Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang ‎Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan pengacara Otto Cornelis (OC) Kaligis. Terdakwa kasus dugaan suap hakim dan panitera PTUN Medan itu mempermasalahkan mengenai keabsahan penyidik KPK.
Dalam sidang kali ini, MK menghadirkan Anggota Komisi III DPR John Kenedy Aziz untuk memberi keterangan. Bagi John, Kaligis seharusnya menempuh jalur praperadilan jika mempermasalahkan keabsahan penyidik KPK. Sebab, keabsahan 3 penyidik KPK, yakni Ambarita Damanik, Riska Anungnata dan Yudi Kristiana yang menangani kasusnya‎, di mata John bukanlah ranah MK.
Baca Juga
"Seharusnya pemohon dapat mengajukan permohonan praperadian jika memang memiliki bukti kesalahan penyidik dalam menetapkan status tersangka pemohon," kata John dalam ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Advertisement
John menerangkan, penyidik KPK bersifat khusus. Karena, lembaga antikorupsi itu juga merupakan lembaga yang sifatnya extraordinary, karena menangani kasus pidana ‎khusus, yakni korupsi. Dengan begitu, seluruh instrumen yang dimiliki KPK diatur sedemikian rupa dan mengabaikan ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara peradilan umum.
Dengan kekhususannya itu, penyidik KPK yang berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan juga harus terlebih dulu diberhentikan. Untuk kemudian mereka diangkat sebagai penyidik KPK oleh KPK.
"Ketentuan soal itu diatur dalam Pasal 39 ayat 3 UU KPK," kata John.
Pimpinan KPK Juga Penyidik
Lebih jauh dia menjelaskan, ketentuan pemberhentian‎ dan pengangkatan penyidik KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 45 ayat 1 UU KPK, tidak bisa berdiri sendiri. Pasal itu memiliki keterkaitan dengan Pasal 21 UU KPK. Misalnya, dalam Pasal 21 ayat 1 UU KPK, mengatur tentang komposisi KPK yang terdiri dari pimpinan, tim penasihat, dan pegawai KPK.
Selain itu, dalam Pasal 21 ayat 4 UU KPK juga menegaskan, pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Di mana dalam praktiknya, pimpinan KPK memiliki kewenangan mendistribusikan tugas dan wewenangnya kepada penyidik dan penuntut umum yang diangkat KPK sebagaimana yang diatur dalam pasal a quo.
John menjelaskan, Pasal 21 itu menunjukkan seluruh pimpinan KPK dari manapun asal institusinya dapat menjadi penyidik dan penuntut umum, dalam perkara korupsi yang ditangani KPK. Hal itu berlaku lantaran KPK merupakan lembaga khusus, yang tentunya penyidik KPK juga merupakan penyidik khusus.
"Artinya penyidik KPK dapat berasal dari institusi atau jabatan profesional apa pun. Itu karena sifat kekhususan lembaganya," kata John.
Pertanyakan Keabsahan Penyidik
OC Kaligis, terdakwa kasus dugaan suap hakim PTUN Medan mengajukan uji materi terhadap Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 46 ayat 2 UU KPK ke MK. Kaligis menguji kedua pasal itu terkait proses penyidikan KPK yang dilakukan terhadap dirinya dalam kasus dugaan suap hakim PTUN Medan.
Dalam uji materi Pasal 45 ayat 1 yang teregister dalam Nomor 109/PUU-XIII/2015 itu Kaligis mempermasalahkan keabsahan penyidik yang diatur dalam pasal tersebut.
Baca Juga
Pasal tersebut berbunyi "penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK". Menurut Kaligis, yang dimaksud dengan penyidik KPK di dalam pasal tersebut tidak jelas. Sebab tidak dijelaskan asal usul formal penyidik KPK.
Karena itu, Kaligis merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya pasal tersebut. Sebab, keberadaan pasal ini telah menimbulkan pertanyaan, apakah KPK bisa mengangkat penyidiknya sendiri yang sebelumnya belum berstatus sebagai penyidik atau tidak‎?
‎
Sementara dalam uji materi Pasal 46 ayat 2 UU KPK yang terdaftar dalam Nomor 110/PUU-XIII/2015 itu, Kaligis mempermasalahkan mengenai hak-hak seorang tersangka dalam pemeriksaan oleh penyidik. Bunyi pasal itu, yakni "pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka".
Menurut Kaligis, ketentuan pasal tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai uraian hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAP. Khususnya, terkait hak pengajuan penangguhan penahanan. Sehingga ketentuan Pasal 46 ayat 2 tersebut tidak menjamin kepastian hukum. (Ado/Rmn)