Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan lebih tegas diambil otoritas Kyoto untuk mengatasi sikap wisatawan yang tak sopan dan berperilaku buruk terhadap geisha dan maiko. Mereka dilarang memasuki gang-gang privat di distrik geisha yang terkenal di Kyoto, kata perwakilan setempat, pada Kamis, 7 Maret 2024.
Mengutip Japan Today, Jumat, 8 Maret 2024, warga Kyoto telah lama mengeluhkan perilaku wisatawan. Mereka mengaku frustasi menghadapi perilaku buruk wisatawan, terutama di Distrik Gion, yang merupakan rumah bagi kedai teh tempat geiko (sebutan bagi geisha setempat) dan maiko muda yang masih magang.
Pada Desember 2023, dewan distrik Gion yang anggotanya warga setempat, pernah mendesak pemerintah Kota Kyoto untuk mengatasi masalah ini dengan mengatakan bahwa lingkungan mereka 'bukanlah taman hiburan'.
Advertisement
Salah satu anggota dewan distrik, sebelumnya mengeluhkan akibat ulah wisatawan yang tak sopan, kimono maiko robek. Seorang maiko mengatakan kepada media Jepang tentang contoh kimono maiko yang robek dan seorang maiko lainnya lagi terdapat puntung rokok di kerah kimononya.
Dengan masalah yang masih berlangsung seperti ini, dewan distrik memutuskan untuk menindaklanjuti hal ini. “Kami akan meminta wisatawan untuk tidak memasuki gang-gang sempit pada atau setelah bulan April," kata anggota Eksekutif Dewan, Isokazu Ota, kepada AFP.
"Kami tidak ingin melakukan ini, tapi kami putus asa," katanya, seraya menambahkan bahwa mereka akan memasang tanda-tanda untuk melarang wisatawan berperilaku buruk pada geisha.
Fenomena Paparazi Geisha
Jalan Hanamikoji adalah jalan utama di Gion, yang merupakan jalan umum dan akan tetap dibuka untuk wisatawan. Selain jalan umum, dewan distrik akan menutup gang-gang kecil tempat geisha biasanya keluar.
Isokazu Ota mengatakan sekelompok wisatawan kadang-kadang "bertindak seperti paparazzi" ketika geisha muncul dari jalan sempit yang lebarnya hanya satu atau dua meter. Wisatawan yang memotret geisha sembarangan memunculkan fenomena 'geisha paparazzi'.
Otoritas Kyoto bukan tak mencari cara menekan dampak overtourism itu. Mereka telah melarang wisatawan mengambil foto geisha dan maiko sembarangan sejak 2015.
Pemerintah Kyoto membuat pamflet dan selebaran kertas berisi piktogram untuk menggambarkan 'aktivitas yang mengganggu'. Simbol-simbol tersebut meliputi membuang sampah sembarangan, menggunakan tongkat selfie, merokok di area terlarang, dan mengambil foto geisha dan maiko. Namun, selebaran itu rupanya tetap diabaikan sebagian wisatawan.
Advertisement
Geisha Bukan Pelacur
Titik puncaknya pada 2019, yakni masuknya laporan tentang wisatawan yang berperilaku buruk menarik-narik kimono wanita, mengejar mereka dengan kamera dan smartphone, serta mencabut hiasan rambut mereka (kanzashi) dan bahkan melempari mereka dengan puntung rokok.
Pada tahun yang sama, Gion mulai memasang tanda dan pemberitahuan yang melarang aktivitas fotografi dan memperingatkan bahwa pelanggar akan dikenakan denda. Hingga saat ini, papan larangan tersebut masih ada. Pengumuman dalam tiga bahasa tersebut menjelaskan bahwa wisatawan tidak boleh mengambil foto geisha tanpa izin, dan pelanggar dapat dikenakan denda hingga 10ribu yen. (sekitar Rp1 juta).
Namun, Sekretaris Perwakilan Dewan Distrik Sisi Selatan Kota Gion, Isokazu Ota, mengatakan kepada CNN bahwa denda tersebut tidak berjalan efektif. Tetap saja banyak wisatawan yang melanggar.
Terlepas dari kesalahpahaman yang sudah menyebar di muka umum, geisha seringkali dianggap pelacur karena melayani dan menghibur orang-orang, terutama pria. Melansir Breaking Asia, kehadiran geisha sebenarnya sangat membantu melestarikan tradisi Jepang yang sudah berusia 300 tahun itu.
Asal Mula Kesalahpahaman soal Geisha
Bagi dunia luar, geisha, dengan penampilan misterius dan pekerjaan mereka dalam menghibur orang-orang berkuasa (kebanyakan laki-laki), sering kali menimbulkan gunjingan 'apakah geisha adalah pelacur?' atau 'apakah mereka berhubungan seks demi bayaran?'.
Awal mula muncul stereotip geisha adalah pelacur mungkin berasal dari fakta bahwa ada ‘pelacur’ di Jepang yang berpakaian seperti geisha. Mereka berpenampilan seperti geisha mungkin untuk lebih cepat menarik perhatian pengunjung pria, tetapi tidak sadar bahwa mereka telah mengubah persepsi orang terhadap geisha dan seni hiburan yang sudah lama itu.
Berbicara mengenai geisha pelacur, pada awalnya mereka bahkan tidak diizinkan untuk melakukan kontak dengan tamu yang mereka layani. Pada zaman Edo kuno ketika seni ini muncul, geisha bahkan tidak diperbolehkan memiliki izin untuk menjadi pelacur resmi.
Kenyataannya, geisha itu bukan pelacur. Menjadi geisha berarti memilih cara hidup tradisional yang tidak banyak dipilih saat ini. Hal itu sangat mengagumkan, karena memerlukan banyak disiplin dan pelatihan untuk menjadi geisha sejati.
Geisha yang sedang berlatih disebut maiko. Sekilas sulit membedakan antara mana yang sudah profesional dan peserta magang. Tapi, maiko dapat dibedakan dari geisha lengkap (geiko) berdasarkan alas kaki mereka (mereka memakai sepatu platform tinggi yang disebut okobo) dan mereka sering memiliki hiasan bunga di rambut mereka.
Advertisement