Polemik Hukuman Mati bagi Gembong Narkoba

Hukuman mati memang bukan satu-satunya vonis yang bisa ditimpakan pada terdakwa kasus narkoba.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Mar 2015, 17:34 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2015, 17:34 WIB
(Lip6 Petang) Polemik-Narkoba
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Masih segar dalam ingatan kecelakaan maut yang dialami oleh Afriani Susanti pada 22 Januari 3 tahun lalu setelah memakai narkoba.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Jumat (6/3/2015), dibawah pengaruh narkoba, Afriani gagal mengendalikan kemudi hingga menabrak pejalan kaki di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. 9 jiwa melayang dalam peristiwa ini.

Cukup beruntung Afriani tak kehilangan nyawa dalam kecelakaan tersebut. Namun ternyata tidak sedikit yang harus menjemput ajal setelah mengonsumsi barang haram itu.

Di Indonesia, 33 orang meninggal setiap harinya karena narkoba. Jumlah ini berlipat hingga 12.044 jiwa per tahun. Tahun 2014, Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat ada 4 juta jiwa yang mengonsumsi narkoba pada usia 10 hingga 59 tahun.

Negara pun harus menanggung kerugian sebesar Rp 63,1 triliun per tahun akibat penggunaan narkoba yang menurunkan produktivitas masyarakat.

Keputusan pemerintah mengeksekusi mati para terpidana narkoba melegakan, setidaknya bagi keluarga yang pernah berjuang lepas dari narkoba.

Bunda Ifet dan drummer grup band Slank Bim-bim contohnya. Hukuman mati diharapkan bisa memutus mata rantai peredaran narkoba.

Hukuman mati memang bukan satu-satunya vonis yang bisa ditimpakan pada terdakwa kasus narkoba. Bagi para pengguna, konsekuensi hukum yang dihadapi bisa berupa rehabilitasi dan hukuman penjara.

Namun, bagi kurir, bandar, dan sindikat narkoba internasional. Hukuman mati diharapkan membuat mereka berpikir ulang untuk mengedarkan barang haram ini. (Vra/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya