Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang perdana kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dan penerimaan gratifikasi pada sejumlah proyek pemerintah dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima uang lebih dari Rp 40 miliar dari 2 perusahaan kontraktor. Perusahaan itu adalah PT Nindya Karya dan PT Duta Graha lndah yang saat ini berubah nama menjadi Nusa Konstruksi Enjiniring.
Dalam dakwaannya jaksa mengurai, dari PT Nindya Karya, mantan buronan Interpol ini diketahui menerima cek sebesar Rp 17.250.750.744 melalui pejabat perusahaan tersebut, Heru Sulaksono.
Sementara dari PT Duta Graha lndah, Nazaruddin telah menerima cek sebesar Rp 23.119.278.000 melalui Mohamad El ldris selaku direktur perusahaan itu. El Idris juga telah dijerat dalam perkara suap pembangunan wisma atlet SEA Games Jakabaring, Palembang.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa pemberian-pemberian tersebut merupakan imbalan," ujar Jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/12/2015).
Baca Juga
Jaksa menjelaskan, pemberian suap dari PT DGI ini terkait dengan upaya Nazaruddin selaku anggota DPR untuk memberikan sejumlah proyek pemerintah pada 2010 lalu.
"Proyek pembangunan gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2lP) Surabaya tahap 3, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac Rumah Sakit (RS) Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS lnspeksi Tropis Surabaya, serta RSUD Ponorogo," kata jaksa.
Sementara untuk PT Nindya Karya, perusahaan ini juga dibantu Nazaruddin mendapatkan proyek pemerintah seperti Pembangunan Rating School Aceh serta Universitas Brawijaya tahun 2010.
"Padahal terdakwa selaku anggota DPR dalam tugasnya tidak boleh melakukan pengaturan proyek-proyek pemerintah dengan maksud mendapatkan imbalan dari pihak lain," ucap jaksa.
Modus yang digunakan Nazaruddin adalah, sebagai pemilik sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dan Bendahara Partai Demokrat, serta anggota DPR, ia menggunakan wewenang untuk memenangkan sejumlah tender proyek pemerintah.
Atas perbuatan, Nazaruddin yang telah menjadi terpidana kasus suap wisma atlet ini pun diancam pidana sebagaimana tertulis dalam Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.