Ratusan Perkara Pilkada Terancam Gugur, UU Pilkada Digugat ke MK

Pasal tersebut mengatur batas maksimal perselisihan perolehan suara sebagai syarat formil pengajuan permohonan perkara PHP di MK.

oleh Oscar Ferri diperbarui 26 Des 2015, 18:52 WIB
Diterbitkan 26 Des 2015, 18:52 WIB
Gedung MK
Gedung MK

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 146 permohonan perkara Perselisihan Hasil Pilkada (PHP)‎. Namun, mayoritas permohonan itu terancam tidak dapat diterima, lantaran aturan yang terkandung dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).

Pasal tersebut mengatur tentang batas maksimal perselisihan perolehan suara sebagai syarat formil pengajuan permohonan perkara PHP di MK. Batas maksimal perselisihan perolehan suara masing-masing pasangan calon itu sebesar 2 persen.

‎"Dari 146 register perkara di MK, jika mengacu pada Pasal 158 itu, mungkin hanya beberapa saja yang bisa diperiksa MK. Karena banyak dari 146 register perkara itu yang selisihnya lebih dari 2 persen," ujar Kalna Siregar di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Sabtu (26/12/2015).

Kalna sendiri diberi kuasa sebagai kuasa hukum oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hilir, Herman Sani-Taem Pratama‎. Pasangan calon nomor urut 4 itu hendak mengajukan uji materi Pasal 158 ayat (2) huruf C UU Pilkada ke MK.

"Rencananya hari Senin, 28 Desember 2015 kita daftarkan uji materi terhadap Pasal 158 ayat (2) huruf C UU Pilkada. Ayat 2 huruf C itu yang khusus‎ Pilkada Bupati dan Wakil Bupati," ucap Kalna.

Menurut dia, hak konstitusional kliennya jadi terlanggar atas berlakunya Pasal 158 ayat (2) huruf C tersebut. Sebab, permohonan PHP Rokan Hilir yang didaftarkan Herman-Taem terancam gugur. Begitu juga dengan register perkara PHP yang lain, karena perselisihan perolehan suaranya lebih dari 2 persen.

"Untuk di Kabupaten Rokan Hilir saja selisih suara pasangan Herman-Taem (dengan pasangan petahana) 11 persen. Artinya, hak konstitusional klien kami terlanggar atas keberadaan ketentuan Pasal 158 itu," ucap Kalna.

Dia menerangkan, pihaknya menggunakan Pasal 28I UUD 1945 sebagai batu uji. Pasal itu menegaskan, setiap manusia diberikan kesetaraan dalam mencari keadilan. Yang dikuatkan lagi pada pembukaan UD 1945 alinea ke-4 yang bahwasannya, menyatakan negara melindungi seluruh tumpah ruah masyarakat Indonesia.

"Yang harusnya kita diberikan kesamaan di mata hukum, tapi dengan Pasal 158 secara konsisten kita tidak punya harapan di MK," ujar dia.

Kalna mengatakan, ‎pihaknya berharap MK dapat melakukan penundaan pemeriksaan perkara PHP yang sudah didaftarkan sampai uji materi Pasal 158 UU Pilkada ini selesai diputus MK. Jika tidak bisa dilakukan penundaan, pihaknya berharap MK memberi kesempatan untuk membuktikan kecurangan-kecurangan yang dijadikan bukti pihaknya dalam permohonan PHP Rokan Hilir.

Rapat pleno rekapitulasi penghitungan hasil Pilkada Provinsi Bengkulu diwarnai aksi walk out oleh saksi salah satu pasangan calon. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putro)

Selisih Berdasarkan Jumlah Penduduk

Adapun Pasal 158 UU Pilkada itu mengatur tentang batas maksimal selisih perolehan suara sebagai syarat formil pengajuan perkara PHP ke MK. Maksudnya, selisih perolehan suara pasangan calon dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara keseluruhan oleh KPUD. Batas maksimal juga itu ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di daerah masing-masing.

Misalnya untuk pilkada tingkat kabupaten dan pilkada tingkat kota seperti terkandung dalam Pasal 158 ayat (2), daerah dengan jumlah penduduk 0 hingga 250 ribu jiwa itu selisih maksimal perolehan sebesar 2 persen yang bisa dijadikan syarat formil pengajuan PHP ke MK. Jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu jiwa, selisih perolehan suara maksimal sebesar 1,5 persen.

Kemudian jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, selisih perolehan suara maksimal 1 persen. Terakhir untuk daerah yang jumlah penduduknya lebih dari 1 juta jiwa, maksimal selisih perolehan suara sebesar 0,5 persen.

‎Sementara pilkada di tingkat provinsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 158 ayat (1), daerah yang jumlah penduduknya 0 sampai 2 juta jiwa, selisih suara maksimal sebesar 2 persen. Daerah yang berpenduduk 2 juta-6 juta jiwa maksimal selisih suara sebesar 1,5 persen.

Kemudian daerah yang penduduknya berjumlah 6 juta-12 juta jiwa selisih maksimal suaranya 1 persen. Terakhir, daerah yang punya penduduk lebih dari 12 juta jiwa, selisih suara paling banyak sebesar 0,5 persen.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya