Liputan6.com, Jakarta -- Lusinan konten seputar Lebaran membanjiri media sosial pada Rabu (10/4/2024). Selebrasi anual ini tidak hanya soal keriaan, tapi juga indahnya toleransi dalam berbagai cara. Salah satunya pada Lebaran 2024, potret halaman Gereja Kayutangan di Malang, Jawa Timur dijadikan tempat salat Idul Fitri sukses menarik perhatian.
Komentar-komentar pujian dan semangat toleransi pun tidak ragu dibubuhkan warganet, dengan tidak sedikit dari mereka berbagi momen toleransi versi masing-masing. Narasinya kian riuh karena Gereja Kayutangan merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kota Bunga.
Mengutip laman HKY Kayutangan, Rabu (10/4/2024), pembangunan tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Gereja Paroki Hati Kudus Yesus ini diprakarsai sejak 4 Juni 1897. Gereja bergaya Neo Gothic tertua di Malang ini memiliki panjang 41 meter, lebar 11,4 meter, dan tinggi ruangan 15,2 meter.
Advertisement
Pembangunan rumah ibadah yang menelan biaya 30,972 gulden ini melibatkan beberapa tokoh, yakni Ir. Marius J. Hulsuit sebagai perancang; C. Vis, Van’t Pad dan Bourguignon sebagai pemborong; dan Moulijn sebagai pengawas pembangunan. Peletakan batu pertama oleh Pater G.D.A. Jonckbloet, S.J. pada 11 Mei 1905 menandakan dimulainya pembangunan gereja yang memakan waktu sekitar tujuh bulan.
Penempatan salib di gereja di Malang itu dilakukan pada 30 Desember 1905, sementara penempatan patung Hati Kudus Yesus yang didatangkan dari Belanda dilakukan tahun 1906. Kedua menara dengan tinggi 33 meter rancangan Ir. Albert Grunberg mulai dibuat pada 3 Oktober 1930, dan diberkati Mgr. Clemens Van der Pas pada 14 Desember 1930.Â
Â
Cagar Budaya Kota Malang
Lonceng gereja, yang sudah ada sebelum gereja didirikan, tercatat memiliki berat 303 kg, diameter 78 cm dengan nada A. Lonceng kedua memiliki berat 185 kg, diameter 65 cm dengan nada E. Kedua lonceng ini dibuat sebuah perusahaan peleburan logam yang sangat terkenal, yakni Petit en Fritsen di Aarle-Rixtel, Belanda.
Sayangnya, terjadi kecelakaan pesawat yang menabrak salib menara kiri pada 27 November 1967. Beberapa saat kemudian, pesawat tersebut jatuh di sekitar daerah Buring, menewaskan tiga penumpang.
Sekitar lima tahun lalu, pemerintah Kota Malang menetapkan Gereja Hati Kudus Yesus sebagai salah satu benda cagar budaya di antara 32 benda lain. Keberadaannya berperan penting dalam perkembangan kota Malang. "Gereja ini jadi saksi eksistensi umat Katolik sejak masa kolonial Belanda di Kota Malang," kata Agung H Buana, Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, dikutip dari merdeka.com, Rabu (10/4/2024).Â
Kendati berarsitektur gothic, denah bangunan gereja berbentuk kotak, bukan salib, seperti kebanyakan gereja gothic. Selain itu, tidak ditemukan adanya ruang double aisle dan sejenisnya.
Advertisement
Bangunan Bersejarah
Hingga kini, Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan masih kokoh berdiri jadi ikon kota Malang. Wisatawan tidak pernah luput menyaksikan dan mengunjungi gereja menterang itu. Wali Kota Malang saat itu, Sutiaji, menjanjikan memberi insentif bagi bangunan Cagar Budaya. Ini termasuk dalam bentuk dana pembiayaan perawatan atau keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pemberian insentif diklaim sebagai upaya menjaga bangunan bersejarah yang masih tersisa. Karena sudah banyak bangunan bersejarah yang hilang dibongkar dan beralih fungsi. "Kalau kita tidak perhatikan, pelan tapi pasti ini akan punah," tegasnya.
Kembali ke ulasan terkini, selain menonjolkan toleransi, Lebaran juga telah didorong dirayakan dengan seminimal mungkin dampak lingkungan. Mengutip laporan Antara yang dirangkum kanal News Liputan6.com, 7 April 2024, pakar lingkungan Latifah Mirzatika berharap masyarakat bisa menerapkan konsep Idul Fitri yang "hijau."
Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember tersebut, salah satu yang bisa dilakukan adalah tidak menggunakan alas kertas koran saat salat Idulfitri. Menurut dia, penggunaan koran punya potensi dampak yang cukup besar terhadap lingkungan dan kesehatan, terutama terkait peningkatan jumlah sampah dan polusi udara.
Merayakan Idulfitri dengan Konsep Hijau
"Sebagian besar masyarakat masih menggunakan koran saat salat id, sehingga dampaknya lapangan atau tempat-tempat shalat dipenuhi koran bekas yang berserakan," ungkap Latifah. Ia menjelaskan, koran merupakan produk yang telah melalui berbagai proses produksi yang melibatkan bahan kimia.
Saat dibakar, lanjutnya, koran melepaskan bahan kimia beracun ke udara, termasuk dioksin yang merupakan polutan organik persisten. "Maka itu, saat dibakar koran akan melepaskan bahan kimia beracun ke udara. Zat-zat beracun seperti dioksin merupakan salah satu contoh yang sering dilepaskan saat pembakaran koran," katanya.
Dioksin adalah kontaminan kimia beracun yang sangat berbahaya bagi ekosistem dan kesehatan manusia. Penumpukan dioksin dalam jaringan lemak hewan dan manusia dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk peningkatan risiko kanker. "Jika tubuh manusia terpapar dioksin secara terus-menerus, (kondisi) itu akan berpotensi menyebabkan kanker," ucap Latifah.
"Penggunaan alas, seperti tikar gulung, karpet, matras, atau alas lain yang lebih ramah lingkungan dapat berkontribusi menjaga lingkungan dan kesehatan bersama," tandasnya.
Advertisement