Liputan6.com, Yogyakarta: Kota Yogyakarta memang masih menyimpan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Selain keindahan objek wisatanya, daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Gudeg ini juga sarat dengan peninggalan sejarah dan budaya.
Salah satu jejak sejarah yang bisa ditelusuri adalah bekas peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Situs terbesar kerajaan ini lokasinya berada di Kotagede sekitar 10 kilometer di sebelah selatan Yogyakarta.
Kotagede sering disebut juga kota ibu kota lama karena dulunya sempat dijadikan ibu kota Kerajaan Mataram Islam. Kota ini pertama kali dibangun raja pertama Panembahan Senopati pada 1575. Tidak heran, di Kotagede masih banyak ditemui sisa-sisa peninggalan kerajaan berupa bangunan kuno dan perkampungan tradisional. Uniknya lagi, jalan-jalan di daerah ini masih berbentuk lorong.
Perkampungan dengan bangunan-bangunannya yang masih terjaga keasliannya ini merupakan contoh tata ruang rumah Jawa. Ciri khas kawasan ini adalah bentuk rumahnya yang berupa joglo. Sementara di sisi lainnya terdapat bangunan yang dinamakan pendopo. Rumah-rumah itu rata-rata didirikan pada pertengahan abad 17.
Selain rumah Jawa, di Kotagede terdapat komplek pemakaman raja-raja Mataram. Di tempat ini Panembahan Senopati bersama keluarganya dimakamkan. Sebelum memasuki kompleks pemakaman, berdiri sebuah gapura yang disebut Paduraksa. Arsitektur gapura ini merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam. Di kawasan ini, terdapat pula sebuah masjid kuno. Masjid Agung Kerajaan Mataram Islam ini didirikan oleh Raja Agung Mataram.
Untuk bisa memasuki kompleks pemakaman para raja, setiap pengunjung diharuskan mengenakan busana adat Jawa lengkap dengan sesajinya. Sebelumnya, dengan ditemani seorang juru kunci disyaratkan pula melakukan prosesi ritual di depan sendang atau kolam yang berisi lele putih. Konon hewan-hewan ini adalah binatang kesayangan para raja Mataram.
Situs sejarah lain yang dapat dijumpai di daerah ini adalah kawasan perumahan masyarakat Kalang. Tempat ini merupakan kediaman penduduk asli Kotagede. Mereka mahir membuat ukiran dari kayu, perak dan emas.
Perumahan ini dibangun pada 1927 kalender Cina atau pada 1857 menurut penanggalan Jawa. Ornamen rumah masyarakat Kalang merupakan perpaduan antara Jawa dan Belanda. Seperti ciri khas rumah Jawa lainnya, di depan bangunan terdapat pendopo. Sedangkan bagian dalam rumah dinamakan Gatri. Salah satu ruangan di dalam rumah ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan dan resepsi pernikahan.
Pada masa kerajaan masih berdiri, penduduk Kotagede dikenal sebagai saudagar atau pengusaha yang sukses. Para saudagar ini banyak mendirikan rumah-rumah besar. Ornamen bangunan mewah ini terdiri dari perpaduan Jawa dan Eropa atau yang disebut indische. Di halamannya yang asri terdapat patung Antaboga atau dewa penjaga laut. Interior ruangan rumah selain dihiasi lukisan dan patung, juga diisi berbagai keris dari beberapa daerah di Tanah Air.
Peninggalan sejarah lainnya yang ada di Kotagede adalah kerajinan perak bakar. Para perajin di kota ini banyak menghasilkan berbagai perhiasan dan aksesoris. Menariknya, kerajinan-kerajinan ini masih dibuat secara manual. Perak dicairkan dengan cara dibakar di atas tungku. Setelah meleleh barulah dibentuk sesuai dengan keinginan.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)
Salah satu jejak sejarah yang bisa ditelusuri adalah bekas peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Situs terbesar kerajaan ini lokasinya berada di Kotagede sekitar 10 kilometer di sebelah selatan Yogyakarta.
Kotagede sering disebut juga kota ibu kota lama karena dulunya sempat dijadikan ibu kota Kerajaan Mataram Islam. Kota ini pertama kali dibangun raja pertama Panembahan Senopati pada 1575. Tidak heran, di Kotagede masih banyak ditemui sisa-sisa peninggalan kerajaan berupa bangunan kuno dan perkampungan tradisional. Uniknya lagi, jalan-jalan di daerah ini masih berbentuk lorong.
Perkampungan dengan bangunan-bangunannya yang masih terjaga keasliannya ini merupakan contoh tata ruang rumah Jawa. Ciri khas kawasan ini adalah bentuk rumahnya yang berupa joglo. Sementara di sisi lainnya terdapat bangunan yang dinamakan pendopo. Rumah-rumah itu rata-rata didirikan pada pertengahan abad 17.
Selain rumah Jawa, di Kotagede terdapat komplek pemakaman raja-raja Mataram. Di tempat ini Panembahan Senopati bersama keluarganya dimakamkan. Sebelum memasuki kompleks pemakaman, berdiri sebuah gapura yang disebut Paduraksa. Arsitektur gapura ini merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam. Di kawasan ini, terdapat pula sebuah masjid kuno. Masjid Agung Kerajaan Mataram Islam ini didirikan oleh Raja Agung Mataram.
Untuk bisa memasuki kompleks pemakaman para raja, setiap pengunjung diharuskan mengenakan busana adat Jawa lengkap dengan sesajinya. Sebelumnya, dengan ditemani seorang juru kunci disyaratkan pula melakukan prosesi ritual di depan sendang atau kolam yang berisi lele putih. Konon hewan-hewan ini adalah binatang kesayangan para raja Mataram.
Situs sejarah lain yang dapat dijumpai di daerah ini adalah kawasan perumahan masyarakat Kalang. Tempat ini merupakan kediaman penduduk asli Kotagede. Mereka mahir membuat ukiran dari kayu, perak dan emas.
Perumahan ini dibangun pada 1927 kalender Cina atau pada 1857 menurut penanggalan Jawa. Ornamen rumah masyarakat Kalang merupakan perpaduan antara Jawa dan Belanda. Seperti ciri khas rumah Jawa lainnya, di depan bangunan terdapat pendopo. Sedangkan bagian dalam rumah dinamakan Gatri. Salah satu ruangan di dalam rumah ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan dan resepsi pernikahan.
Pada masa kerajaan masih berdiri, penduduk Kotagede dikenal sebagai saudagar atau pengusaha yang sukses. Para saudagar ini banyak mendirikan rumah-rumah besar. Ornamen bangunan mewah ini terdiri dari perpaduan Jawa dan Eropa atau yang disebut indische. Di halamannya yang asri terdapat patung Antaboga atau dewa penjaga laut. Interior ruangan rumah selain dihiasi lukisan dan patung, juga diisi berbagai keris dari beberapa daerah di Tanah Air.
Peninggalan sejarah lainnya yang ada di Kotagede adalah kerajinan perak bakar. Para perajin di kota ini banyak menghasilkan berbagai perhiasan dan aksesoris. Menariknya, kerajinan-kerajinan ini masih dibuat secara manual. Perak dicairkan dengan cara dibakar di atas tungku. Setelah meleleh barulah dibentuk sesuai dengan keinginan.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)