Anggota Komisi XI: RAPBN 2016 Lebih Realistis

Namun, legislator mengakui RAPBN yang disampaikan Presiden masih bersifat umum.

oleh Gerardus Septian Kalis diperbarui 15 Agu 2015, 19:53 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2015, 19:53 WIB
Jokowi
Presiden Jokowi menyampaikan pidato perdana di Gedung MPR, Jakarta. (Anatarfoto)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo me-reshuffle kabinetnya di tengah perlambatan ekonomi global yang menghimpit perekonomian Indonesia. Tidak lama setelahnya, presiden membacakan pidato pertamanya mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 pada rapat paripurna pembukaan masa sidang I DPR pada 2015-2016.

Anggota Komisi XI Hendrawan Supratikno mengatakan pidato presiden mengenai RAPBN 2016 dinilai lebih realistis karena target pertumbuhan ekonomi telah diturunkan pada angka 5,5 persen.

"Meskipun diskusi makro di Komisi XI masih diragukan. Pemerintah menilai tahun 2016 pertumbuhan ekonomi dunia akan membaik. Kami menilai RAPBN 2016 lebih realistis," ujar Hendrawan di Jakarta, Sabtu (15/8/2015).

Menurut dia, alokasi belanja negara pada 2016 lebih berkomitmen terhadap pedesaan. Sehingga, kesempatan kerja dan ketimpangan yang saat ini terjadi dapat perkecil.

Politisi PDI Perjuangan itu mengungkapkan pidato kenegaraan ketiga yang dibacakan presiden di hadapan anggota DPD dan DPR mengenai nota keuangan masih bersifat umum.

"Sifatnya umum (pidato Presiden) intinya mengatakan tahun 2016 lebih baik, mari membangun optimisme. Orientasi terhadap kebijakan berdikari harus diapresiasi," ujar Hendrawan.

Saat ini, lanjut dia, Indonesia sedang mengalami transformasi fundamental, dari perilaku konsumerisme menjadi menjadi basis produksi. Dia optimistis penambahan jumlah anggaran untuk desa, industrialisasi di wilayah itu akan semakin bergairah.

"Jangan sampai kita melakukan impor barang jadi. Nasionalisme ekonomi dan kedaulatan pangan berdampak pada pembatasan impor," jelas Hendrawan.

Namun, dia mengkhawatirkan penambahan dana desa sebesar Rp 26 triliun akan memicu perilaku korupsi pejabat di tingkat desa.

"Tetapi malah mengekspor korupsi ke desa-desa, jangan sampai terjadi pembocoran (dana desa).  Implementasi mengenai nawacita harus konkrit. Pola konsumsi kita masih impor," kata Hendrawan.

Selain itu, ada tantangan lain yang harus dihadapi bangsa Indonesia yaitu terkait bagaimana perjalanan bangsa ke depan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sosial.

Dia juga mengatakan pemberdayaan industri pangan dalam negeri dan peran Bulog harus ditingkatkan oleh pemerintah dengan menerapkan kebijakan yang konsisten yang tertuang lewat perpres.

Butuh dana sekitar Rp 50 triliun untuk merealisasikannya.

Presiden Abai

Anggota Komisi XI Zulkieflimansyah menilai presiden abai membahas peranan industri dalam negeri pada pidatonya mengenai RAPBN 2016.

"Pak jokowi lupa menyindir industrialisasi. Industrial base diperkuat tanpa ada memperkuat perkembangan teknologi, saat ini kita mengalami deindustrialisasi, tidak ada keberpihakan pada industri strategis," tutur Zulkieflimansyah.

Menurut dia, dalam ekonomi terbuka seperti sekarang ini, isu ekonomi global mampu menggoncang kondisi perekonomian dalam negeri selama basis industri tidak diperkuat.

"Mungkin abainya (pidato) menyorot persoalan ini (industrialisasi), karena presiden hanya berkutat pada angka makro tapi lupa industrialisasi," ujar Zulkieflimansyah.

Dia menjelaskan pemimpin itu harus mampu mendistribusikan keinginan masyarakat terhadap gejolak ekonomi yang diliputi ketidakpastian.

"Sekarang kan kita ekonomi terbuka, Engineering sektor ekonomi adalah private sector untuk menyelesaikan permaslahan ekonomi. Penguatan industri adalah resep utama kekuatan ekonomi," jelas Zulkieflimansyah.

Dia berharap kemandirian ekonomi jangan hanya menjadi wacana. Sejalan dengan hal itu, salah satu variabel penting dalam perkembangan ekonomi adalah peningkatan inovasi teknologi.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengungkapkan teori ekonomi apapun tidak akan membuat negara maju jika kondisi dalam negeri tidak mempunyai industri perkakas.

"Jangan karena lobby-lobby eksternal melupakan cita-cita mulia founding fathers kita. Suka atau tidak suka ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka tanpa isolasi ekonomi global. Tugas pemerintah ibaratnya mengendalikan setir," tuturnya.

Semester II Jadi Momentum


Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Haryadi Sukamdani mengatakan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Jokowi sebesar 5,5 persen masih dalam kategori moderat.

"Catatan bagi kami target ini menimbulkan kontrapoduktif untuk penagihannya, upaya mengejar target menimbulkan ketidakpercayaan pasar, maka akan menjadi kontraporduktif. Kami memberikan kesan yang kuat akan target tetapi harus melihat kondisi yang ada," jelas Haryadi.

Menurut dia, problem yang saat ini dihadapi tidak hanya persoalan APBN tetapi juga APBD. Hal ini terlihat dari haluan negara yang mau jalan sendiri atau jalan bersama sama rakyat.

"Kita (APINDO) mau serius meningkatkan daya saing tetapi terjadi deindustrialiasasi. Kita ingin kesetaraan membangun negara harus sama," ujar Haryadi.

Oleh karena itu, pemerintah harus mengubah cara pandang mengenai kebijakan fiskal dan energi untuk keluar dari permasalahan ekonomi.

Dia mengungkapkan, memasuki semester II, kecepatan yang tinggi dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri.

"Inilah (semester II) saat yang sangat kritis terkait hidup matinya industri riil. Dalam menghadapi turbulensi mata uang, kita harus betul-betul mempertahankan rupiah dan mempertahan berjalannya penegakan hukum dengan baik," tutur Haryadi.

Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan perlambatan ekonomi yang terjadi tahun ini terjadi akibat dari gagalnya perencanaan pembangunan.

"Ketimpangan pengusaan distribusi, multiplayer efeknya adalah terjajah. Walaupun pemerintahan dan partai politik berganti, panggung ekonomi politik tetap sama yaitu ekonomi terbuka. Terjajahnya makin terstruktur," tegas Noorsy.

Terkait pidato presiden soal RAPBN 2016, Noorsy menilai ada kesalahan pemerintah membaca perkembangan ekonomi global. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 berada pada kisaran 4,8-5,2 persen.

Prediksinya, semester I tahun 2016 akan sama dengan semester I tahun 2015. Ketika berbicara mengenai kebijakan ekonomi makro, lanjut dia, negara tidak boleh melupakan bagaimana pengaruh Amerika dan China dalam perkembangan global.

Noorsy menegaskan nilai konsumsi impor yang tinggi menandakan fundamental ekonomi Indonesia masih rapuh.

"Ketika nawacita dibangun dari pinggiran apakah ini efektif? Dalam kancah ekonomi global Indonesia adalah ekor, kapan Indonesia harus terbuka atau tertutup (sistem ekonominya) harus diperhatikan Jokowi. Tetap saja Indonesia menjadi korban perekonomian global," pungkas Noorsy. (Bob/Ali)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya