Jirah, Nenek Sebatang Kara Penghuni Lereng Merapi

Di pinggiran kebun salak di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, berdirilah gubuk berukuran 2x3 meter.

oleh Yanuar H diperbarui 15 Mar 2015, 17:52 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2015, 17:52 WIB
Jirah, Penghuni Tua Kebun Salah Lereng Merapi
Di pinggiran kebun salak di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, berdirilah gubuk berukuran 2x3 meter. (Fathi Mahmud/Liputan6.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Di pinggiran kebun salak di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, berdirilah gubuk berukuran 2x3 meter. Di sana tinggal seorang nenek 90 tahun yang hidup sebatang kara, Jirah namanya.

Namun warga Padukuhan Turgo Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, biasa memanggil si mbah dengan nama Jinem. Dia mengaku sudah tak memiliki kerabat lagi.

Gubuk tempat Jinem tinggal sangat sederhana. Sebagian besar dinding di ruangan sempit itu ditutupi spanduk. Di salah satu sisi pintu, sarang lebah bertengger.

Saat musim hujan seperti ini, Jinem harus pasrah. Tetesan air hujan seringkali masuk ke gubuknya melalui sela-sela retakan atap asbes.

Dia hanya bisa bertahan di atas tikar yang usang. Tak banyak yang bisa dilakukan Jinem meskipun hawa dingin lereng Merapi menusuk kulit keriputnya.

"Matur nuwun, simbah sampun ditili'i (terimakasih Si Mbah sudah dijenguk). Ya ini rumah saya. Maaf tidak bisa mengajak ke dalam, sempit," ucap Jirah di rumahnya, Minggu (15/03/2015).

Nenek yang murah senyum ini mengaku sudah lama tinggal di gubuknya. Saking lamanya Jirah sudah tidak dapat mengingat kapan dia mulai tinggal seorang diri di lereng Merapi.

"Sudah lama, kalau tepatnya orang dulu tidak menghapal tanggal dan tahun. Jadi ya pokoknya sudah lama," ucap dia.

Nenek berambut putih itu bercerita, dia lahir di Padukuhan Turgo Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Dulu dia mempunyai satu saudara namun sudah meninggal saat bekerja di Palembang, Sumatera Selatan.

Jirah mengaku pernah bekerja sebagai penjual buah jambu dan buah salak di Pasar Godean, Sleman. Saat itu dirinya masih muda sehingga masih kuat berjualan di pasar.

Buah-buahan dipasok dari kebunnya yang kini dia tempati. Namun pohon jambu sudah tak ada lagi karena telah lama mati. Sementara kebun salaknya dibiarkan begitu saja. Tubuh rentanya tak sanggup lagi mengurus kebun itu.

"Saya tidak punya siapa-siapa. Anak saya dulu usia 2,5 bulan meninggal, suami juga sudah meninggal. Dari dulu hidup sendiri di sini," cerita Jirah sembari memandangi pohon-pohon salaknya.

Jirah pun sudah tidak mempunyai penghasilan sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari ia hanya bisa mengharap uluran tangan para tetangga. Terkadang ia memasak sayur dari kebun untuk memenuhi lapar di perutnya.

"Ya tidak pasti. Tapi ada juga yang bantu memberi beras. Kalau pas tidak ada, ya ke kebun saja memetik sayuran, seperti buah nangka muda," tutur Jirah lirih.

Kini hati Jirah sedikit terhibur dengan kehadiran anjing peliharaan berwarna hitam putih yang dia beri nama Semut. Semutlah pemecah kesunyiannya.

"Namanya semut, dia yang menemani saya di sini. Kalau pas jalan ke kebun, ya pasti ikut dia. Kalau saya tidur semut pasti jaga di depan pintu. Dia baru main kalau saya sudah keluar rumah," tutur Jirah.

"Ya apa yang saya masak, saya berikan. Pasti dimakan, ya nasi putih kadang sayuran." (Ndy/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya