Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan status darurat kabut asap di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan, akibat kebakaran hutan. Kebakaran lahan dan hutan di kawasan tersebut hampir setiap tahun terjadi. Kurangnya sanksi tegas dinilai membuat peristiwa ‎tersebut kerap terulang.
‎Ketua Institusi Hijau Indonesia Chalid Muhammad mendesak agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ia juga meminta agar Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) mempunyai kewenangan, mencabut izin perusahaan yang terlibat atau bertanggung jawab kasus pembakaran lahan dan hutan.
"Pemerintah perlu terobosan asap, perlu keluarkan Perppu. Perppu itu salah satunya berbunyi, agar KLH diberikan kewenangan penuh pembekuan izin perusahaan. Karena kan selama ini kewenangan itu ada di bupati, gubernur, dan Menteri Agraria," ujar Chalid dalam diskusi bertema 'Berharap Tidak Lagi ‎Menggantang Asap" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/9/2015).
‎Menurut Chalid, kewenangan bupati atau gubernur membekukan izin perusahaan nakal kurang diterapkan dengan tegas. Ia menduga, sejumlah pemerintah daerah memiliki kedekatan khusus dengan para pengusaha. Sebab, dari banyaknya izin pembukaan lahan tiap kali menjelang pelaksanaan pilkada.
‎"Coba kita lihat di 2014 ada perusahaan yang dibawa ke pengadilan, tapi dibebaskan. Atau yang dihukum hanya operator hutannya saja. Kita tahu yang terlibat ini korporasi sangat besar, punya back up politik juga sangat besar. Kalau peradilannya masih seperti ini pasti ada intervensi," tutur dia.
Chalid yakin dengan ‎penerbitan Perppu, pemerintah pusat bisa lebih mudah mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan bencana kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan. Dalam Perppu, perusahaan yang diduga terlibat juga harus bisa memberikan pembuktian terbalik.
‎"Nah, dengan Perppu ini seluruhnya kewenangan LHK bisa membekukan izin tersebut. Jadi begitu terjadi kebakaran, langsung dibekukan izinnya. Kalau mereka bisa membuktikan tidak bersalah (pembuktian terbalik), tentu ada jalan lain. Tapi kalau terbukti, berikan sanksi administratif, izin dicabut, dan pencabutan aset," tegas Chalid.
Revisi Level Teknis
Pada kesempatan yang sama, pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto mengapresiasi upaya perbaikan regulasi mencegah terulangnya kebakaran lahan dan hutan, yang berdampak bahaya kabut asap. Namun, ia berharap agar regulasi yang direvisi hanya di level teknis, bukan tahapan di perundang-undangan.
"Saya kira perbaikan regulasi memang penting, ya. Tapi harus ada sinkronisasi regulasi teknis dulu. Untuk regulasi di level perundang-undangan, sementara waktu jangan diubah dulu. Karena kondisi seperti ini berpotensi ditunggangi kepentingan-kepentingan korporasi dan kepentingan subjektif," tutur Nico.
Revisi undang-undang, ‎kata Nico sangat tidak tepat jika dilakukan pada saat kebakaran lahan dan hutan berlangsung seperti sekarang ini. Ia khawatir, penggodokan regulasi itu justru akan disusupi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan di belakangnya.
"Karena perbaikan regulasi kalau dilakukan dalam ketergesa-gesaan, itu rentan sekali ditunggangi pihak-pihak yang berkepentingan," tutup Nico. (Rmn/Nda)