Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Basuki Tjahaja Purnama Atau Ahok tegas menyatakan akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen. Mantan Bupati Belitung Timur ini optimistis menggandeng Heru Budi Hartono, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) karier, yang saat ini duduk di kursi Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta.
Heru bukan orang baru di lingkaran Ahok. Sejak era Gubernur Joko Widodo, dia adalah orang di balik layar blusukan sang gubernur. Puas dengan kinerja yang dilakukan Heru, Jokowi memberi mandat pria kelahiran Medan, 13 Desember 1965, itu sebagai Wali Kota Jakarta Utara. Sejak saat itu pula kariernya kian meroket hingga menduduki jabatan saat ini.
Namun, bukan sosok Heru yang akan diulas di sini. Tapi lebih kepada kendaraan Ahok-Heru untuk melaju di Pilkada 2017. Jalur independen. Suami Veronica Tan mengibaratkan kendaraan yang ditumpanginya untuk melaju di Pilkada Jakarta nanti memang tidak mewah, namun mesin optimistis dan kepercayaan masyarakat yang mendorongnya percaya untuk sampai ke tujuan.
Baca Juga
"Saya mah patokannya tidak mau mengecewakan masyarakat yang mendukung saya," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Kamis 10 Maret 2016.
Ahok tidak memungkiri bila partai memiliki jaringan hingga ke bawah. Mesin partai terus bergerak untuk meraup dukungan calon yang diusung menang dalam pilkada. Hanya saja biaya untuk menggerakkan mesin partai ini tidaklah sedikit.
"Saya buka aja. Partai kan selalu berpikir harus menggerakkan mesin partai. Parpol enggak minta mahar loh, tapi cuma minta anak cabang rantingnya bergerak. Kalau 1 bulan Rp 10 juta, 267 kelurahan belum lagi kotanya kecamatan itu bisa Rp 2,67 miliar sebulan. Belum kecamatan. Kalau 10 bulan berarti Rp 26 miliar, belum lagi saksi, ini baru 1 partai lho," tutur Ahok.
Biaya 'wah' itulah yang tidak bisa dipenuhi Ahok. Karena itu, bila nanti ada partai yang mendukung bisa menerima syarat ini.
"Harta saya dikumpulin, jual semua ya kayaknya pas-pasan kalau segitu. Enggak deh. Lebih baik saya enggak mau partai, ya begitu," kata Ahok.
Lambat laun, langkah Ahok menjauh dari partai dan maju dalam jalur perseorangan menuai pro-kontra. Gaduh soal kekhawatiran independen menjadi ancaman deparpolisasi mulai muncul.
Di sisi lain, sebagian pihak menyebut langkah Ahok sebagai salah satu kritik terhadap partai politik, dimana oknum-oknum kader partai kerap wara-wiri di laman pemberitaan karena beragam jeratan kasus; korupsi, narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, dan tindak kejahatan lainnya.
Petinggi Parpol Marah
Ahok menyebut banyak politikus dari berbagai partai geram atas putusannya maju secara independen di Pilgub DKI 2017 nanti.
"Banyak orang partai juga marah. Ya Ibu (Megawati) sih enggak marah sama saya tapi yang lain marah," kata Ahok.
Hal itu dikatakan Ahok setelah bertemu langsung dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ahok mengklaim Megawati hanya berpesan agar tetap menjaga silaturahmi meskipun menolak untuk didukung PDIP.
"Saya mengerti PDIP itu partai butuh mekanisme, saya khawatir partai enggak calonin saya," ujar Ahok.
Lebih lanjut, selain bertemu Megawati di Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Kelima Organisasi Kerja Sama Islam di Jakarta pada Senin 7 Maret 2016 kemarin, Ahok juga mengaku sering bertemu Megawati di kediamannya, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.
"Saya ketemu, saya sering kok ketemu ajak makan bakso. Saya sama Ibu Mega deket banget. Jujur saja, saya sama Ibu Mega deket dari dulu," tandas Ahok.
Ancaman Deparpolisasi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menganggap pencalonan Basuki Tjahaja Purnama lewat jalur independen sebagai ancaman hebat untuk dunia politik di Indonesia.
Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menyebut, langkah Ahok itu sebagai upaya pelemahan yang sengaja dilakukan untuk tidak percaya terhadap partai politik alias deparpolisasi.
Hal tersebut juga ia katakan kepada Megawati saat pertemuan di kediamannya, Jalan Teuku Umar, Senin 7 Maret 2016.
"Jadi kita membahas banyak, salah satunya deparpolisasi, itu yang harus kita sikapi. Kalau independen menang, apa ada nanti fraksi independen?" kata Prasetyo di Balai Kota Jakarta, Selasa 8 Maret 2016.
Di antara persoalan lain, dia mengatakan, deparpolisasi merupakan hal yang paling tajam dibahas dalam pertemuan antara dirinya, Djarot Saiful Hidayat, Eriko Sotarduga, dan Megawati Soekarnoputri. Pembahasan lainnya tak lebih soal dinamika politik yang bergulir di Jakarta.
"Soal Pemilukada kita enggak khawatirlah, yang paling menakutkan itu deparpolisasi. Bayangkan dulu soal adanya bom Bali, aksi teror, dan masalah nasional lainnya, ini ada satu lagi nih namanya deparpolisasi," ujar Prasetyo.
Dari pertemuan semalam itu, kata Prasetyo, Megawati menginstruksikan agar upaya antisipasi deparpolisasi diteruskan ke tingkat akar rumput PDIP. Hal ini kemungkinan besar bukan hanya dikhawatirkan PDIP saja, namun juga partai politik lainnya.
Sementara itu, Ahok menolak disebut langkah yang diambilnya bersama TemanAhok adalah sebagai upaya yang ditudingkan banyak pihak, deparpolisasi. Setidaknya, kata Ahok, dengan adanya calon independen, masyarakat punya pilihan, tidak serta-merta mengecilkan parpol.
"Supaya apa? Rakyat tidak melakukan deparpolisasi. Untuk apa? Supaya kalau ingin menjadi kepala daerah, parpol bisa koreksi diri gitu lho. Oh berarti selama ini ada yang tidak sesuai, itu aja yang terjadi," ujar Ahok, Kamis 10 Maret 2016.
Munculnya calon independen, menurut Ahok, juga karena diperbolehkan dalam undang-undang yang dibuat oleh partai politik. Sehingga jika ada partai yang menyatakan kemunculan calon independen sebagai upaya deparpolisasi adalah pandangan menyesatkan.
"Kamu kira calon independen itu, saya bisa ikut independen, siapa yang bisa mutusin? Partai politik, fraksi-fraksi yang ada di DPR membuat undang-undang. Itu aja. Jadi ini suatu hal yang sangat menyesatkan," kata Ahok.
Independen, Siapa Tanggungjawab?
Politikus PDIP yang juga Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menilai upaya-upaya mengesampingkan partai politik atau deparpolisasi di ajang pemilihan kepala daerah atau pilkada adalah tidak tepat.
"Kalau calon independen itu secara undang-undang sah. Tapi apakah orang yang mengirim tandatangan, mengirim fotokopi KTP, bisa dimintakan pertanggungjawaban secara politik?" ujar Tjahjo di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Jumat 11 Maret 2016.
Calon yang maju tanpa mau dukungan parpol, ke depannya cukup membahayakan. Sebab, jika kepala daerah yang didukung parpol di tengah jalan ada kesalahan, maka masyarakat bisa meminta pertanggungjawaban secara politik.
"Kalau parpol mencalonkan jadi gubernur dan kalau di tengah jalan Anda memimpin salah, partai tanggung jawab dong. Ada yang mengingatkan Anda, partai bisa dihukum oleh masyarakat secara luas, ini loh calonmu tidak benar," ucap dia.
Menurut Tjahjo, calon independen tidak punya perwakilan di DPRD. Apalagi kebijakan-kebijakan, seperti penganggaran, perizinan, peraturan-peraturan daerah, disusun antara DPRD dan gubernur.
"Soal persepsi masyarakat secara umum tentang parpol masih jelek, yah mari tanggung jawab kita semua. Tugas partai politik memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati, wali kota. Itu tugas utama parpol," ujar dia.
Untuk itu, Tjahjo sekali lagi menegaskan, apakah calon independen nantinya jika terpilih mau disalahkan sendiri? Atau justru menyalahkan DPRD sementara dia tak mempunyai wakil di parlemen.
"Ke depan, mau tidak yang independen ini kalau ada kesalahan nanti (tanggung sendiri)? Jangan yang disalahkan DPRD-nya, kok tidak dukung, padahal menurut kacamata aturan, undang-undang itu harus diputuskan bersama antara DPRD dan pemerintah. Walaupun independen, ada partainyalah. Setidaknya ada yang bertanggung jawab," kata Tjahjo.
Sementara itu, Politikus Partai Gerindra Biem Benyamin, menilai langkah yang dipilih Ahok akan menjadi sandungan di Pilkada Jakarta nanti. Sebab menurut dia, calon independen atau perseorangan tidak punya kekuatan besar seperti calon yang diusung partai politik.
"Kalau mau susah, silakan independen," tegas dia.
Kicau Emil Sindir Ahok?
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menilai partai politik atau parpol memiliki 2 peran penting dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Kedua fungsi itu adalah pendidikan demokrasi dan meraih kekuasaan.
Namun begitu, dia menyayangkan saat ini parpol belum mampu menerapkan fungsi pertamanya, yaitu pendidikan demokrasi bagi rakyat. Bahkan, para elite dinilai lebih condong memanfaatkan partai sebagai ajang sarana perebutan kekuasaan.
"Fungsi yang pertama jarang dilakukan. Fungsi yg kedua dominan dan bising," cuit Ridwan Kamil dalam akunnya, @ridwankamil, yang dikutip Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (12/3/2016).
Kang Emil, begitu ia biasa disapa ini menambahkan, maju mundurnya suatu bangsa ditentukan dengan kondisi partai politik. Suasana kondusif parpol akan memberikan keuntungan bagi suatu negara.
"Negara maju dengan kehadiran partai politik yang stabil dan tidak terlalu banyak. jika belum baik, sempurnakan bukan ditinggalkan," cuit Kang Emil.
Kicauan Kang Emil tersebut di-retweet oleh 382 netizen hingga pukul 00.13 WIB. Selain itu, juga muncul puluhan komentar. Di antaranya dari akun Mega P @85Ciale yang menganggap cuitan tersebut mengandung nada sindiran.
"@ridwankamil kayaknya nyindir nih," tulis @85Ciale.
"@ridwankamil nyindir pak ahok ya?? Hhe," tulis Jhefry Ardiant @JhefryR.
Kritik terhadap langkah Ahok juga disampaikan Politikus PDIP lainnya, Budiman Sudjatmiko. Dia menilai, alangkah baiknya menjalankan roda pemerintahan dalam pembangunan Jakarta bersama partai politik.
Namun di sisi lain, dia menilai langkah Ahok adalah suatu sikap politik.
"Jakarta terlalu besar kalau sekadar diselesaikan satu orang baik sekali pun," kata mantan aktivis PRD ini, Kamis 10 Maret 2016.
Advertisement
Dukungan Ahok Mengalir Deras
Sikap Ahok menggandeng anak buahnya di Pilkada 2017 rupanya tidak mengurunkan niat para pendukung yang sudah mengumpulkan KTP mereka melalui TemanAhok. Pasca Ahok mantap memilih Heru, dukungan kian deras.
Salah satu relawan, Amalia Ayuningtyas mengatakan sudah terkumpul 784.977 KTP, yang mendukung mantan Bupati Belitung Timur itu.
Menurut dia, 784.977 KTP yang sudah terkumpul tentu tidak sia-sia.
"Kita telah memperlihatkan bahwa masyarakat juga pemilik kekuasaan politik dan tidak bisa untuk diremehkan," ungkap Amalia.
Karena itu, dia pun meminta doa dan dukungan masyarakat, agar ini bisa terus berjalan.
"Sekarang saatnya untuk membuktikan kembali, bahwa kita bisa mengusung Ahok-Heru sebagai sebuah pasangan peserta Pemilu. Dengan doa dan dukungan proaktif masyarakat kami yakin ini bisa terlaksana," tegas Amalia.