Liputan6.com, Jakarta - Mengenang 20 tahun tsunami Aceh, seorang ibu berbagi kisah pilu, menceritakan bagaimana ia kehilangan suami dan dua anaknya dalam bencana mahadahsyat yang menyisakan duka tiada bertepi itu. Dua dekade berlalu, ia masih tidak tahu lokasi makam keluarga terkasihnya.
"Sebenarnya sesak dada ini untuk bercerita. Al-Fatihah untuk anak-anak dan suamiku," tulisnya dalam video yang diunggah ke akun TikTok @kemalaaceh, Selasa, 24 Desember 2024. Di klip yang sudah mencatat lebih dari 800 ribu penayangan saat artikel ini ditulis, ibu mengaku sebagai penyintas tsunami Aceh itu berbagi "cerita singkat" dari bencana nahas tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Ia bercerita, "26 Desember 2004, pagi hari Minggu, ada gempa yang sangat dahsyat. Semua bergoyang, rumah itu terasa terangkat-angkat waktu gempa. Kami berlarian ke luar rumah. Duduklah kami di depan kedai. Kebetulan saya ada buka kedai. Rumah saya di pinggir jalan lintas."
Advertisement
"Tidak lama kemudian, ada suara burung mutar-mutar di atas rumah saya. Agak lama mereka mutar-mutarnya, sambil berbunyi, seperti menangis. Tidak lama kemudian, ada rombongan ambulan jalan di depan, ada motor di belakang ambulan. Kami pikir itu ada orang yang hanyut di laut, karena kalau akhir tahun, orang biasa berkemah di laut."
"Lama-lama," ia menyambung. "Makin banyak kendaraan. Mereka tidak ada bilang, 'Lari, lari!' Cuma lampu-lampu motor, lampu mobil saja yang dihidupkan. Makin lama, makin banyak kendaraan lewat. Saya bilang sama orang di samping saya, 'Kayaknya ini ada sesuatu,' karena burung ini bunyi terus mengilingi kampung kami."
"Kebetulan anak saya digendong sama beliau. 'Ini anakmu,' katanya. 'Kamu gendong sendiri. Kalau terjadi apa-apa nanti, sudah sama-sama kalian.' Habis itu, pulanglah abang saya dari kedai seberang, bilang ke saya, 'Dek, mana kakak? Mana anakmu yang satu? Ayo kita lari semua!' Kata orang-orang, air laut naik," ucapnya mengetahui tsunami datang.
Menyangka Kiamat Datang
Ia melanjutkan, "Tidak terpikir oleh kami bahwa air laut naik sebegitu dahsyatnya. Karena dari nenek-nenek saya, tidak ada yang pernah bercerita ada air laut naik kayak gitu. Begitu kami kumpul semua, saya sudah gendong anak yang dua tahun. Anak tujuh tahun dipegang ayahnya."
"Kakak saya, abang saya, lari kami. Entah berapa langkah. Tidak hitungan detik, saya sempat menoleh ke belakang. Saya lihat air sudah tinggi, melewati rumah kami. Tiba-tiba begitu saya lari lagi, hitungan detik langsung saya dihantamnya, seperti ada benda keras menghantam saya."
"Jatuh lah anak saya dari gendongan. Tiba-tiba saya tidak sadarkan diri lagi. Saya sadar itu mungkin siang, entah jam berapa. Itu mayat sudah banyak, pegangan saya sama mayat. Saya bilang, 'la ilaha illallah. Apa ini sudah kiamat?' Kalau memang kiamat, 'Ya Allah, selamatkanlah saya.'"
"Saya minta maaf sama mayat-mayat di sekeliling saya. Saya bilang, 'Terpaksa saya naik di atas kalian, karena saya mencari jalan.'Â Saya minta tolong. Saya lihat ada orang lagi jalan juga di atas-atas mayat-mayat itu. Orang itu jalan ke arah saya, tapi tidak mendekat, karena kondisi saya ini pakaian sudah tidak ada lagi."
Advertisement
Selamat dari Tsunami
"Persis seperti baju dalam mesin cuci. Diputer-puternya kita oleh air tsunami itu. Datanglah abang itu. Nyongkel-nyompel di sampah itu, dapatlah kain, dikasih ke saya, dilempar. 'Pakaikan ini dulu, kak,' karena dia seorang laki-laki. Tidak berani mendekat saya karena saya tidak ada lagi pakaian. Saya pakai."
"Rupanya itu mukena," ia melanjutkan. "Begitu saya pakai, baru dia datang. Digendong saya, dipapah. Ada satu rumah yang tampak cuma atapnya saja. Yang lain tenggelam semua. Dinaikkan ke atap rumah itu. Rupanya sudah ada beberapa orang di situ dan kebetulan ada pohon kelapa yang tumbang ke atas rumah itu, terbawa arus tsunami."
"Satu orang itu ada bawa parang. Mungkin pagi itu dia mau ke kebun. Diambilnya kelapa, dibelah, dikasihnya air kelapa itu ke saya biar saya minum. Mungkin itulah pertolongan pertama saya. Saya minum air kelapa itu. Sore hari itu, saya sudah dibawa ke bukit."
Â
Tidak Tahu Nasibnya
"Di bukit itu, ipar saya sudah meninggal. Kakak saya masih ada umur, tidak ada luka badan. Sorenya saya dibawa ke tempat mertua saya. Naik-naik bukit itu dibawalah ke tempat mertua saya."
"Hari keempat datang istri abang saya dari Perlak. Dibawanya saya, karena saya luka. Besoknya sampai sore, dibawa terus ke Rumah Sakit Langsah. Lima belas malam di rumah sakit langsah, itu kaki saya luka. Dioperasi, dijahit. Tidak lengket lagi karena sudah busuk. Daging-dagingnya sudah busuk, jadi tidak mau lengket lagi."
Karena peralatannya tidak lengkap, ia dirujuk ke RS Adam Malik di Medan dan menjalani perawatan sampai pulih. "Karena berobat, saya tidak melihat bagaimana kondisi kampung saya. Pulang-pulang, sudah bersih."
"Dua anak saya, suami saya, tidak tahu di mana dari hari itu sampai sekarang. Kuburannya, jenazahnya, tidak tahu saya ada di mana. Inilah singkat cerita saya, seorang korban tsunami 2004," tandasnya.
Advertisement