Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 5 dari 64 terpidana mati kasus narkoba akan dieksekusi pada Desember 2014. Namun pengajuan grasi atau pengampunan para terpidana mati kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu ditolak.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid pun tidak menyalahkan sikap Jokowi dan berpandangan positif. Dirinya bahkan mengapresiasi langkah yang dilakukan Presiden ke-7 RI itu.
"Saya setuju bandar harus dihukum mati," kata Gus Sholah di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta, Jumat (12/12/2014).
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu menilai, sekalipun dirinya seorang aktivis HAM, namun sepakat dengan eksekusi 5 terpidana mati pada Desember 2014 nanti. Sebab jika tidak dihukum mati, para bandar narkoba bebas menjalankan bisnisnya dari balik jeruji besi.
"Jika tidak dihukum mati, para bandar akan tetap berdagang meski pun mereka di dalam penjara," jelas dia.
Adik mantan Presiden Gus Dur itu menegaskan, jika para bandar narkoba mengendalikan bisnis haramnya dari balik penjara, maka yang akan dirugikan adalah generasi muda. Maka itu yang mampu membuat jera para bandar narkoba adalah hukuman mati.
"Mereka tidak akan jera kalau hanya dipenjara. Di penjara saja mereka masih bisa berdagang (narkoba)," pungkas mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu.
Kejaksaan Agung atau Kejagung sebelumnya menyatakan, saat ini terdapat 64 terpidana mati dalam kasus narkoba. Dari 64 terpidana, 20 terpidana sedang menunggu turunnya grasi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun Jokowi telah menyatakan penolakan.
Apabila pada 2015 sudah ada Keppres yang menolak permohonan grasi para terpidana, berarti Kejaksaan tinggal mempersiapkan eksekusi. Sedangkan 44 terpidana lainnya masih dalam proses hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Bahkan, masih ada yang dalam tahap belum menentukan sikap. (Rmn/Ans)