Liputan6.com, Jakarta - Hizbut Tahrir mengkritik sikap tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi yang terus diam terkait masalah Rohingya.
Menurut mereka, tidak seharusnya tokoh sekaliber Suu Kyi bungkam. Sebab, masalah Rohingya sudah menjadi persoalan dalam negeri yang menyebar ke kawasan lain.
"Sampai ini hari boleh cek Aung San Suu Ki yang dapat hadiah Nobel Perdamaian, bahkan satu kata tentang Rohingya keluar dari mulut dia tidak," kata Juru Bicara Hizbut Tahrir Muhammad Ismail Yusanto, Jumat (30/5/2015).
"Dia tidak menyinggung sama sekali pada hal itu (terjadi) di negaranya (Myanmar). Seolah-olah tak ada yang terjadi," sambung dia.
Oleh karenanya, Suu Kyi sepatutnya diberi sanksi akibat sikap tutup mulutnya itu. Ganjaran yang tepat adalah pencabutan hadiah Nobel.
"Menurut saya sudah keterlaluan. Saya setuju usulan banyak pihak mengenai hadiah Nobel itu sepatutnya dicabut," tegas dia.
Suu Kyi saat ini jadi sorotan dunia karena aksi bungkamnya atas krisis kemanusian yang menimpa etnis Rohingya. Beberapa pihak menuding tutup mulutnya Suu Kyi disebabkan niatannya untuk menjadi Presiden Myanmar.
Advertisement
Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama juga angkat bicara soal masalah Rohingya. Dia mendesak agar tokoh oposisi Myanmar yang pernah mendapat Nobel Perdamaian untuk bertindak menangani persoalan tersebut.
"(Masalah Rohingya) merupakan persoalan yang sangat menyedihkan. Saya berharap Aung San Suu Kyi sebagai orang yang pernah mendapat Nobel Perdamaian bisa melakukan sesuatu," ujar Dalai Lama seperti dikutip dari Chanel News Asia, Kamis 28 Mei.
"Saya sudah bertemu beliau dua kali. Pertama di London lalu di Republik Ceko, Saya menyinggung masalah ini dan beliau memberi tahu saya ada beberapa kesulitan yang dihadapi. Masalah ini tidaklah, mudah sangat rumit," tambah dia.
Meski Suu Kyi masih belum bertindak secara nyata, Dalai Lama menekankan, dia merasa bahwa itu hanya masalah waktu. Ia percaya dalam sesegara mungkin Suu Kyi akan segera bertindak untuk menangani masalah tersebut.
Pengungsi Rohingya merupakan salah satu masalah kemanusian yang paling disorot dunia saat ini. Sebab Myanmar tempat penduduk Rohingya tinggal, menolak memberi kewarganegaraan bagi etnis tersebut.
Pada Juni dan Oktober 2012, kerusuhan bernuansa etnis pecah di negara bagian Rakhine, Myanmar. Puluhan ribu warga Rohingya kemudian meninggalkan wilayah mereka. Kekerasan etnis ini menewaskan ratusan orang dan membuat 140 ribu warga minoritas tersebut kehilangan tempat tinggal.
Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, meski telah tinggal beberapa generasi di negara tersebut. Praktis, mereka sulit mendapatkan pekerjaan, sekolah ataupun jaminan kesehatan. (Tnt/Ein)