Liputan6.com, Jakarta - Sudah jadi sebuah kelumrahan untuk "berwisata" foto di masa sekarang. Sasaran tempatnya pun beragam, dan pameran seni tidak jadi pengecualian dalam hal ini.
Menurut kurator edukasi dan program publik Museum MACAN, Nin Djani, dalam enam tahun terakhir, pihaknya melihat bahwa kegiatan berkunjung ke pameran dan museum seni sudah mulai jadi aktivitas pilihan bagi siswa, edukator, dan keluarga.
Baca Juga
"Hal ini dapat ditinjau dari tingginya antusiasme audiens dalam program-program pameran dan program publik yang kami selenggarakan," kata dia melalui pesan pada Liputan6.com, Selasa, 21 November 2023. "Menurut kami, adanya media sosial dan tumbuhnya ruang-ruang penyelenggaraan kegiatan seni, baik ruang formal seperti museum dan galeri maupun ruang-ruang alternatif, membantu mendekatkan seni, juga perupa pada publik yang lebih luas."
Advertisement
Ini patut diapresiasi, namun seberapa besar peningkatan minat dan sejauh mana dampaknya dalam skala nasional, "kami rasa masih perlu ditinjau lebih lanjut untuk mendapat data lebih komprehensif," menurutnya.
Sementara itu, koordinator publikasi Biennale Jogja 17, Juwita Wardah, berpendapat, perkembangan minat audiens pada pameran seni cenderung memberi catatan positif. "Kami merasa, saat jadi penyelenggara pameran seni, kami harus punya daya tawar," katanya melalui pesan suara, Kamis, 23 November 2023.
Juwita menyambung, "Misalnya, (kami) sudah tahu posisi pameran seni secara general bagi masyarakat umum itu sebagai hiburan dan hal-hal bersifat menyenangkan. Dengan minat yang semakin tinggi, ini akan membuka lahan-lahan ekspresi para seniman mengeluarkan karya."
"Melalui Biennale Jogja, kami tidak hanya menghadirkan karya, tapi juga gagasan dalam karya. Harapannya, dari yang semula hanya hiburan, (pengunjung) jadi lebih punya hal-hal yang bisa didapatkan. Jadi, senangnya dapat, eye-pleasing dari karya dapat, tapi tidak pernah lepas dari bagaimana ide dan gagasan lahir," paparnya.
Selera Audiens Masa Kini
Juwita melanjutkan, "Pada akhirnya ini bukan lagi melihat dampak positif negatif minat pameran, tapi lebih bagaimana melihat hal tersebut sebagai aktivitas yang normal. Pameran seni dihadirkan juga secara normal sebagai aktivitas umum. Dua arah jadinya, tidak hanya minat, namun posisi pameran seni di ranah umum."
Ketika berbicara selera audiens, mereka mengaku tidak pernah bisa melepaskannya dari fenomena fotografi. "Publik mencari objek yang indah untuk foto, dan pameran seni termasuk di dalamnya," sebutnya.
"Melihat motifnya, audiens suka karya yang bisa direspons, ukuran tidak terlalu kecil, dan berwarna nyentrik," kata Juwita. "Biennale tidak langsung beradaptasi bahwa pameran harus seperti itu, tapi menyisipkan (faktor) kesukaan audiens di pameran kami, tanpa melepaskan idealisme untuk terus memberi kebaruan, baik wacana maupun visual."
Pihaknya menegaskan bahwa selera audiens penting, tapi tidak jadi pertimbangan tunggal. "Kami meresponsnya dengan 'berdiri di tengah.' Jadi, mempertahankan apa yang common, tapi tidak menghilangkan autentisitas Biennale sepenuhnya," ujar dia.
Sementara itu, Djani mengatakan, Museum MACAN melihat pameran seni sekarang sangat beragam, mulai dari segi tema, medium, seniman, hingga ruang pamer, dan setiap pameran memiliki audiensnya masing-masing. "Kami rasa keberagaman ini sangat baik untuk memperluas wawasan audiens," imbuhnya.
"Sebagai institusi berupa museum, Museum MACAN berupaya menyuguhkan pameran seni berskala besar dari para perupa Indonesia dan internasional. Pameran-pameran ini dapat berupa pameran survei yang berfokus pada perjalanan karier artistik seorang perupa."
Misalnya, pameran Agus Suwage: The Theater of Me (2022) dan Isabel and Alfredo Aquilizan: Somewhere, Elsewhere, Nowhere (2023).
Advertisement
Bentuk Edukasi dan Apresiasi Seni
Selain itu, ada juga pameran keliling yang digarap melalui kerja sama dengan institusi internasional, seperti Chiharu Shiota: The Soul Trembles (2022–2023), atau pameran kelompok berskala besar, seperti Voice Against Reason yang sedang berlangsung saat ini.
"Pameran-pameran yang diselenggarakan Museum MACAN berupaya menampilkan perupa dan gagasan kuratorial unik yang belum ditampilkan secara luas di Indonesia," sebut dia.
Menurutnya, ada banyak bentuk edukasi dan apresiasi seni. "Berfoto di depan karya atau memotret karya adalah salah satunya," kata Djani.
"Yang paling penting adalah pengunjung memahami dan mematuhi etika foto, yaitu dengan tidak menggunakan flash, menghormati pengunjung lain saat memotret karya dengan tidak berlama-lama di area karya untuk berfoto atau menghalangi pengunjung, juga tidak memotret karya yang secara terang-terangan dilarang untuk didokumentasikan."
Setelah enam tahun buka, Museum MACAN masih mengusung misi memperkenalkan seni pada publik dan memberi akses edukasi seni pada masyarakat luas. "Kami mendorong pengunjung membuka hati dan pikiran, terinspirasi, tergelitik, dan bertanya ketika melihat karya yang dipamerkan," kata dia.
"Dalam setiap pameran, kami memproduksi label, publikasi, panduan pameran dalam bentuk teks dan audio, serta panduan untuk anak agar membantu pengunjung memahami karya."
"Harapan kami, pengunjung museum tidak hanya terpapar dengan perkembangan seni rupa terbaru, tapi juga terpantik isu-isu yang diangkat perupa melalui karya mereka sehingga pengunjung bisa jadi lebih peka dan lebih kritis terhadap sekitar," asanya.
Apakah Pameran Seni Harus Estetis?
Juwita menyebut, karena pihaknya sudah tahu pengunjung suka dengan visual dan permintaan fotografi yang tinggi, "akhirnya mau-enggak mau kami hidup dengan perspektif itu." "Tidak apa-apa juga," katanya. "Kami kan tidak bisa memaksa semua orang hadir ke pameran untuk menerima hanya gagasan."
"Sebagai penyelenggara (pameran seni), kami berharap mereka yang hadir juga memberi feedback pada seniman. Akhirnya perspektif melihat mereka sebagai audiens yang penting itu harus. Karena orang yang datang untuk menerima gagasan (karya seni) bisa saja hadir karena melihat foto yang dibagikan pengunjung lain," bebernya.
Dalam penyelenggaraan Biennale Jogja tahun ini, yang mana Sabtu (25/11/2023) merupakan hari terakhir, pihaknya tidak melepas gagasan untuk memberi ruang pada negara ketiga yang pernah mengecap kolonisasi, dan bagaimana itu berdampak pada kultur dan keseharian masyarakatnya.
"Di titik ini, kami mau melihat hal itu. Membuka jerat kolonisasi pada negara dunia ketiga dengan menyisir isu di masyarakat, seperti feminisme, kapitalisme, dan industrialisasi. Pesan yang diharapkan semoga sampai melalui visual yang semula dianggap lucu, tapi sebenarnya bermakna besar."
"Harapannya, ketika audiens sudah suka (dengan pameran seni), isu yang mau diangkat melalui karya itu tersampaikan," sebutnya.
Pada akhirnya, masing-masing pameran seni punya tolak ukur dalam melihat estetika. Dalam konteks Biennale Jogja, mereka ingin menyesuaikan itu dengan pameran. "Jadi, media itu akan menciptakan estetika sendiri ketika sudah dimasukkan isu-isunya," kata dia.
"Apakah harus (estetis), bukan perkara itu, tapi mengembalikan pada media yang dipakai dan kesesuaian dengan isu. Estetika akhirnya akan jadi pendapat subjektif-objektif di masyarakat," tandasnya.
Advertisement