Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mencabut SK Kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol dengan Ketua Umum Agung Laksono.
Dengan begitu, maka terjadi kekosongan kepengurusan di tubuh partai berlambang beringin itu.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Munas Bali Azis Syamsuddin tidak setuju dengan keputusan Menteri Yasonna. Sebab, Yasonna hanya mencabut SK kepengurusan kubu Agung Laksono dan membiarkan Partai Golkar tanpa kepengurusan.
"Saya tidak sependapat dengan pandangan Menkumham, karena seharusnya pada saat mencabut SK Ancol (Agung Laksono), dia secara otomatis harus menerbitkan SK Pak Ical (Aburizal Bakrie/Munas Bali)," ujar Azis di Jakarta, Kamis 31 Desember 2015.
Menurut Azis, saat itu baik kubu Munas Ancol maupun Kubu Munas Bali sama-sama mengajukan permohonan pengesahan kepengurusan Partai Golkar periode 2014-2019. Namun Menkumham mengesahkan kepengurusan hasil Munas Ancol berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA).
Baca Juga
"‎Nah kepengurusan Pak Agung ini digugat oleh kepengurusan Pak Ical sampai ke kasasi di MA. ‎Gugatan itu dimenangkan Pak Ical. SK Menkumham yang sahkan kepengurusan Agung Laksono dibatalkan oleh MA," sambung dia.
Dengan begitu, kata dia lagi, permohonan kepengurusan hasil Munas Bali secara otomatis harus berlaku. Menkumham harus menerbitkan SK Kepengurusan Partai Golkar kepada kubu Ical.
"Karena dalam UU Parpol, dalam kurun waktu tertentu, Menkumham harus mengambil keputusan kepada salah satu pengurus," papar Azis.
‎Pemilihan Ketua DPR
Kekosongan ini membuat Partai Golkar tidak memiliki legitimasi dalam menentukan kebijakan. Hal itu pula dianggap dapat berdampak pada kader yang aktif di parlemen.
Agung Laksono meminta agar kader Partai Golkar menahan diri hingga ada kepengurusan yang sah melalui Munas bersama. Termasuk pemilihan Ketua DPR pengganti Setya Novanto agar ditunda terlebih dulu.
Menanggapi hal tersebut, Azis Syamsuddin meminta agar Agung Laksono lebih teliti menafsirkan setiap keputusan. Sebab, salah menafsirkan suatu keputusan justru dapat menimbulkan kegaduhan.
"Lah itu kan penafsiran yang tidak membaca putusan. Makanya setiap elemen masyarakat, setiap pihak-pihak yang ingin berpandangan, untuk membaca dulu isi putusan MA dan SK Menkumham. ‎Sehingga tidak terjadi penafsiran yang tambah gak jelas," ucap Ketua Komisi III DPR itu.
Advertisement