22 Kiai Sepakat Gunakan Sistem Ahwa untuk Memilih Rais Aam PBNU

Terkait kelompok yang menentang Ahwa (voting), dinilai hanya riak-riak kecil menjelang muktamar.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 31 Jul 2015, 01:03 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2015, 01:03 WIB
20150730- PKB Gelar Doa Bersama Jelang Muktamar NU ke-33-Jakarta
Suasana doa bersama untuk kesuksesan Muktamar NU ke-33, Jakarta, Kamis (30/7/2015). Muktamar tersebut akan digelar 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jatim.(Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Surabaya - 22 Kiai se-Jawa Timur sepakat ‎memilih sistem ahlul halli wal aqdi (Ahwa) atau perwakilan semacam tim formatur untuk memilih Rais Aam PBNU pada Muktamar NU ke-33 yang akan digelar 1 hingga 5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur.

Hal tersebut disampaikan KH Anwar Iskandar setelah menggelar pertemuan ‎dengan 22 kiai pimpinan pondok pesantren yang digelar di Kantor PWNU Jawa Timur, Jalan Masjid Agung, Surabaya.

Pertemuan alim ulama ini memutuskan untuk menindaklanjuti keputusan Munas Alim Ulama di Jakarta beberapa waktu lalu soal sistem pemilihan rais aam dengan model Ahwa.

Hasil dari pertemuan tersebut, para pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur sepakat menggunakan sistem Ahwa untuk pemilihan rais aam di arena muktamar.

"Kami menyerukan kepada seluruh muktamirin (peserta muktamar) agar senantiasa menjaga persatuan dan mengedepankan musyawarah mufakat (Ahwa) pada pemilihan pimpinan NU di muktamar nanti," tutur Kiai Anwar, Kamis (30/7/2015).

5 Pertimbangan

Dia menambahkan, ada 5 pertimbangan dalam memilih sistem ini. Yang pertama, khulafaurrasyidin pada masa lalu‎ dipilih dan diangkat oleh Ahwa, yang kemudian diadopsi pada awal masa berdirinya NU serta dilakukan di Muktamar Situbondo tahun 1984.

"Yang kedua, Ahwa adalah harga mati untuk menjaga martabat ulama sebagai pemegang amanah tertinggi NU," ujar dia.

Kemudian yang ketiga, Ahwa juga dipandang lebih maslahah dan mengurangi mafasid dalam pemilihan.

"Keempat, Ahwa tidak bertentangan dengan AD/ART NU dan yang kelima menyesuaikan hasil Munas Alim Ulama NU pada 2 November 2014," tandas dia.

Sementara itu, KH Miftachul Ahyar dari Ponpes Miftahul Sunnah Surabaya mengatakan Ahwa itu wajib, bukan pilihan. Bahkan, terkait kelompok yang menentang Ahwa (voting), dinilai hanya riak-riak kecil menjelang muktamar.

"Itu hanya riak-riak di luar. Jati diri NU itu ya Ahwa. Itulah nahniah, kaminya yang muncul. Kalau voting itu yang muncul adalah aku-nya," kata Kiai Miftach.

Dirinya juga menolak jika dikatakan pada muktamar nanti muktamirin sengaja akan diarahkan ke Ahwa saat pleno pembahasan tata tertib (tatib). "Bukan diarahkan. Dalam agama, dalam akidah itu sesuatu yang benar, itu wajib, bukan pilihan," tegas dia.

22 Kiai yang hadir di pertemuan membahas Ahwa di Kantor PWNU Jawa Timur hari ini antara lain KH Maimoen Zubair dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Anwar Manshur (Lirboyo, Kediri), KH Abdullah Kafabihi Machrus (Lirboyo, Kediri), KH Mas Mansur Thalhah (Surabaya), KH Zainuddin Djazuli (Ploso, Jombang), KH Idris Hamid (Pasuruan), KH Miftachul Ahyar (Surabaya) serta beberapa kiai lain dari Probolinggo, Pasuruan, dan Banyuwangi. (Ado/Ans)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya