karenanya. Saya tidak pernah belajar bagaimana mengubah rasa sakit ini jadi kebahagiaan."
Jonghyun juga mengatakan bahwa ia "tidak bermaksud menjalani kehidupan di depan mata publik." Ia mengungkap, "Mengapa saya membuat keputusan itu. Itu konyol. Sangat menyenangkan bahwa saya bahkan berhasil sejauh ini."
Pesan nan menyayat hati membuat kepergian Jonghyun membuka ruang perbincangan tentang kesehatan mental idol K-Pop. Khususnya dalam komunitas Korea Selatan, bunuh diri bahkan disebut sebagai "epidemi."
Pada 2015, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor satu bagi orang berusia 10 hingga 39 tahun di Korea Selatan, menurut Layanan Informasi Statistik Korea. Psikiater Dr Jinseng Park mengatakan, "Pada 1970-an, Korea jadi masyarakat yang 'sangat industri.' Tanahnya sempit dan sulit untuk ditinggali. Karena itu, sejak kecil para siswa telah bersaing ketat dengan tekanan dari orangtua mereka."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Diserang Depresi
Persaingan dan tekanan ini semakin memperparah industri K-Pop. Trainee diberikan kontrak mengikat oleh agensi dan menjalani pelatihan ketat dalam menari, menyanyi, rap, bahasa asing, dan tampil hingga mereka dianggap siap untuk debut sebagai idol.
Dr Park berkata. "Ada kesadaran yang sangat kompetitif untuk membandingkan dengan orang lain. Dalam pengertian itu, kaum muda dapat dengan mudah jadi depresi jika mereka merasa gagal."
"Dalam kasus kehidupan sehari-hari para selebritas, itu terlihat spektakuler di permukaan, tapi ketika melihat ke dalam, mereka mungkin mengalami banyak tekanan. Mari kita lihat kasus seorang trainee yang ingin jadi bintang K-Pop. Kehidupan pribadinya sepenuhnya dikendalikan atau dikelola agensi."
"Menggunakan telepon seluler juga bisa dilarang. Di dunia yang terputus dari luar, mereka harus mengabdikan diri untuk berlatih saja. Mereka tidak bisa menahan perasaan kesepian. Terkadang usia mereka antara 18 dan 20 tahun. Tampaknya jadi kehidupan yang mengorbankan segalanya untuk kesuksesan masa depan," imbuhnya.
Dr Park menutup, "Jika berhasil di sini sebagai pemula, mereka beruntung, tapi jika tidak, mereka dapat menderita penghinaan diri. Dalam kasus bintang sukses seperti Jonghyun, pada dasarnya sama dengan hal itu."
Advertisement
Berbicara tentang Kesehatan Mental
Meski mereka berada pada peningkatan risiko penyakit mental, idol K-pop sering memiliki pilihan relatif terbatas dalam menangani kesehatan mental mereka karena profil tinggi dan stigma sosial, Soompi mencatat. Namun, beberapa artis K-Pop mulai sangat terbuka untuk membahas kesehatan mental.
Semakin banyak bintang yang mulai mengungkap perjuangan mereka sendiri dengan depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lain. Tablo Epik High dan Suga BTS terkenal di kalangan penggemar K-Pop karena jadi pendukung kesadaran kesehatan mental dan secara terbuka mendiskusikan masalah kesehatan mental pribadi selama bertahun-tahun.
Selebritas tentu bukan satu-satunya yang berjuang untuk berbicara tentang kesehatan mental. Namun, karena stigma terhadap penyakit mental membuat sulit bagi banyak orang, terkenal atau tidak, untuk mendiskusikan dengan benar dan bebas apa artinya menderita penyakit jiwa.
Namun, bukan berarti "barikade" itu tidak bisa ditembus. Bayan Mental Health mencatat, ada beberapa tips untuk berbicara tentang kesehatan mental. Pertama, tulis surat jika Anda takut untuk berbicara tatap muka. Kemudian, bisa juga dengan bicara pada seseorang yang tidak mengenal Anda seperti terapis atau psikolog.
Mulai membuat jurnal dan beralih ke berbicara. Berlatihlah berbicara di depan cermin sebelum Anda berbicara dengan seseorang jika kesulitan melakukannya. Ingatlah bahwa Anda mungkin akan merasa sangat lega setelah berbicara dengan seseorang dan Anda tidak sendirian.
Kontak Bantuan
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.
Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19
Advertisement