Mereka yang Memadamkan Api dalam Diam

Belasan orang ini sudah hampir sebulan berada di Tumbang Nusa, bahu membahu memadamkan ganasnya api yang menghanguskan isi hutan.

oleh Rinaldo diperbarui 04 Nov 2015, 22:52 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2015, 22:52 WIB
sekolah relawan
Tetap ceria di tengah kesibukan menggali sumur di tengah hutan. (#SekolahRelawan)

Liputan6.com, Jakarta - Api yang menjelaga di hutan Sumatera dan Kalimantan relatif sudah padam. Kabut asap pun mulai menghilang di banyak daerah di Tanah Air. Namun, sekelompok orang masih bertahan di tengah hutan Kalimantan, tepatnya di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Belasan orang ini sudah hampir sebulan berada di Tumbang Nusa, bahu membahu memadamkan ganasnya api yang menghanguskan isi hutan. Mereka adalah anggota Sekolah Relawan serta warga lokal yang sejak awal sudah terjun memadamkan kebakaran hutan. Kini, ketika api sudah padam, mereka memutuskan untuk bertahan karena persoalan masih tersisa.

"Sejak 10 hari yang lalu memang sudah tak ada pemadaman, titik api sudah berkurang. Kini fokus kami pada pembuatan sumur bor untuk sumber air bagi pemadaman api, karena tadi pagi masih muncul api dalam skala kecil," jelas Bayu Gawtama, pendiri Sekolah Relawan saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (4/11/2015) malam.

Anggota Sekolah Relawan di tengah kesibukan memadamkan api di hutan Kalimantan. (#SekolahRelawan)

Anggota Sekolah Relawan yang berada di Tumbang Nusa ini merupakan sebagian kecil dari 200 anggota yang tersebar di 15 kota dan kabupaten di Indonesia. Mereka pun berasal dari berbagai latar belakang profesi. Mulai dari wirausaha, guru dan mahasiswa.

"Ada 25 anggota Sekolah Relawan yang diterjunkan di sini, tapi sebagian sudah pulang dan digantikan anggota lain untuk penyegaran," ujar pria yang akrab disapa Gaw ini.

Bawa Peralatan Sendiri

Selain anggota Sekolah Relawan, dia juga mengaku dibantu oleh relawan lokal yang terdiri dari anak muda yang sangat mengetahui kondisi hutan di Kalimantan. "Kami sangat terbantu, karena mereka sangat tahu seluk beluk hutan di sini," jelas warga Bogor, Jawa Barat yang berprofesi sebagai guru dan pengusaha restoran ini.

Selama kebakaran hutan beberapa waktu lalu, setiap hari anggota Sekolah Relawan dan warga lokal bahu membahu memadamkan api dengan peralatan yang mereka punya. Kini, ketika api sudah padam, mereka tetap masuk hutan untuk menggali tanah dan membuat sumur bor di bekas lahan yang terbakar.

Tetap beribadah di tengah kepungan api dan asap. (#SekolahRelawan)

"Peralatan kami bawa sendiri, karena sebelum berangkat kami sudah koordinasi dengan relawan-relawan lokal di Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, tentang apa-apa yang dibutuhkan. Seperti selang air dan mesin bor," jelas Gaw.

Bisa dipastikan, bekerja di tengah udara yang panas akan menimbulkan kelelahan. Namun, itu tak melemahkan semangat mereka. Bahkan, kegembiraan tetap dirasakan ketika mereka melepas lelah atau mencicipi ransum makan siang yang sederhana.

Dukungan Masyarakat

Anggota Sekolah Relawan memang tak pernah mengeluh karena sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang dilakukan secara swadaya dalam banyak hal, termasuk dalam penyediaan asupan gizi bagi para relawan ini.

Kepungan asap tak membuat relawan mundur. (#SekolahRelawan)

"Kita biasanya masak sendiri untuk dimakan bersama. Tapi, untuk biaya hidup sehari-hari tak hanya dari kami, masyarakat sekitar juga memberi dukungan dalam bentuk sumbangan. Terutama dari Pak Januminro, pemilik Jumpun Pambelom, hutan konservasi. Sumbangan itu juga yang kami gunakan untuk membeli kebutuhan lain, seperti membeli bensin dan lainnya," papar Gaw.

Bahkan, untuk biaya transportasi ke Kalimantan, dia mengaku anggota Sekolah Relawan mengongkosi diri sendiri. "Ada yang mengongkosi diri sendiri, bagi yang tak punya kami carikan," jelas dia.

Istirahat sejenak di tengah hutan yang terbakar di Pulang Pisau, Kalteng. (#SekolahRelawan)

Lantas, pernahkah Sekolah Relawan mendapatkan bantuan pemerintah dalam aktivitasnya? "Nggak pernah dan nggak mikirin juga sih," singkat dia.

Belajar dari Pengalaman

Gaw yang mendirikan Sekolah Relawan pada 2013 mengaku sekolah yang dibentuknya hanyalah nama, namun tak ada secara fisik. Tak ada bangunan sekolah atau guru sebagai pendidik.

Intan, salah satu relawan perempuan yang ikut berjuang di hutan Kalimantan. (#SekolahRelawan)

"Banyak orang yang bersemangat menjadi relawan, tapi tak dibarengi dengan skill yang cukup, karena itu di Sekolah Relawan kami belajar bersama dan saling bertukar pikiran dan pengalaman," papar ayah 4 anak ini.

Gaw sendiri sudah kenyang dengan pengalaman terjun di daerah bencana sejak tahun 2002. Dia pernah ikut sebagai relawan saat tsunami menerjang Aceh, banjir Jakarta, gempa Yogyakarta, letusan Merapi 2006 dan 2010 serta gempa Padang, sehingga banyak pengalaman bisa dia bagi kepada anggota Sekolah Relawan.

Meski lapar, para relawan tetap tertib antre untuk santap siang yang sederhana. (#SekolahRelawan)

Saat ini, para relawan sudah menuntaskan pembuatan 26 sumur bor di hutan Kabupaten Pulang Pisau dari target 100 sumur bor yang akan dibuat. Sumur-sumur ini dananya berasal dari masyarakat dan sinergi beberapa lembaga serta Jumpun Pambelom sebagai pihak lokal. Setelah hampir sebulan berjibaku dengan api, Gaw merasa sudah waktunya untuk kembali berkumpul dengan keluarga.

"Minggu ini kami harus balik, karena semua sudah kelelahan. Kami serahkan pekerjaan yang tersisa (membuat sumur bor) kepada relawan lokal," tutup Gaw. (Ado/Ron)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya