Kilau Sulam Karawo di Panggung Indonesia Fashion Week 2023, Rumit dan Menantang

Sulam Karawo dari Gorontalo menjadi bintang utama gelaran Indonesia Fashion Week (IFW) 2023.

oleh Dyra Daniera diperbarui 27 Feb 2023, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2023, 13:00 WIB
Koleksi Karawo oleh Dimas Mahendra
Koleksi Karawo oleh Dimas Mahendra dalam Sesi "Waves of Karawo" IFW 2023 di Jakarta Convention Center. (Dok. Liputan 6.com/Dyra Daniera)

Liputan6.com, Jakarta - Sulam Karawo dari Gorontalo sukses menjadi bintang dalam Gelaran Indonesia Fashion Week (IFW) 2023. Menutup pekan fesyen yang telah dilaksanakan sejak 22 Februari 2023, Karawo menonjol di tangan para desainer dalam sesi Waves of Karawo, Minggu, 26 Februari 2023.

Sebanyak 12 desainer memamerkan karyanya dalam sesi Waves of Karawo. Mereka adalah adalah House of Abhiee, Fachriel Djou, Fadly Rauf, Gilbert Tri Van Badjuka, Honok Alvared, Agnes Budhisurya, Erdan, Dimas Mahendra, Misan Kopaka, Harry Ibrahim Susan Zhuang, dan Koyko. Beragam konsep dan tema busana ditampilkan, mulai dari formal, busana pesta, hingga kasual. 

Waves of Karawo merupakan salah satu sesi dari Indonesia Fashion Week 2023 yang mengangkat tema 'Sagara Dari Timur', yang dikhususkan untuk mengangkat budaya wastra dari Provinsi Gorontalo. Keindahan karawo ditampilkan oleh Honok Alvared, yang mengimplementasikan karawo dalam berbagai item fesyen bergaya kasual, mulai dari gaun, rok, jas, hingga kardigan.

Warna-warna yang dipilih didominasi warna pastel, seperti putih, ungu, dan cokelat mustard, dan diberi sentuhan pink. Kepada Liputan6.com, Honok menjelaskan bahan yang digunakannya untuk busana itu didominasi oleh linen.

Sementara, Agnes Linggar Budhisurya yang namanya sudah cukup dikenal sebagai desainer gaun lukis, mengimplementasikan karawo ke dalam gaun-gaun sore dan gaun malam yang tampak mewah. Menurutnya, kain sulam karawo tradisional masih terlalu monoton dan biasanya hanya digunakan untuk baju sehari-hari seperti baju muslim. 

"Sebelum diolah, hanya selembar kain yang sangat sederhana. Tapi setelah saya pelajari, kenapa sih nggak kita angkat? Itu yang sangat menggugah saya," jelasnya usai show di Jakarta Convention Center.

Kerumitan Karawo

Koleksi Karawo oleh Fachriel Djou
Desainer termuda di IFW 2023, Fachriel Djou, menampilkan Karowo dengan gaya sporty casual. (Dok. Liputan 6.com/Dyra Daniera

Sulam Karawo merupakan kerajinan tradisional asli Gorontalo. Karawo berasal dari kata mokarawo yang artinya menyulam dengan tangan. Dahulu, kain khas Gorontalo ini tidak banyak dijadikan busana. Ibu-ibu yang mengisi waktu luang, biasanya menyulam kain karawo untuk dijadikan sapu tangan, serbet, dan taplak meja. Kini kain karawo sudah diaplikasikan ke dalam dunia fesyen. 

Proses pembuatan sulam karawo dapat dibilang sangat rumit karena hanya bisa dibuat dengan tangan. Hal itu justru menarik minat para desainer untuk mempelajari dan mengaplikasikannya dalam desain masing-masing.

Salah satunya adalah desainer muda berusia 16 tahun asli Gorontalo, Fachriel Djou. Fachriel menampilkan koleksi karawonya dengan gaya sporty casual. Ia banyak menggunakan motif kotak-kotak dengan warna-warna cokelat, oranye, dan hijau sage. Ia menjelaskan tahapan pembuatan karawo.

"Ada 4--5 tahapan pengerjaan, serat kainnya dicabut satu per satu, dan itu musti ada hitungan. Paling banyak (hitungan) yang dipakai itu dicabut empat, ditinggal lima atau sebaliknya. Terus yang dicabut itu diiris supaya bisa dikarawo. Tahap selanjutnya ditarik satu per satu benang yang sudah diiris supaya bisa berlubang untuk dibuat tahap terakhir, untuk menyulam motif karawo tersebut," ia menjelaskan. jelasnya. 

Kerumitan membuat Karawo juga diutarakan wakil ketua Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Pusat, Naniek Rachmat. Fachriel bercerita, "Bahkan Ibu Naniek Rachmat sampai ngomong, bertahun-tahun mereka belajar mengenai sulaman atau wastra-wastra indonesia, Karawo merupakan sulaman yang paling sulit dibuat."

Modifikasi Bahan

Koleksi Karawo oleh Fadly Rauf
Fadly Rauf menampilkan koleksi Karawo dengan warna serba pink. (Dok. Liputan 6.com/Dyra Daniera

Koleksi Karawo dengan gaya feminin ditampilkan oleh brand Mayenna oleh Fadly Rauf. Seluruh koleksi Fadly menggunakan warna pink. Tema besar yang diangkat ialah ‘ikonik’.

"Kebetulan karena aku ambil motif karawonya dari ikon-ikon di Gorontalo," ujar Fadly. Dalam baju-baju koleksinya, berbagai ikon landmark khas Gorontalo ditampilkan, di antaranya, Menara Limboto, Tugu Saronde, dan Jembatan Boalemo yang berbentuk segitiga.

Selain itu, Fadly merasa penggunaan warna pink adalah ‘ikon’ dari dirinya sendiri. "It represents myself as a person yang suka banget hal-hal cheerful, yang ceria," jelasnya. "Aku pengen bisa diingat dengan warna itu," tambahnya.

Secara tradisional, Karawo biasanya disulam di kain toyobo yang berserat. Karawo juga bisa dilakukan di katun, satin, dan tafeta, tetapi tidak bisa dilakukan di kain organza. Para desainer pun harus memutar otak untuk memilih kain terbaik untuk menonjolkan Karawo. 

"Kalau mau di kain lain, ditempel. Bikinnya di toyobo terus ditempel di kain yang lain. Jadi nggak monoton gitu aja," ujar Fadly. 

Fadly Rauf menjelaskan, "Kita dikasih mentor sama Ibu Naniek dari APPMI, dimentori kainnya dimodifikasi. Dipakai linen."

Perlu Kesabaran

Koleksi Karowo oleh Agnes Budhisurya
Sulam Karowo diimplementasikan dalam gaun malam oleh Agnes Budhisurya. (Dok. Liputan 6.com/Dyra Daniera)

Fadly yang asli Gorontalo tersebut membeberkan keunggulan dari sulam Karawo. Ia membutuhkan waktu enam bulan untuk menyelesaikan seluruh koleksi karawo.

"Karawo itu banyak filosofinya, ya. Punya nilai yang lebih karena di situ tertuang impian dari perajinnya bahwa dengan karawo bisa punya hidup yang sejahtera, hidup berkecukupan. Makanya karawo itu nggak gampang dibuat,” jelasnya. 

Ia tak menampik bila banyak masyarakat yang menganggap karawo mahal. Namun, yang harus diluruskan adalah harga yang dibayar itu sebanding dengan nilainya, khususnya karena proses pembuatannya yang rumit. "Jadi kadang aku suka kesel juga sih kalau ada orang yang nawar sampai berlebihan, karena mereka nggak tahu prosesnya seperti apa,” ujar Fadly dengan nada kecewa. 

Berbeda dengan Fadly yang sudah cukup akrab dengan Karawo, Agnes Budhisurya baru pertama kali membuat koleksi dengan Karawo. "Ini saya pertama kali. Jadi saya ingin mempelajari. Tapi dalam mempelajari, saya jadi jatuh cinta."

Lagi-lagi, hal yang membuat Agnes jatuh cinta adalah karena proses pengerjaan Karawo yang rumit. "Saya membayangkan pengrajinnya begitu tekun, begitu sabar, begitu teliti," ungkapnya. "Dan itu harus kita hargai benar-benar. Karena itu saya ingin mengangkat ini supaya lebih dikenal oleh masyarakat luas, kalau bisa mendunia," tambahnya.

Fachriel Djou, mewakili pemuda Gorontalo, mengungkapkan bahwa kini sudah ada program dari pemerintah yangk mengajak anak-anak muda, terutama Generasi Z, mau membuat Karawo. “Karena karawo kan bisa dibilang susah banget. Mereka ini nggak sabaran,” ujarnya sambil tertawa. 

Infografis Desainer Indonesia di Pentas Fesyen Dunia
Infografis desainer Indonesia di pentas fesyen dunia (Liputan6.com/Trie Yasni))
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya