Liputan6.com, Jakarta - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak perkawinan sejenis. Penolakan ini adalah salah satu hasil yang dituangkan PKB dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas).
Menurut Sekretaris Jenderal PKB, Abdul Kadir Karding, rekomendasi pelarangan perkawinan sejenis itu karena jelas, tidak ada satu agama pun yang memperbolehkannya.
"Tidak ada agama yang memperbolehkan perkawinan sejenis. Secara ajaran agama, sudah kita tanya dan buka bukunya memang itu perbuatan dilarang dan dilaknat oleh Allah," ucap Kadir usai penutupan Mukernas PKB di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (6/2/2016).
Baca Juga
Menurut Kadir, tak ada tempat bagi mereka yang suka sesama jenis apalagi sampai melangsungkan perkawinan. Namun, bukan berarti mereka harus diusir oleh manusia lain.
"Orang mau bicara alasan lain, tidak ada tempat untuk itu. Tapi tidak boleh diusir dan tidak boleh dipublikasikan. Apa pun mereka tetap manusia, sama seperti kita," ujar Kadir.
Terkait dengan keberadaan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), Kadir juga memberi catatan. Yakni, pemerintah perlu turun tangan dan mendiskusikan dengan mereka. Terutama mencari jalan keluarnya dan agar tidak berkembang lebih luas lagi.
"Kita cari jalan keluar agar itu tidak berkembang. Apalagi ada desakan untuk buat undang-undangnya. Jadi kita cari formula yang tepat untuk mereka karena bagaimanapun mereka tetap manusia," ujar Kadir.
Advertisement
5 Agenda Andalan demi Sistem Politik Efektif
PKB pun menawarkan 5 agenda politik andalan yang patut dipertimbangkan untuk memastikan terciptanya sistem politik kenegaraan yang efektif di Indonesia. Terutama agar dapat menjawab persoalan dan kebutuhan bangsa. Yakni, dengan tetap mempertahankan subtansi semangat kegotongroyongan.
"Dalam kerangka itu, PKB menawarkan sejumlah agenda yang patut dipertimbangkan untuk memastikan kehadiran sebuah sistem politik yang efektif," ucap Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar di JCC, Jakarta Pusat, Sabtu (6/2/2016).
Menurut Cak Imin sapaan akrab Muhaimin Iskandar, persoalan pertama terletak pada penataan kembali kelembagaan permusyawaratan/perwakilan. Dan itu menyangkut keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tanggung dan tidak efektif.
"Peninjauan ulang itu harus bermuara pada pilihan tegas pada penguatan peran DPD atau dikembalikan lagi sebagai perwakilan golongan yang lebih mencerminkan karakteristik ke-Indonesiaan," urai Cak Imin.
Penyederhanaan Sistem Pilkada
Kedua, tutur Cak Imin, mengawal konsistensi proses penyederhanaan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). Penyederhanaan sistem pilkada perlu dikawal keberlanjutannya sambil memastikan bahwa sistem pilkada semakin baik, tidak boros sumber daya, dan menghasilkan kepemimpinan politik yang berkualitas.
Ketiga, kata Cak Imin, memperkuat sistem presidensial. Sebagai negara yang memilih sistem kepemimpinan nasional berdasar asas presidensial, maka perlu diciptakan sistem politik yang mendukung penguatan terhadap posisi dan kewenangan presiden, melalui ambang batas presidential treshold yang memadai agar posisi presiden terpilih memiliki bargaining position yang kuat karena memperoleh dukungan maksimal di parlemen.
Keempat, lanjut Cak Imin, menjaga penyederhanaan sekaligus penguatan partai politik. Pengendalian jumlah partai politik melalui regulasi yang ada perlu dipertahankan agar dinamika politik dapat terkelola dengan lebih mudah, sambil pada saat yang sama partai-partai politik yang ada terus diberdayakan agar mampu menjalankan peran sebagai partai politik secara lebih optimal.
"Dukungan pemberdayaan partai politik melalui bantuan parpol agar terus ditingkatkan secara signifikan. Partai politik sebagai pilar demokrasi maha penting tidak boleh tergantung dan dipenjara oleh kekuatan pemodal," papar dia.
Kelima, ujar Cak Imin, memperjuangkan arsitektur baru pemerintahan daerah. Desentralisasi berbagai urusan pemerintahan harus terus dijaga konsistensinya dengan memastikan bahwa kabupaten/kota adalah tingkatan pemerintahan yang paling kita andalkan.
"Karena itu, otonomi kabupaten/kota harus dikawal dan diberdayakan. Kegagalan otonomi daerah selama ini lebih merupakan kegagalan sistem pengendalian pemerintah pusat. Karena itu, yang harus dilakukan adalah pengembangan sistem pengendalian pemerintah pusat," tutup Cak Imin.
Advertisement