Liputan6.com, Jakarta - Publik, terutama Swifties, tidak bisa berhenti membicarakan rilisan terbaru Taylor Swift, "The Tortured Poets Department." Tidak hanya secara musik, evolusi albumnya terlihat dari pemilihan mode. Ia sebelumnya mendapat inspirasi fesyen dari cerita dongeng untuk Speak Now (2010), ibu rumah tangga tahun 1950-an untuk Red (2012), dan peri kayu untuk Folklore (2020).
"Pasti ada gaya 'akademisi sastra,'" kata Sarah Chapelle, otak di balik Instagram dan blog Taylor Swift Style yang populer, terkait visual di album baru Swift, dikutip dari Page Six, Sabtu (20/4/2024). "Meski kami tidak memiliki visual sebanyak di masa lalu, kami menceritakan kisah yang sangat kohesif, yang jelas menunjukkan bahwa kami terinspirasi penyair perempuan dari masa lalu."
Baca Juga
Pemenang 14 piala Grammy ini mulai lempar kode tentang arah era musik berikutnya pada akhir tahun lalu. Salah satunya, penyanyi berusia 34 tahun ini sempat tampil dalam serangkaian penampilan preppy street style menggunakan mantel kotak-kotak, rok lipit, sepatu pantofel, dan sweater kasmir yang seolah diambil dari lemari busana Sylvia Plath.
Advertisement
Chapelle berkata, "Taylor, menurut saya, adalah seseorang yang menyukai sejarah. Ia jelas mereferensikan terinspirasi karya sastra lain dari masa lalu, jadi saya merasa ada dasar di sini. Saat memasuki dunia album yang, menurut saya, sedikit lebih 'berat,' ia menyarankan para penggemar membuka kamus mereka!"
Sylvia Plath dinilai punya banyak kesamaan dengan Swift daripada prosa dan motif kotak-kotak. Mendiang penulis Bell Jar ini juga terkenal menyukai lipstik merah, dan suaminya, Ted Hughes, pernah mengenangnya dalam sebuah puisi, “Merah adalah warnamu… Bibirmu berwarna merah tua.”
Papan Mood Gaya Taylor Swift
Plath juga berbagi selera dengan Taylor Swift untuk bereksperimen dari masa ke masa. Ia menulis di jurnalnya, "Mengapa saya tidak bisa mencoba kehidupan yang berbeda, seperti gaun, untuk melihat mana yang paling cocok dan lebih cocok?"
Namun, ia bukan satu-satunya penulis yang terpampang di papan mood gaya Swift, akhir-akhir ini. Bukan suatu kebetulan bahwa untuk mengumumkan album barunya di Grammy pada Februari 2024, kekasih Travis Kelce ini memilih mengenakan gaun korset Schiaparelli Haute Couture dengan warna yang identik dengan Emily Dickinson.
Penulis asal Amherst ini dikenal dengan pakaian yang "seluruhnya berwarna putih." Satu-satunya pakaiannya yang masih ada adalah gaun berwarna gading dengan hiasan renda dan kancing mutiara, menguatkan anggapan tersebut.
Swift mengenakan ansambel putih serupa di sampul salah satu versi vinil "The Tortured Poets Department," dengan pose termenung di tebing tepi pantai dalam foto hitam-putih yang sederhana. Mengingat ia pernah mendedikasikan seluruh puisi untuk jam yang berhenti, Dickinson pasti juga akan mengapresiasi pilihan perhiasan Swift untuk Grammy.
Advertisement
Kode dari Taylor Swift
Saat itu, Taylor Swift memakai kalung Lorraine Schwartz yang dibuat dari jam tangan antik yang disetel ke tengah malam, sebuah anggukan pada judul album studionya tahun 2022. "Ia mengenakan aksesori vintage ini untuk menunjukkan bahwa era sebelumnya akan segera berakhir," Chapelle berhipotesis.
Namun, aksesori bermaterial berlian yang memesona itu bukanlah satu-satunya aksesori horologis yang dimiliki Swift baru-baru ini. Ia juga terlihat mengenakan kalung T-bar Tilly Sveaas emas mirip rantai jam tangan klasik, sebuah perhiasan yang "terinspirasi masa lalu dan diciptakan untuk masa kini," menurut penjual perhiasan tersebut pada Page Six.
Secara tradisional dipakai untuk mengamankan jam saku pemakainya, rantai seperti itu sangat populer di era Victoria. Potret pasangan Elizabeth Barrett Browning dan suaminya Robert Browning menunjukkan rantai serupa di rompi mereka.
Swift bahkan menjadikan korset sebagai ciri khas busananya pada bulan-bulan menjelang peluncuran album terbarunya. Ia mengenakan atasan bustier bertulang di mana-mana, mulai dari jalanan NYC hingga stadion sepak bola.
Korset Modern
Sementara penyair perempuan abad lalu, seperti Browning dan Dickinson, diharuskan mengenakan gaya tradisional bertali ketat agar sesuai standar kecantikan berpinggang tawon pada zaman mereka, keputusan Taylor Swift mengenakan korset versi modern membuat pakaian kontroversial tersebut keluar dari konteksnya.
"Korset dulunya adalah sesuatu yang hanya dikenakan di bawah pakaian. Itu adalah hal yang intim,” kata Chapelle. "Karya Taylor tidak ada artinya jika tidak intim, dan ia menjalani kariernya dengan sepenuh hati. Ini terasa seperti contoh yang lebih sensual dan feminin dalam mengenakan sesuatu yang dimaksudkan untuk terlihat di dalam dan di luar, menunjukkan kerentanan semacam itu.”
Preferensi mode di album ini juga dikaitkan dengan lirik ingin hidup di tahun 1830 "tapi tanpa rasisme" dari lagu I Hate It Here yang menuai pro kontra. Para penggemar dengan cepat menyoroti bahwa perbudakan masih dilegalkan di Amerika pada 1830-an.
"Tidak mungkin Taylor Swift mengatakan ia ingin hidup di era di mana perbudakan tradisional jadi hukum negara dan mengatakan 'tapi tanpa rasis,' membuuat itu seolah jadi agresi mikro biasa atau semacamnya. Inikah yang kita lakukan??" tweet salah satu pengguna.
Advertisement