Liputan6.com, Jakarta - Warga Palestina di Gaza mengatakan Ramadhan tahun ini akan jadi yang terburuk sepanjang masa. Banyak dari mereka yang khawatir tidak akan bisa bertahan di bulan suci karena serangan bertubi-tubi militer Israel masih berlanjut, sementara yang lain bertanya-tanya bagaimana mereka bisa makan makanan berbuka puasa di tengah kondisi krisis.
Jalanan yang dulunya penuh warna kini hanya dipenuhi puing. Lebih dari separuh dari sekitar 400 ribu bangunan di jalur tersebut terkena bom menurut PBB, yang menghasilkan debu dan asap berwarna abu-abu dan putih. Suara ledakan dan artileri terdengar di udara sekarang menggantikan kebisingan pasar yang ramai saat orang-orang membeli bahan menyambut Ramadan.
Sekitar 31 ribu orang telah terbunuh di Gaza sejak Israel melancarkan serangannya di daerah kantong tersebut sejak 7 Oktober 2023. Beberapa warga Palestina berpegang teguh pada harapan bahwa gencatan senjata pada Ramadan masih mungkin terjadi, meski negosiasinya terhenti.
Advertisement
Musa al-Shami akan menghabiskan bulan suci Ramadhan bersama kedua putranya di salah satu sekolah PBB di kamp Jabalia, sebelah utara Jalur Gaza. Istri dan lima anak lainnya mengungsi di wilayah selatan daerah kantong tersebut. "Kami tidak bisa bersama-sama pada Ramadan tahun ini, masing-masing berada di tempat yang berbeda," kata Al Shami pada The National, dikutip Selasa, 12 Maret 2024.
Rumahnya di kota Sheikh Zayed, di Gaza utara, hancur. "Kami akan merindukan pertemuan keluarga dan suasana indah yang biasa kami alami di tahun-tahun sebelumnya," tambah pria berusia 48 tahun tersebut. Ia mengatakan bahwa mereka biasa mendekorasi rumah dengan penuh kasih pada tahun-tahun sebelumnya.
Keluarga yang Terpisah karena Perang
Keluarga al-Shami biasanya juga akan membeli lentera khusus untuk putri dan putranya yang masih kecil, yang biasa memegang dan bermain dengan lentera tersebut dengan gembira menjelang Ramadan. Pada awal perang, ia memutuskan mengirim istri dan anak-anak mereka ke selatan bersama kerabatnya.
Sementara itu, putra sulungnya tetap tinggal bersamanya karena mereka takut tentara Israel akan menangkap mereka di pos pemeriksaan. Ia mengira mereka akan kembali dalam waktu satu bulan, tidak pernah membayangkan keluarganya akan tinggal terpisah selama ini dan Ramadhan datang saat perang masih berkecamuk.
"Setiap kali saya mengingat momen kebersamaan keluarga kami di bulan Ramadhan dan bagaimana kebiasaan-kebiasaan akan absen tahun ini, hal itu membuat saya tercekik dan saya berharap apa yang kami alami hanyalah mimpi dan akan berakhir," sebut dia.
Senada dengan itu, Islam Ibrahim (38) tidak bisa menahan tangis setiap kali ia mengingat Ramadan tahun ini akan berlangsung di tengah perang. Ia menolak meninggalkan Kota Gaza yang hancur menuju wilayah selatan karena ingin tinggal bersama ayahnya, yang bersikeras tidak meninggalkan rumah mereka.
Advertisement
Tidak Ada Kunjungan Keluarga Seperti Biasa
Ia khawatir kejadian pada 1948 akan terulang kembali, ketika sekitar 750 ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dan akhirnya diusir dari tanah mereka oleh pasukan Israel. "Ramadhan adalah bulan suci, dan kami menyukainya, namun kami juga menyukai pertemuan dan kunjungan keluarga," kata perempuan berusia 38 tahun itu pada The National.
Ibrahim menyambung, ia biasanya akan mengunjungi rumah pamannya, tapi sekarang tidak bisa. Rumah pamannya entah dihancurkan atau dibakar.
Kedua pamannya, kata dia, tewas dalam serangan besar-besaran Israel di daerah kantong tersebut. Adik perempuan satu-satunya yang sudah menikah tidak akan datang bergabung dengan mereka untuk buka puasa di hari pertama, seperti biasa, karena ia berada di selatan Jalur Gaza.
Teman-teman dekat Ibrahim juga tidak akan datang berkunjung karena mereka telah meninggalkan Gaza. "Saya merasa seperti orang asing di kota saya," akunya. "Orang-orang di sekitar saya bukanlah orang-orang yang saya kenal dulu. Perang telah mengubah kita dari dalam, dan jalan-jalan yang biasa saya lalui tidak lagi sama karena hancur."
"Ini akan jadi Ramadhan tersulit yang akan kami alami, karena kami hidup di tengah kelaparan tanpa makanan atau minuman," lanjut Ibrahim.
Harapan Gencatan Senjata
Umm Khaleel Othman, pengungsi asal Kota Gaza di Rafah, menceritakan bagaimana ia biasa mendekorasi rumahnya, yang kini terbakar, di bulan Ramadhan. "Saya biasa mengumpulkan seluruh putra, putri, dan keluarga mereka untuk berbuka puasa pada hari pertama di rumah saya, namun Ramadhan kali ini sangat sulit," kata dia.
"Hal ini telah mengubah kebiasaan kami dan membuat kami kehilangan hak-hak sederhana," ujarnya. Dulu, Ummu Khaleel mendekorasi rumahnya dengan bantuan cucunya, namun kini tidak ada dekorasi atau tradisi Ramadhan lain yang mereka jalankan.
Kedua cucunya dievakuasi dari Jalur Gaza, sebuah perjalanan yang sulit, berisiko, dan mahal bagi mereka yang bisa keluar. "Kedua putra saya meninggalkan Gaza bersama keluarga mereka, dan satu anak perempuan saya masih di Gaza. Yang lainnya bersama saya di sini, di tenda yang sama. Hati saya tidak sanggup menanggung kesedihan ini," aku dia.
"Saya khawatir dengan putri saya dan apa yang akan ia makan. Ia sekarang hanya makan nasi, padahal ini bulan Ramadhan. Bagaimana ia bisa terus makan nasi setiap hari?" ia menambahkan. Umm Khaleel masih berharap gencatan senjata akan berlaku, sehingga ia bisa kembali ke utara dan bertemu kembali dengan putrinya, setelah lebih dari 100 hari.
Advertisement