Sangiran Dahulu dan Sekarang

Indonesia adalah surga bagi para arkeolog atau ahli purbakala lantaran kekayaan peninggalan masa lampau. Namun banyak temuan di situs purbakala yang diperdagangkan, salah satu contohnya di Sangiran.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Mei 2007, 10:19 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2007, 10:19 WIB
060507apurbakala.jpg
Liputan6.com, Sangiran: Selain terkenal dengan kekayaan alam, Indonesia juga tersohor sebagai negeri yang penuh situs dan benda peninggalan purbakala. Sayangnya, banyak situs yang kondisinya tak terawat, bahkan mempriihatinkan. Padahal, benda-benda tersebut merupakan aset budaya yang sangat berharga.

Tak hanya perawatan yang minim. Tidak sedikit benda peninggalan purbakala dan sejarah yang diperjualbelikan. Di Sangiran yang berlokasi tak jauh dari Kota Solo, Jawa Tengah, misalnya. Sebagian besar fosil yang didapat di sana ternyata temuan warga. Dan hanya 20 persen saja hasil penggalian para arkeolog.

Itu pula yang diduga menjadi penyebab raibnya sebagian fosil akibat diperdagangkan. Warga terkadang tergiur tawaran pedagang fosil yang menawarkan uang lebih banyak daripada imbalan yang ditawarkan pihak Museum Sangiran.

Nama Sangiran memang tak asing bagi telinga para ahli purbakala. Maklumlah, jauh sebelum peradaban di Nusantara--sebutan Indonesia dahulu kala--tumbuh dan berkembang, Sangiran sudah menjadi pusat peradaban manusia purba.

Jejak peradaban itu terekam jelas dari temuan-temuan fosil manusia purba berikut peralatan yang mereka gunakan. Berbagai temuan itu telah mengangkat nama kawasan yang terletak 17 kilometer sebelah utara Kota Solo itu ke peta arkeologi dunia.

Walau telah mendunia dan ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO (Badan Dunia untuk Masalah Pendidikan dan Kebudayaan), kehidupan di Sangiran tetap bersahaja. Tengok saja Museum Sangiran. Tempat ini tergolong sederhana untuk sebuah pusat pengetahuan kepurbakalaan.

Padahal di tempat ini tersimpan salah satu penemuan penting arkeologi, yaitu manusia kera yang berdiri tegak atau Pithecanthropus erectus. Seiring perjalanan waktu, koleksi fosil Museum Sangiran terus bertambah. Sekarang jumlah koleksi itu telah melampaui 13 ribu buah. Ini terdiri dari fosil manusia purba, mamalia purba maupun reptil purba. Pertambahan koleksi fosil Museum Sangiran tersebut memang tak lepas dari peran serta masyarakat setempat [baca: Fosil Buaya Purba Ditemukan di Sangiran].

Sebagai imbalannya, pihak museum memberikan sejumlah uang yang besarnya disesuaikan dengan fosil yang ditemukan. Imbalan itu menumbuhkan hubungan yang saling menguntungkan antara warga Sangiran dengan pihak museum. Bahkan, hubungan itu terus terpelihara hingga saat ini. Warga yang umumnya bekerja sebagai petani selalu menghubungi pengurus museum bila menemukan fosil. Daryanto adalah salah satunya. Pria yang bekerja serabutan ini sesekali menyusuri daerah aliran sungai, sembari berharap menemukan fosil. Dan memang ia sudah beberapa kali menemukan fosil. Hanya saja tidak semua temuannya diterima pihak museum.

Sayang tidak sedikit dari fosil-fosil itu yang jatuh ke tangan pedagang fosil. Itu semua terjadi karena para pedagang fosil kerap menyodorkan jumlah uang yang lebih besar dari imbalan yang ditawarkan pihak museum. Namun jangan harap bisa menemukan praktik jual beli fosil itu di sana. Sebab, transaksi itu biasanya secara sembunyi-sembunyi. Entah sudah berapa fosil bersejarah yang jatuh ke tangan orang-orang yang tak berhak. Atau hanya mengejar keuntungan pribadi semata.

Sebagian benda purbakala atau bersejarah yang hilang bukan hanya terjadi di Sangiran. Situs Pesanggrahan Warungboto, pun bernasib serupa. Situs itu merupakan peninggalan dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono II, sekitar tahun 1800. Sebagai situs bersejarah, jangan harap melihat situs ini terawat dengan baik. Padahal, letak tempat bersejarah ini hanya sekitar lima kilometer dari pusat kota, yaitu di Jalan Veteran Umbulharjo. Tapi lihatlah sebagian besar bangunannya yang dibiarkan rusak.

Situs Pesanggrahan Warungboto yang memiliki dua lantai, di masanya menjadi tempat peristirahatan kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kamar dan ruang-ruang lain ada di lantai atas. Sedangkan di lantai bawah ada sebuah taman yang dulunya mungkin sangat indah serta dua kolam yang saling berhubungan. Di sinilah, dahulu kala putri-putri raja mandi menggunakan air yang keluar dari mata air di salah satu kolam. Kini kolam kering kerontang karena airnya saja sudah tidak lagi mengalir.

Di tahun 1980, pihak Dinas Purbakala setempat sempat mencatat kekayaan budaya ini. Saat itu sejumlah bagian bangunan masih tercatat ada seperti patung burung garuda, patung naga maupun pot-pot bunga di sekitar kolam. Sekarang jangan harap barang-barang itu masih ada. Warga mengakui banyak pihak yang mengambil barang-barang dari situs, termasuk batu dari situs.

Tak hanya itu, tanah yang semula adalah bagian dari situs, kini juga banyak yang berpindah kepemilikan. Tidak diketahui bagaimana hal itu bisa terjadi. Kondisi yang memprihatinkan itu membuat sebagian warga di sekitar situs berinisiatif menjaga peninggalan budaya ini. Apalagi, gempa bumi yang mengguncang pada 27 Mei tahun silam, menghancurkan sebagian bangunan situs. Dan ironisnya hingga kini belum diperbaiki. Perhatian pemerintah daerah juga tidak ada. Alasan klasik tiada dana selalu muncul. Situs yang rusak memang tak hanya Warungboto sehingga dana yang dibutuhkan juga terbilang besar.

Upaya pelestarian yang tidak maksimal juga diakui Direktur Peninggalan Purbakala Departemen Budaya dan Pariwisata Suroso. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena adanya berbagai keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia maupun anggaran.

Benda-benda purbakala peninggalan masa lalu sebenarnya bisa dijadikan media untuk melihat peradaban nenek moyang kita di masa lampau. Seperti di Lampung, misalnya. Ada Taman Purbakala Pugung Raharjo yang menyimpan berbagai benda sisa peradaban Hindu dan Buddha di abad VI Masehi. Sayangnya, kondisi taman purbakala ini kurang terawat.

Begitu pula kondisi situs peninggalan purbakala yang berada di Kota Bogor, Jawa Barat, yakni Cagar Budaya Prasasti Batu Tulis. Nasibnya juga tak lebih baik dari situs-situs purbakala maupun bersejarah lainnya yang ada di Tanah Air. Saat ini, kompleks situs purbakala ini tidak dialiri listrik untuk penerangan. Situs ini juga tidak dilengkapi dengan keterangan apa pun untuk pengunjung sehingga mereka harus puas melihat-lihat saja.

Jakarta pun banyak memiliki situs bersejarah, antara lain Museum Taman Prasasti di bilangan Jalan Tanah Abang Satu. Di sana ada ribuan prasasti atau nisan dan pepohonan. Tengoklah nama-nama yang terpampang di sebagian nisan yang masih ada. Sebagian adalah para pejabat di zaman kolonial Belanda. Maklumlah di tahun 1795 tempat ini merupakan pemakaman pejabat zaman itu. Ada juga makam Olivia Mariamne Raffles, istri Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang juga sempat menguasai Indonesia. Dan di makam yang lain, pengunjung dapat menemukan nama Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa era 60-an.

Tapi tidak selalu tempat tersebut kosong dan sepi. Keindahan prasasti menarik minat banyak orang untuk mengabadikannya. Sudah sering taman prasasti menjadi lokasi pemotretatan atau pembuatan video klip. Atau juga seperti sore itu, puluhan siswa sekolah menengah atas memanfaatkan keindahan Taman Prasasti untuk berfoto mengabadikan keceriaan mereka.

Banyak pengunjung yang memang memanfaatkan taman tersebut. Lantaran itulah, sayang bila upaya Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta di tahun 1977 untuk membuat taman ini dengan terlebih dulu memugar prasasti yang ada tidak diteruskan. Paling tidaknya, taman yang indah ini bisa dimanfaatkan dengan lebih maksimal untuk tujuan wisata.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya