Ini 5 Provinsi 'Anti-HAM' di Indonesia Versi Kontras

Sentimen anti-kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan paling banyak terjadi di kota-kota besar.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 10 Des 2015, 15:47 WIB
Diterbitkan 10 Des 2015, 15:47 WIB
20151009-Kontras-Puri Kencana-Putri Kanesia-Arif Nur Fikri hadil
Puri Kencana, Putri Kanesia, dan Arif Nur Fikri hadil (ki-ka) dalam konpers terkait Peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat (9/10/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Seksual (Kontras) menilai, pada 2015 masih banyak terjadi kasus pelanggaran kebebasan di sejumlah kota besar di Indonesia.

Dijelaskan Wakil Koordinator bidang strategi dan mobilisasi Kontras, Puri Kencana Putri, ada 4 elemen kebebasan yang menjadi alat ukur indikator dari pemantauan Kontras selama 1 tahun.

Di antaranya, yang pertama adalah bebas dari rasa takut, kedua adalah bebas berbicara atau bebas menyampaikan pendapat. Ketiga adalah bebas untuk beribadah atau berkeyakinan, serta yang keempat adalah bebas atau mampu mengakses dari standar hidup yang layak.

"Namun ada 5 wilayah di Indonesia menurut Kontras yang kerap melanggar 4 standar kebebasan tersebut," ujar Puri di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (10/12/2015)

Puri mengungkapan, 5 wilayah itu antara lain, Jawa Barat dengan 41 peristiwa, Jawa Timur 35 peristiwa, Sumatera Utara 28 peristiwa, Papua 24 peristiwa, dan DKI Jakarta 23 peristiwa," kata Puri.

Dijelaskan Puri, Jawa Barat menduduki peringkat pertama dengan menguatnya sentimen anti-kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan.
 
Adapun, kata dia, ada kecenderungan peningkatan tren kekerasan di sektor sumber daya alam sebagaimana yang terjadi di Jawa Timur dan Sumatera Utara.

"Meski Jawa Barat menduduki tempat pertama kasus pembatasan kebebasan, korban terbanyak berasal dari DKI Jakarta sebanyak 314 orang dan Papua 246 orang," papar Puri.

Di Papua, Koordinator Kontras Haris Azhar menegaskan, setelah kedatangan Presiden Jokowi ke Papua, belum sama sekali ada perubahan yang signifikan di sana. Penangkapan sewenang-wenang masih kerap terjadi.

"Khusus Papua, belum ada perubahan signifikan. Penangkapan sewenang-wenang masih dominan diikuti dengan pembatasan akses informasi kepada jurnalis untuk masuk ke dalam Papua," ungkap Haris.

Karena itu, Haris mengatakan, pembatasan kebebasan kepada jurnalis masih cukup memprihatinkan. "Kelompok pengungkap ekspresi seperti jurnalis masih rentan menjadi korban-korban pembatasan kebebasan," tandas Haris.

Kebebasan Bukan Milik Masyarakat

Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menilai jika negara Indonesia wajib melindungi HAM warganya. Kontras memberikan perhatian serius pada standar kebebasan dan praktik kewajiban negara untuk melindungi HAM atas setiap individu.

"Di tingkat internasional, isu kebebasan menjadi isu yang utama paling penting krn ada banyak pembunuhan, ada banyak pelanggaran HAM yang dialamatkan kepada kemanusiaan, pekerja sosial, atau aktivis di berbagai daerah yang termasuk di dalamnya Indonesia," ungkap Koordinator Kontras Haris Azhar di Jakarta, Kamis (10/12/2015).

"Isu kebebasan di Indonesia penting karena di Indonesia punya aturan-aturan yang harusnya ditaati oleh pemerintah baik institusi atau perundang-undangan yang menjamin peran partisipasi masyarakat terutama para advokat yang membela isu-isu tertentu misalnya aktivis antikorupsi, jurnalis, mahasiswa, dan kelompok seni," lanjut Haris.

Kontras pun juga menilai jika sebenarnya partisipasi warga memiliki peran yang sangat penting karena Indonesia sedang menuju negara demokrasi. "Partisipasi warga menjadi penting karena kita masih dalam tahap membangun demokrasi di Indonesia," papar Haris.

Namun, sambung dia, kebebasan partisipasi yang harusnya dimiliki oleh masyarakat tidak sepenuhnya betul-betul dirasakan, justru pejabat-pejabatlah yang bisa merasakan kebebasan tersebut.

"Kebebasan itu bukan dinikmati oleh masyarakat tahun 2015 ini, tetapi justru dinikmati oleh para pejabat, jadi misalnya bebas menuduh orang tidak jelas dan bebas menuduh orang kehilangan keindonesiaannya," ujar Haris.

"Jurnalis, aktivis antikorupsi, para kelompok seni atau para pekerja demokrasi itu mendapat tekanan supaya tidak menikmati kebebasannya," tandas Haris.

'Aktor' Pembatasan Kebebasan

Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Seksual (Kontras) menilai jika pada tahun 2015 ini masih banyak terjadi kasus pelanggaran kebebasan.

Kontras pun memfokuskan kebebasan-kebebasan masyarakat ke dalam 4 indikator. 4 Indikator tersebut adalah bebas dari rasa takut, kebebasan berbicara, kebebasan beribadah, dan kebebasan untuk meraih keinginan atas standar hidup yang layak.

"Keempat indikator ini kemudian diperkaya dengan standar akuntabilitas. Sebagai suatu negara demokratik, Indonesia akan sangat terikat dengan standar akuntabilitas," ungkap Wakil Koordinator Bidang strategi dan Mobilisasi Kontras Puri Kencana Putri saat siaran pers Peringatan Hari HAM 2015: Menghormati Kebebasan, Negara Wajib Melindungi Warga di Jakarta Pusat, Kamis (10/12/2015).

Lalu, lanjut Puri, para pelaku atau aktor pembatasan kebebasan sendiri pun beragam. Yang mengagetkan adalah salah satu pelakunya merupakan pejabat-pejabat pemerintahan.

"Dari pembatasan kebebasan ini kemudian muncul pelaku dari pembatasan kebebasan. Polisi masih menjadi pelaku utama dari pelaku pembatasan kebebasan. Yang kedua diikuti dari pejabat pemerintahan, pejabat publik. Aktor ketiga yang lain adalah aktor nonnegara, organisasi kemasyarakatan yang memiliki pemahaman ideologi ekstrem," papar Puri.

"Yang keempat TNI sebagai aktor pembatas kebebasan di Indonesia. Terutama dalam situasi-situasi khusus di wilayah-wilayah seperti Papua, Poso, dan wilayah-wilayah sensitif lainnya," imbuh dia.

Tak hanya 4 aktor utama yang melakukan pembatasan pembebasan, ada juga aktor kunci yang justru turut melakukan pembatasan kebebasan.

"Kontras juga menemukan beberapa aktor kunci seperti aktor-aktor akademik yang menjadi pelaku pembatasan kebebasan. Aktor-aktor kunci ini potensial melakukan pembatasan-pembatasan kebebasan," tandas Puri. (*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya