Liputan6.com, Jakarta - Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terus secara aktif menyatakan dukungan pada warga Gaza yang tengah menanggung dampak pengeboman tidak pandang bulu oleh militer Israel. Yang terbaru, desakan serupa diungkap di debat terbuka Dewan Keamanan PBB pada Selasa, 23 Januari 2024.
Sebagai gestur keras, Menlu Retno bersama sejumlah diplomat negara lain bahkan walk out saat Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Gilad Erdan, angkat mikrofon menyampaikan pidatonya. Di kesempatan itu, melansir situs web PBB, Jumat (26/1/2024), Erdan mengingat kembali penarikan Israel dari Gaza 18 tahun lalu.
Ia mengatakan bahwa sejak Hamas terpilih, mereka telah mengubah daerah kantong tersebut jadi "mesin perang." Beberapa pihak menganjurkan gencatan senjata permanen, yang akan membuat Hamas tetap berkuasa, menurutnya. Hal ini akan menempatkan Israel pada risiko eksistensial karena Hamas berupaya memusnahkan Israel, tambahnya.
Advertisement
Namun, jika Hamas menyerahkan mereka yang bertanggung jawab atas serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel dan mengembalikan para sandera, perang akan segera berakhir, katanya. Erdan menambahkan, "Kami akan mempertahankan masa depan kami."
Limpahan konflik sudah direncanakan, lanjutnya, sambil mengacungkan foto senjata yang disita sambil menekankan bahwa tanpa Iran, Houthi tidak akan memiliki senjata untuk menargetkan kapal-kapal di Laut Merah. "Memang benar setiap negara di kawasan ini telah terdampak (gerakan militer) Iran yang tidak akan berhenti menyebarkan hegemoni," tambahnya.
Ia juga mencatat bahwa Albania pun terkena serangan siber Iran. "Jika Dewan terus memberikan bantuan ke Gaza tanpa mempertimbangkan ancaman Iran, masa depan akan sangat suram," Dubes Israel itu menyimpulkan.
Pertanyakan Keseriusan Dewan Keamanan PBB
Di sisi lain, Menlu Retno mempertanyakan keseriusan Dewan Keamanan PBB menjalankan berbagai resolusinya terkait Palestina, yang disebutnya "kerap gagal dilaksanakan," rangkum Tim Global Liputan6.com per 24 Januari 2024.
VOA Indonesia melaporkan, senada dengan Indonesia, Sekjen PBB Antonio Guterres juga menyebut penolakan Israel terhadap pendirian negara Palestina pasca-perang sebagai hal yang "tidak dapat diterima." "Pendudukan Israel harus berakhir," ujar Guterres.
Ia melanjutkan, "Penolakan ini dan penyangkalan terhadap hak rakyat Palestina untuk mendirikan sebuah negara akan memperpanjang konflik yang telah jadi ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan global."
Menteri Luar Negeri Pengamat Negara Palestina, Riyad Al Maliki, mengatakan perang yang sedang berlangsung adalah "upaya terencana untuk menimbulkan penderitaan maksimal pada penduduk Palestina," dengan menggabungkan tiga faktor.
Pertama, kampanye pengeboman yang paling biadab dan tanpa pandang bulu di era pasca-Perang Dunia Kedua, lalu kehancuran besar-besaran, dan terakhir, pengepungan kejam yang merampas kebutuhan penting penduduk untuk kelangsungan hidupnya.
Advertisement
Dampak Perang di Gaza
Perang di Gaza, kata Al Maliki, telah menyebabkan penyebaran kelaparan, dehidrasi, penyakit, kemelaratan, dan keputusasaan. Belum lagi berbicara tentang perpindahan paksa dengan skala dan kecepatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern.
"Tidak ada rumah, rumah sakit, sekolah, masjid, gereja, atau tempat perlindungan UNRWA yang aman dari pemboman Israel, bom seberat 2.000 pon dijatuhkan tanpa mempedulikan nyawa warga sipil, lebih dari 25 ribu di antaranya telah terbunuh, termasuk lebih dari 11 ribu anak-anak," bebernya.
Al Maliki juga berkata, lebih dari 63 ribu orang terluka, ribuan orang cacat dan cacat permanen, serta lebih dari tujuh ribu orang terkubur di bawah reruntuhan. Dunia telah menyerukan gencatan senjata, katanya.
"Sudah waktunya untuk akuntabilitas dan mengadakan konferensi perdamaian internasional dengan tujuan yang jelas: menegakkan hukum internasional dan melaksanakan resolusi PBB melalui tindakan tegas oleh semua negara, organisasi, dan PBB," katanya.
Ini juga saatnya pengakuan dan penerimaan Negara Palestina di PBB, ujarnya.
Hanya Ada 2 Pilihan
Al Maliki menyatakan, "Kami tidak diberikan hak veto atas masuknya Israel ke PBB 75 tahun lalu. Israel tidak mempunyai hak veto atas pengakuan Negara Palestina 75 tahun kemudian. Ia menambahkan bahwa konsensus internasional mengenai dua negara di tanah ini harus ditegakkan dalam perkataan dan perbuatan.
"Kita kehabisan waktu," katanya, seraya menambahkan bahwa tidak ada lagi alasan untuk penundaan dan hambatan yang tiada henti. "Ada dua pilihan: meluasnya pengeboman atau gencatan senjata. Alternatif terhadap kebebasan, keadilan, dan perdamaian adalah apa yang terjadi saat ini."
"Kita harus memastikan hal ini berhenti, sekarang juga, dan kita harus memastikan hal ini tidak akan terjadi lagi," tandasnya.
Israel terus mengebom Gaza ketika PBB memperingatkan bahwa wilayah kantong yang terkepung itu sudah "tidak layak huni" pada awal 2024. Melansir New Arab, 9 Januari 2024, pertempuran tersebut telah meningkatkan ketegangan di seluruh kawasan, dan beluma ada tanda-tanda mereda.
Dengan sebagian besar bangunan wilayah tersebut jadi puing-puing, kepala kemanusiaan PBB Martin Griffiths mengatakan "Gaza jadi tidak bisa dihuni." Belum lagi bicara minimnya barang kebutuhan pokok, risiko kelaparan, dan menyebarnya ragam penyakit karena kualitas hidup yang jauh dari kata layak.
Advertisement