Menkumham Sebut Revisi UU KPK Perlu, Ini Alasannya

Menteri asal PDIP itu menuturkan tidak ada jaminan pimpinan KPK yang sekarang bersih dari ambisi dan agenda politik terselubung.

oleh Oscar Ferri diperbarui 04 Mar 2016, 07:41 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2016, 07:41 WIB
Menkumham Soal Kepengurusan Golkar: Ini Keputusan Berat
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengakui mengalami kesulitan dalam memutuskan Partai Golkar versi Munas Ancol sebagai pengurus yang sa

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan DPR telah sepakat menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada 4 poin yang jadi sasaran dalam revisi tersebut.

"Sebenarnya ada 4 poin yang sudah dikomunikasikan ke kita dan sudah didiskusikan dengan pimpinan yang lama," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly saat berkunjung ke kantor Liputan6 SCTV, Jakarta, Kamis, 3  Maret 2016.

Pertama soal dewan pengawas. Menurut Yasonna, keberadaan dewan pengawas ini perlu. Pasalnya dalam UU KPK disebutkan KPK adalah lembaga superbody dengan kekuasaan yang sangat besar. Karena itu, di dalam sistemnya harus ada check and balances. Sebab, jika tidak ada itu maka KPK bisa disalahgunakan.

"Karena ini kekusaan yang besar, maka harus ada kontrolnya," kata Yasonna

Menteri asal PDIP itu menuturkan tidak ada jaminan pimpinan KPK yang sekarang bersih dari ambisi dan agenda politik terselubung. Dia tak ingin kejadian yang menimpa pimpinan KPK terdahulu terulang.

"Apakah ada jaminan, teman-teman komisioner KPK tidak melakukan kesalahan? Tidak pernah punya ambisi dan dendam politik? Tidak ada jaminan. Mungkin suatu saat DPR salah pilih lagi seperti yang sebelumnya. Itu filosofinya," kata Yasonna.

 



Untuk poin pengangkatan penyidik independen, Yasonna melanjutkan hal ‎ini merupakan satu terobosan yang baik. Sebab, nantinya penyidik KPK bukan berasal dari kejaksaan dan kepolisian saja, tetapi juga bisa berasal dari independen.

"Dalam arti dari orang biasa yang punya sertifikasi penyidik, itu bisa mendaftar. Itu terobosan. Jadi bukan hanya kejaksaan dan kepolisian. Jadi siapa saja bisa daftar, tapi harus punya spesifikasi menyidik," kata eks anggota Komisi II DPR tersebut.

Begitupun dengan poin penyadapan‎. Kata Yasonna, penyadapan ini memang amanat Mahkamah Konstitusi. Namun tetap saja mekanismenya harus berdasarkan perundang-undangan. Agar kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK tidak disalahgunakan, maka harus seizin dewan pengawas.

"SOP yang sekarang sebetulnya tidak apa-apa. Tapi tetap harus sesuai undang-undang supaya tidak disalahgunakan," kata dia.

Terakhir mengenai poin penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Di sini yang ditekankan Yasonna adalah KPK seolah seperti mengekang seseorang dengan status tersangka tanpa ada kepastian karena tidak adanya SP3.

"Ada yang sudah bertahun-tahun jadi tersangka. Itu kan tidak benar protapnya. Misalnya juga ada yang sudah meninggal. Kasusnya harus berhenti demi hukum," ujar Yasonna.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya