Komentar Panglima TNI atas Sikap Australia Suap Kapal Imigran

Tak hanya Moeldoko, sikap Australia itu pun menuai reaksi dari anggota parlemen Indonesia.

oleh Audrey SantosoAndreas Gerry Tuwo diperbarui 17 Jun 2015, 03:00 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2015, 03:00 WIB
Moeldoko Raih Penghargaan Dari FPCI
Panglima TNI Jenderal Moeldoko memberikan keterangan pers usai menghadiri acara Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jakarta, Jumat (12/6/2015). FPCI menilai Moeldoko telah ikut andil menjaga perdamaian dunia. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Australia membayar kapten dan sejumlah anak buah kapal (ABK) untuk membawa 65 imigran gelap kembali ke Indonesia. Tindakan tersebut dinilai Panglima TNI Jenderal Moeldoko sebagai langkah yang tidak etis.

"Dari sisi etika, itu tidak pas, perbuatan seperti itu tidak pas," kata Panglima TNI Jenderal Moeldoko di Mabes TNI, Jakarta, Selasa (16/6/2015).

Moeldoko menilai masalah ini sebenarnya masuk ke dalam ranah politik Indonesia-Australia sehingga tidak ingin berkomentar lebih jauh mengenai penyuapan kapal imigran tersebut.

"Itu konteksnya masih dalam politik. Itu yang saya pandang, dalam konteks politik dua negara. Saya tidak mau komentar," ujar Moeldoko.

Sementara Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya menilai tindakan Australia itu seperti menguak luka lama yang belum terobati. Sebab menurut dia, hubungan Indonesia dan Australia pasca-penyadapan belum sepenuhnya normal seperti sedia kala.

"Normalisasi hubungan dengan Australia pasca penyadapan tempo hari itu belum selesai. Artinya belum normal," sebut Tantowi Yahya di Habibie Center Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (16/6/2015).

Dia menjelaskan Indonesia yang telah memberikan 6 syarat kepada Australia agar hubungan kedua negara membaik belum semuanya dipenuhi Australia. Bahkan dia mencatat Australia baru memenuhi 3 syarat.

"Kan ada 6 langkah yang harus dilakukan pemerintah Australia dalam langkah menormalisasi hubungan dengan kita. Dari 6 (syarat), paling 3 yang sudah mereka lakukan," jelas dia.

"Tiba-tiba dalam normalisasi itu ada tindakan dari mereka seperti (kasus perahu imigran) ini," tandas dia.

Beri Batas Waktu

Untuk itu, dia mendukung langkah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menanyakan Pemerintah Australia mengenai peristiwa perahu imigran tersebut. Langkah itu dinilai tepat kendati Menlu harus memberi deadline kapan Australia menjawab pertanyaan ini.

"Pertama apa yang dilakukan Menlu betul mengirimkan notifikasi meminta jawaban dari PM Abbott," ujar Tantowi.

"Tetapi harus ada limit waktu kalau dalam tenggat waktu tidak respons dari pemerintah Australia, harus disiapkan plan ke dua," tambah dia.

Tantowi menyebut, walau belum pasti ada pejabat Australia yang terbukti membayar kapten dan kru kapal, negeri jiran itu sudah bisa dikategorikan lari dari tanggungjawab.

Dia menilai sebagai negara penandatanganan konvensi pengungsi tahun 1951, Australia sudah terbukti melanggar konvensi itu.
 
"Mereka lari dari tanggungjawab maka kita harus menyiapkan plan yang sifatnya clear," jelas Tantowi.

Pada Sabtu, 13 Juni lalu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menanyakan langsung kepada Dubes Australia untuk RI, Paul Grigson, soal apakah benar ada pejabat imigrasi Australia yang memberi uang kepada kapten dan kru kapal.

"Saya menanyakan dia soal ini, beri tahu saya apa ini, dan dia berjanji membawa pertanyaan saya ke Canberra dan berjanji akan membawa pada saya (jawabannya)," sebut Menlu Retno.

Namun, bukan jawaban yang diberikan, Australia malah mengalihkan isu. Menlu mereka Julie Bishop melempar bola panas dengan menyatakan banyaknya imigran datang ke Indonesia dikarenakan pemerintah gagal menjaga perbatasan lautnya.

Pernyataan Bishop direspons langsung Menlu Retno. Dari Oslo, Norwegia, Retno menuntut Australia menjawab dengan jelas pertanyaannya.

"Sebenarnya tidak sulit bagi Australia untuk menjawab pertanyaan saya hari Sabtu kemarin mengenai isu pemberian uang dan bukan mengalihkan isu," tandas Retno.

Angkatan Laut Indonesia yang berjaga di Pulau Rote sebelumnya menangkap kapal berpenumpang 65 imigran gelap yang terdiri dari 54 orang Sri Lanka, 10 orang Bangladesh, dan seorang warga Myanmar.

Saat dimintai keterangan oleh petugas, kapten kapal mengaku telah diberi sejumlah uang oleh aparat penjaga perairan Australia untuk memutarbalikan arah kapal masuk ke wilayah Indonesia.

Australia adalah salah satu negara yang menandatangi konvensi PBB tentang pengungsi pada tahun 1951, berpedoman pada isi konvensi, semestinya Australia memegang komitmennya untuk menampung para pencari suaka yang terlantar. (Ali/Rjp)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya