Universitas di Irlandia Buka Jurusan Influencer, Incar Gen Z untuk Kuliah Selama 3 Tahun

South East Technological University, sebuah universitas di Irlandia menciptakan program studi "Influencer" khusus untuk Gen Z yang tumbuh bersama media sosial.

oleh Farel Gerald diperbarui 11 Okt 2023, 14:00 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2023, 14:00 WIB
Universitas Al Azhar
Ilustrasi South East Technological University di Carlow, Irlandia. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Kemunculan influencer sebagai profesi yang sah telah menyebabkan industri, pendidikan, dan masyarakat memandang lebih serius akan potensi yang dimilikinya. South East Technological University (SETU), sebuah universitas di Irlandia, pun membuat pengajaran formal untuk mereka yang ingin mengembangkan karier di bidang ini.

Universitas tersebut membuka program studi "Influencer" dengan durasi pembelajaran selama 3 tahun. Dilansir dari NY Post pada 4 Oktober 2023, program pendidikan ini dibuat khusus untuk generasi yang tumbuh bersama media sosial, yaitu Gen Z, dengan menawarkan kurikulum yang menyeluruh.

Dari pembuatan konten, pemasaran diri, hingga analisis algoritma, mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk berkompetisi di dunia digital yang kompetitif. Selama dua tahun terakhir, universitas itu telah mengadakan "Digital Hustle", sebuah program intensif musim panas yang diberikan oleh para pengguna TikTok populer serta ahli di bidangnya.

Meskipun demikian, program ini belum mampu mencakup seluruh aspek industri seutuhnya seperti yang bisa diberikan oleh program sarjana. "Kami menyadari ada peluang dan kebutuhan di sini, jadi kami berencana untuk mengupgrade kursus tersebut menjadi program sarjana yang resmi," ujar Irene McCormick, dosen senior di SETU, dalam wawancaranya dengan Washington Post.

Gelar sarjana dalam seni ini memberikan peluang bagi calon siswa untuk mengonversi waktu mereka di layar menjadi sebuah profesi. Caranya lewat memahami dasar-dasar dan penerapan media sosial serta cara berinteraksi dengan audiens target di dunia maya.

Fokus Mempelajari Pemasaran Influencer

Universitas Stanford. Credit: Ian Mackey/Unsplash
Universitas Stanford. Credit: Ian Mackey/Unsplash

Program studi ini dijadwalkan untuk menerima 40 mahasiswa berbasis teknologi dalam angkatannya tahun depan. Namun McCormick menduga bahwa lebih banyak calon mahasiswa yang akan kandas mengingat popularitas program musim panas yang ditawarkan universitas sebelumnya.

Institusi pendidikan seperti USC, Cornell, Duke, dan Chapman sebelumnya telah menawarkan kursus singkat di bidang strategi, bisnis, dan komunikasi influencer. Tetapi, SETU memimpin dengan menjadi institusi pertama yang menawarkan jurusan khusus untuk bidang tersebut.

"Saat mengajar di kelas-kelas tingkat universitas, saya berhadapan dengan generasi yang lahir di era digital, mereka benar-benar terbiasa dengan semua ini," ungkap Tom Hafen, seorang profesor spesialis manajemen merek di era digital dari Universitas Columbia, saat berbicara dengan The Post.

Alih-alih membahas tentang teknik praktis, seperti bagaimana mengunggah di Instagram atau membuat video TikTok.  Pendekatan program studi ini lebih kepada teori yang mendasari pemasaran influencer.

Nilai industri influencer saat ini mencapai lebih dari 21 miliar dolar AS (sekitar Rp330 triliun). Dengan populernya budaya influencer, semakin banyak generasi muda yang melihat dunia influencer sebagai karier yang potensial.

"Kita mungkin beruntung menjadi viral, tetapi kita mungkin tidak tahu alasan sebenarnya mengapa kita menjadi populer," kata Hafen, menekankan bahwa menjadikan sesuatu menjadi viral bukanlah hal yang mudah untuk diulang-ulang.

 

Kesempatan Karier yang Independen

Ilustrasi pedagogik, guru, mengajar
Ilustrasi pedagogik, guru, mengajar. (Gambar oleh 14995841 dari Pixabay)

Pendekatan pendidikan pun harus lebih mengutamakan strategi konten, bukan hanya fokus pada platform tertentu. "Pemasaran influencer adalah cara paling efektif yang kita miliki saat ini, yang membuat konsumen merasa 'Orang seperti saya menggunakan produk ini, jadi produk ini pasti baik untuk saya'," tambah Hafen, menekankan pentingnya media sosial sebagai saluran utama informasi.

Dan dalam beberapa tahun terakhir, ada tren meningkat di mana perusahaan lebih menghargai kemampuan kreasi konten dan pengetahuan media sosial dari generasi muda. "Jadi, pengetahuan ini sangat krusial, tidak hanya bagi pengusaha individual tetapi juga untuk korporasi besar," pungkasnya saat berbicara dengan The Post.

Profesor komunikasi dari Universitas Cornell, Brooke Erin Duffy, menyatakan bahwa keinginan untuk bekerja dari rumah dan memiliki otonomi dalam kehidupan mungkin memicu gelombang besar minat pada media sosial. "Di era saat ini, kebanyakan orang ingin memiliki otonomi dalam kehidupannya," ungkapnya dalam wawancara dengan Washington Post.

Ia menyambung, "Dan menjadi seorang influencer menawarkan kesempatan untuk memiliki karier yang independen."

Namun, upaya untuk mencapai popularitas di dunia maya mungkin hanyalah angan-angan. Duffy mengingatkan bahwa peluang sukses mungkin hanya sebuah ilusi yang dipromosikan oleh beberapa platform.

 

Tidak Semata-mata Mengikuti Tren

Produksi konten TikTok
Ilustrasi membuat konten TikTok. (Sumber foto: Pexels.com).

Keberadaan "ketidakpastian dan kerentanan" di dunia digital bisa membuat pendidikan yang fokus pada platform tertentu menjadi usang dengan cepat. "Dengan kata lain, perubahan cepat dalam dunia media sosial dan pergantian tren dapat merendahkan nilai suatu gelar sebelum lulus," tambahnya.

Duffy mengungkapkan bahwa setiap program yang berkeinginan menjadi referensi untuk memahami industri ini harus sangat fokus pada prinsip-prinsip dasar yang lebih mendalam. Namun, menjadi influencer atau pembuat konten bukan hanya tentang mengikuti tren dan memahami cara kerja platform.

Dylan Huey, CEO dari Reach, sebuah organisasi kampus untuk kreator konten mahasiswa, menyatakan ini lebih dari sekedar "membuat video TikTok". Namun, ini mirip dengan menjalankan bisnis sendiri, termasuk aspek keuangan dan perpajakan.

"Menurut saya, kita masih di awal fase dalam menentukan seberapa banyak materi yang seharusnya diajarkan untuk influencer dan landscape media sosial," katanya saat berbicara dengan ABC News.

"Tapi, melihat perguruan tinggi mulai mengakui pentingnya ekonomi kreatif dan dampaknya terhadap industri hiburan adalah hal yang menarik."

Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Rasa Berkuasa Pendidik Berujung Pelecehan Seksual (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya