Kontroversi Nuklir Iran

Resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB bagi Iran menjadi bola panas di Tanah Air. Pemerintah dianggap telah berkhianat kepada Iran dan politik luar negeri Indonesia dituding berada di bawah Amerika Serikat.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Mar 2007, 02:44 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2007, 02:44 WIB
280307ctopik.gif
Liputan6.com, Jakarta: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 1747. Resolusi ini merupakan sanksi tambahan kepada Iran karena terus melanjutkan program nuklirnya. Bentuk hukuman itu di antaranya, larangan bagi semua negara dan lembaga keuangan internasional untuk memberikan bantuan baru kepada Iran.

Indonesia sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB awalnya menolak resolusi. Tapi, akhirnya mendukung sanksi tambahan bagi Teheran. Keputusan pemerintah ini ternyata mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Reaksi keras terutama datang dari sejumlah tokoh Islam. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Amien Rais, dengan tegas menyatakan ini salah satu contoh bahwa Indonesia masih mengekor kemauan Amerika Serikat.

Sikap serupa dilontarkan Jalaluddin Rakhmat. Intelektual muslim ini menyebut Indonesia telah mengkhianati Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan kebijakan luar negeri yang bebas aktif. "Dengan mendukung ini [resolusi], berarti Indonesia telah berkhianat," kata Jalaluddin dalam acara Topik Minggu Ini di Jakarta, Rabu (28/3).

Pendapat senada dikemukakan Hajriyanto Y. Thohari, anggota Komisi Bidang Luar Negeri DPR. Menurut dia, dukungan pemerintah Indonesia terhadap keputusan PBB menunjukkan sikap keberpihakan kepada salah satu kekuatan besar dunia. "Kita semua tahu yang memprakarsai resolusi ini adalah AS," ujar Hajriyanto.

Bahkan, Jalaluddin dan Hajriyanto sepakat resolusi yang dikeluarkan PBB menunjukkan badan dunia ini telah bertindak diskriminasi kepada Iran. Jalaluddin mencontohkan Israel. Negara ini, seperti dikemukakan Perdana Menteri Ehud Olmert, secara terang-terangan mengaku memiliki senjata nuklir, tapi tak pernah diawasi PBB. Sementara di Iran, hampir setiap hari sekitar 2.400 orang dari Badan Atom Internasional (IAEA) meninjau fasilitas nuklirnya.

Namun, tudingan Jalaluddin maupun Hajriyanto dibantah Juru Bicara Kepresidenan bidang Luar Negeri, Dino Patti Djalal. Menurut Dino, politik bebas aktif mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak pernah menggadaikan politik luar negeri kepada negara mana pun termasuk Amerika Serikat. "Tak pernah ada dalam sejarah diplomasi, kita mendukung suatu negara," kata Dino.

Dino juga menyatakan pandangan bahwa PBB telah berbuat diskriminasi adalah fakta yang keliru. Iran, kata Dino, malah tidak mau secara terbuka memberikan laporan kepada IAEA. "Kalau Iran mau bekerja sama, saya kira semua negara akan bungkam," kata Dinno.

Pandangan Dino mendapat dukungan Hamid Basyaib, pengamat Timur Tengah. Sikap pemerintah yang mendukung resolusi PBB tidak menandakan Indonesia berada di bawah bayang-bayang AS. Hamid merujuk dukungan dua negara besar lainnya, yakni Cina dan Rusia. Dia menilai, sanksi lebih disebabkan karena sikap keras kepala pemerintah Iran.

Pada bagian lain perbincangan, Jalaluddin sempat menyayangkan sikap negara-negara Arab pada Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab ke-19 di Riyadh, Arab Saudi. Pasalnya, seperti yang dilaporkan reporter SCTV, Mauluddin Anwar, kasus yang dihadapi Iran hanya masalah pinggiran. Ini dikarenakan Iran bukan negara Arab.

Meski begitu Jalaluddin maklum karena para pemimpin negara-negara Arab selalu memiliki kepentingan politik yang berbeda. Dia berpandangan, Indonesia yang diundang sebagai peninjau dalam konferensi itu, termasuk di antara 15 negara anggota DK PBB, semestinya bisa merepresentasikan kepentingan negara-negara kecil menghadapi negara besar.

Dino membenarkan Indonesia memang memiliki posisi strategis dengan memiliki hubungan baik dengan Iran, dan negara-negara besar. Tapi, tambah Dino, pemerintah juga harus cerdik jangan sampai menjadi bemper Iran.

Selama ini, lanjut Dino, hubungan Indonesia dengan Iran baik ekonomi, militer, dan diplomatik, masih terjalin dengan baik. Maksud dunia internasional menjatuhkan sanksi adalah sebagai upaya menggiring Iran kembali ke meja perundingan.

Penjelasan Dino dipertegas Hamid yang menyatakan Indonesia sebaiknya memiliki pijakan atas kepentingan nasional. "Meskipun sama sebagai negara Islam, namun Indonesia mesti melihat kenyataan bahwa Iran keras kepala tidak mau bekerja sama dengan masyarakat internasional," kata Hamid.

Selain itu, menurut Hamid, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga semestinya mau mendengarkan suara rakyatnya. Pasalnya, tidak semua warga Iran mendukung kebijakan Ahmadinejad.

Terlepas dari pendapat mereka, keputusan DK PBB sudah menjadi bola panas di Tanah Air. Bahkan, sebagian anggota Parlemen sudah menggalang dukungan untuk menggunakan hak interpelasi mempertanyakan sikap pemerintah atas Iran.

Lebih dari 100 anggota DPR dari lintas fraksi, maupun partai berbasis agama dan nasionalis, mendukung hak tersebut. Mereka menilai pemerintah Indonesia telah berkhianat kepada Iran. Rencananya, hari ini surat interpelasi akan diserahkan kepada pimpinan DPR [baca: Interpelasi Diterima Ketua DPR].

Namun tekanan yang dilakukan DPR ini sempat disayangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Kalla, sebagian besar anggota Dewan belum membaca isi Resolusi PBB secara utuh. "Mungkin anggota Dewan baru membaca judulnya saja," kata Kalla.

Secara terpisah, Forum Umat Islam dan sejumlah tokoh secara terpisah juga mengecam dukungan pemerintah atas sanksi bagi Iran [baca: Ormas Islam Mendukung Interpelasi DPR].

Tahun silam, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berkunjung ke Indonesia. Tur politik Ahmadinejad ke Tanah Air mendapat sambutan hangat. Perjalanan kali ini adalah bagian diplomasi Teheran untuk meminta dukungan negara-negara dunia terkait program nuklirnya.

Berkali-kali Ahmedinejad mengatakan, program nuklir Iran tidak dipakai untuk kepentingan militer. Dukungan pun mengalir kepada Iran, termasuk dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menyatakan akan mendukung proyek nuklir Iran sejauh untuk kepentingan damai.

Dalam satu kesempatan wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Rosianna Silalahi, Ahmadinejad meyakinkan soal energi nuklir tidak sampai menimbulkan perang sesungguhnya. Iran, kata Ahmadinejad, tetap mementingkan jalur diplomasi. "Tidak ada peluang untuk berperang. Apalagi, apa yang sebenarnya dipropagandakan mereka tidak sesuai dengan kebenaran," kata Ahmadinejad

Ahmadinejad adalah simbol perlawanan negara dunia ketiga atas dominasi Amerika Serikat. Seperti pendahulunya Ayatullah Rohullah Khomeini, dia menunjukkan sikap menentang politik luar negeri Paman Sam.

Namun, langkah Ahmadinejad di dalam negerinya sendiri mendapat reaksi beragam. Dipuja sekaligus dikecam. Saat Iran mendapat tekanan soal nuklir, sebagian besar anggota milisi pendukung Ahmadinejad menggelar rantai manusia di sepanjang jalan utama Teheran. Tapi tak sedikit juga yang mengecam Ahmadinejad. Motor gerakan ini adalah kelompok oposisi reformis dan kalangan muda.

Selama ini Iran memang tengah giat membangun kekuatan militer. Pengaruhnya pun kian meluas di Timur Tengah. Hal inilah yang membuat AS cemas dengan negeri para Mullah ini.(IAN)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya